Inisiatif Perlawanan Politik Perempuan Mewujudkan Kedaulatan Pangan

Opini
Oleh: Kristina Pakpahan

Pendahuluan
Pada tahun 2018, the United Nations Commission on the Status of Women (UN CSW)[1] menyatakan “menegaskan kembali hak atas pangan dan mengakui kontribusi penting perempuan pedesaan terhadap perekonomian di tingkat lokal dan nasional, serta produksi pangan dan untuk mencapai ketahanan pangan dan peningkatan gizi, khususnya bagi rumah tangga miskin dan rentan’. UN CSW 62 lebih lanjut menyerukan negara-negara untuk memperkuat dan membangun ketahanan dan kapasitas adaptif semua perempuan dan gadis pedesaan untuk menghadapi dan pemulihan dan perekonomian, guncangan dan bencana sosial serta lingkungan, darurat kemanusiaan dan dampak negatif dari perubahan iklim. Memang, berbagai krisis dalam dasawarsa terakhir telah menunjukkan bagaimana gambaran perempuan sebagai korban telah bertransformasi menjadi gambaran para penyintas dan responden yang mengambil tugas untuk memastikan keselamatan dan kelangsungan hidup rumah tangga dan masyarakat, terutama dalam memastikan ketersediaan pangan. Munculnya pemimpin populis dan penguasa otoriter yang mendukung politisasi agama, chauvinisme nasionalis dan kebijakan neoliberal telah mengancam perempuan dan anak perempuan, kedaulatan pangan dan hak asasi manusia secara lebih luas.

Paradoks Kebijakan Pangan di Indonesia: Kapitalisme, Patriarki dan Kerusakan Lingkungan
Berbagai kajian telah memperlihatkan fakta kegagalan model dan rezim pangan yang didominasi oleh kapitalis. Dampak negatif nyata dirasakan oleh para petani subsisten, nelayan tradisional maupun pembudidaya ikan di belahan bumi bagian Selatan termasuk Indonesia. Alih-alih melakukan perubahan sistematik, pemerintah Indonesia justru semakin mengarahkan pada industrialisasi pangan untuk mengakomodir permintaan pasar global. Agenda Presiden Jokowi yang membuka peluang sebesar-besarnya kepada investor dan berpihak pada kepentingan bisnis dan investasi, ketimbang melindungi rakyat Indonesia juga merupakan ancaman bagi kedaulatan pangan kita. Agenda ini sangat terkoneksi dengan agenda global yang melibatkan berbagai aktor, termasuk korporasi transnasional maupun lembaga keuangan internasional.

Melalui intervensi dengan pendanaannya, lembaga keuangan internasional mendorong liberalisasi, monopoli, deregulasi kebijakan ataupun privatisasi. Kemudian diperkuat dengan komitmen atas nama kerja sama ekonomi melalui perjanjian-perjanjian internasional seperti WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) maupun FTA (perjanjian perdagangan bebas) dalam bentuk bilateral maupun regional. Dimana melalui perjanjian ini negara memfasilitasi dan melindungi kebebasan investasi serta perdagangan kepada investor hingga menyasar pedesaan. Liberalisasi pangan misalnya hanya akan melancarkan impor pangan ke Indonesia. Sehingga yang terjadi adalah petani, nelayan, buruh dan sebagainya dipaksa untuk mampu bersaing secara global tanpa dukungan dari Negara seperti subsidi. Kita juga melihat bagaimana monopoli pangan selalu dikuasai hanya oleh beberapa korporasi nasional hingga transnasional. Berbagai sumber daya alam yang seharusnya milik umum seperti air diprivatisasi sehingga hanya menguntungkan segelintir orang saja. Deregulasi kebijakan menghasilkan berbagai Undang-Undang yang mendorong semakin masifnya perampasan hak-hak rakyat terutama hak atas pangan. Selain itu juga memberi peluang besar bagi swasta dan investor asing untuk dengan mudahnya menguasai tanah, pesisir, pasar, dan lainnya. Lagi-lagi perempuan yang dilekatkan peran sebagai penjaga pangan menjadi kelompok paling tertindas dari kebijakan-kebijakan itu.

