Semakin berkurangnya lahan pertanian produktif di Indonesia saat ini, yang digantikan dengan perkebunan kelapa sawit skala besar, pembangunan infrastruktur dengan dalih meningkatkan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi yang sama sekali tidak memihak kebutuhan masyarakat terutama perempuan yang sehari-hari bergantung hidupnya dan perekonomianya pada lahan pertanian. Alih fungsi lahan produktif juga sarat dengan kekerasan dan konflik bagi masyarakat yang tinggal disekitar perkebunan ataupun rencana pembangunan infrastruktur dengan menggunakan aparat militer. Tidak sedikit pula perempuan menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual akibat adanya penggusuran atau perampasan lahan. Pembukaan lahan produktif hanya menguntungkan investor dan perusahaan-perusahaan multinasional, bukan untuk kepentingan dan memenuhi kebutuhan masyarakat terutama perempuan.
Menurut pendapat pakar pertanian Prof Sumarno, Indonesia membutuhkan lahan pertanian seluas 24,2 juta hektare untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduknya yang berjumlah 242 juta penduduk. Menurutnya lagi saat ini lahan pertanian produktif yang dibutuhkan untuk mencukupi pangan penduduk sekitar 8,2 juta hektar. Beliau pun menyadari bahwa krisis pangan yang terjadi saat ini itu diakibatkan banyaknya pengalihan lahan-lahan pertanian. Jika melihat pernyataan beliau secara tidak langsung pemerintah menyadari bahwa adanya alih fungsi lahan sangat berdampak pada peningkatan produksi pangan negara. Selain itu, menurutnya kurangnya lahan pertanian juga disebabkan faktor infrastruktur pendukungnya seperti, irigasi yang saat ini telah banyak mengalami kerusakan juga yang disalahkan pola konsumsi masyarakat yang masih mengutamakan beras.
Solusi yang dilakukan pemerintah untuk menjawab persoalan ini pun sungguh tidak solutif dan meminggirkan kebutuhan masyarakat terutama perempuan yang sehari-hari kehidupannya bergantung pada pertanian. Pemanfaatan lahan kering menjadi lahan pertanian yang notabene lahan kering hanya terdapat di Sumatera dan membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit, dan lagi-lagi mengandalkan masuknya investasi tidak lain adalah menambah utang negara untuk mendukung proyek ini. Solusi salah kaprah ini tidak diilhat akan sangat berdampak pada kehidupan masyarakat terutama perempuan. Bahwa, lahan yang tersedia saat ini sangat sempit pastinya akan menghasilkan produksi pangan yang tidak memamadai juga tidak mencukupi perekonomian perempuan petani yang rata-rata hanya sebagai buruh. Perempuan sebagai pengelola kebutuhan keluarga karena peran gendernya akan semakin kesulitan untuk menambah kebutuhan ekonomi keluarga dengan pengeluaran seharusnya dibagi agar mencukupi kehidupan keluarganya, menjadi lebih keras bekerja dan membagi waktu untuk kehidupan keluarganya.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait pembebasan lahan selama ini seperti dikeluarkanya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 disusul dengan Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Demi Pembangunan. Kebijakan ini dikeluarkan untuk melegalkan perampasan tanah dengan dalih pembangunan. Sampai lahirnya UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan ini ada karena dorongan pengusaha-pengusaha dengan argumentasi bahwa keberadaan UU No.20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah karena tidak menjawab persoalan terkait pembebasan tanah masyarakat. Terlihat bahwa pemerintah hanya memihak kepentingan investor dan pengusaha. Padahal dalam UU No 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian produktif menegaskan bahwa alih fungsi lahan seharusnya tidak memakai lahan-lahan pertanian produktif atas nama pembangunan, kalaupun terpaksa untuk dilakukan alih fungsi lahan ada beberapa persyaratan yang sangat ketat.
Minimnya lahan pertanian produktif berimplikasi terhadap kehidupan perempuan selain kehilangan pendapatan, juga dapat menghilangkan peran-peran perempuan dalam sektor pertanian karena perempuan dianggap sebagai masyarakat yang kurang produktif dan hanya diposisikan membantu kehidupan laki-laki. Bahkan perempuan tidak dapat bekerja karena lahan pekerjaanya sudah tidak mencukupi lagi. Dengan kebutuhan ekonomi yang saat ini semakin meningkat dengan segala biaya kebutuhan keluarga yang semakin mahal berpotensi terjadinya ketidakadilan terhadap perempuan. Kehilangan akses dan kontrol terhadap lahan dan pekerjaan semakin berpotensi perempuan mengalami situasi ketidakadilan seperti tersingkir dari akses mendapatkan ekonomi, mengakibatkan perempuan rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga karena faktor ketergantungan ekomoni kepada laki-laki. Belum lagi peran ganda yang harus dijalani oleh perempuan karena harus mencari tambahan ekonomi keluarga sekaligus memastikan ketersedian makan dan kebutuhan dalam rumah tangganya. Situasi ketidakadilan yang berlapis yang dialami perempuan berdampak pada pemiskinan perempuan.
http://www.antaranews.com/berita/342601/indonesia-kekurangan-82-juta-hektare-lahan-pertanian
Oleh : Ade Herlina