Kita juga bisa melihat bagaimana pemerintah menyebabkan pengetahuan masyarakat seperti menyilangkan benih, membakar ladang untuk membuka lahan, dan sebagainya menjadi punah, dengan mengeluarkan kebijakan yang  berpotensi mengkriminalisasi. Namun di sisi lain justru membela perusahaan sawit skala besar penyebab kebakaran hutan dan lahan ataupun menjamin pasar bagi korporasi benih dengan menjadikan petani ketergantungan terhadap benih hibrida.  Kriminalisasi tersebut rentan terjadi pada laki-laki dan perempuan, terutama perempuan yang melakukan persilangan benih. Salah satu contohnya adalah Ratna, perempuan petani di desa Maholo yang berhasil mengembangkan benih. Ketika pemerintah mengetahuinya, pemerintah justru mendatangi Ratna dan menawarkan beberapa program. Padahal sebelumnya dia tidak pernah diperhitungkan di desa. Hal tersebut tidak lepas dari kepentingan korporasi yang ingin menguasai benih.

Catatan penting lainnya adalah rezim pangan hari ini merupakan rezim yang didasarkan pada model ekstraktif sehingga menyebabkan kerusakan ekologis terhadap alam dimana perempuan sangat dekat dan tergantung padanya. Reklamasi wilayah pesisir laut seperti yang terjadi di Teluk Jakarta, Teluk Kendari ataupun Makassar merupakan salah satu contoh model pembangunan ekstraktif yang menjadi penyebab struktural dari feminisasi pemiskinan dan migrasi. Pedesaan yang selama ini dipercaya sebagai penyokong utama ketersediaan pangan, air, udara dan seluruh aktivitas pemenuhan kebutuhan bagi keberlangsungan hidup umat manusia. Desa menyimpan kekayaan yang hampir mustahil kita temukan di kehidupan perkotaan hari ini : lahan pertanian, hutan, perkebunan, laut , gunung, sungai, dan gambut. Pedesaan dan Kota harusnya diposisikan sebagai dua ruang hidup yang berkomunikasi secara egaliter, adil dan saling mendukung satu sama lain.  Jika kota menggerakkan jantung ekonomi melalui  pabrikasi dan masifnya perkembangan tekhnologi, pedesaan hari ini seyogianya ditempatkan menjadi episentrum tumpuan keberlanjutan hidup bagi anak cucu ke depan. Namun, mungkin saja imajinasi yang demikian sudah ditinggalkan, desa dan kota berada dalam situasi yang kabur,  Desa hanyut dalam ombang-ambing neoliberalisme, ekstraktivisme telah menjadikan desa sebagai arena baru perluasan kapital, telah menjadi situs-situs produksi komoditas global, sumber-sumber agraria yang dahulunya difungsikan sebagai bahan baku subsistensi dan dukungan bagi kehidupan yang kolektif, kini harus melayani gencarnya industrialisasi.

Industri ekstraktif juga memiliki kontribusi sangat besar dalam merusak bumi. Cara-cara produksi yang mengabaikan keberlanjutan alam membuat musim semakin tidak pasti, bencana alam semakin sering terjadi, krisis pangan semakin pun memuncak. Petani yang dulunya sangat memanfaatkan musim, kini tidak lagi berlaku karena cuaca tidak lagi dapat diprediksi. Nelayan kesulitan mencari penghidupan di laut karena laut telah tercemari limbah berbagai proyek yang menyebabkan makhluk hidup di laut tidak tumbuh dengan baik. Cuaca tidak menentu menyebabkan jadwal dan keselamatan nelayan saat melaut terancam. 

Di sisi lain, dalam kehidupan sehari-hari  kita mengetahui bahwa perempuan memiliki peran penting dalam pengelolaan pangan pada aspek produksi, konsumsi dan distribusi. Perempuan bertanggungjawab untuk memastikan tersedianya pangan sehat bagi dirinya sendiri, keluarga maupun komunitasnya. Pengetahuan dan pengalaman perempuan dengan berbagai kearifan lokal sangat penting dalam pengelolaan pangan yang saat ini telah dirampas dari  perempuan. Pangan yang sebelumnya diperoleh dari hasil menaman, kini sebagian besar berasal dari pabrik. Petani tidak lagi mengkonsumsi apa yang dia tanam, petani dipaksa untuk mengikuti pasar, apapun yang diproduksinya untuk kebutuhan pasar. Petani dipaksa bersaing di pasar dengan cara menjual hasil pertanian yang berkualitas. Akibatnya makanan pun diperoleh dari pabrik dengan cara membeli agar diri dan keluarganya dapat bertahan hidup. Malnutrisi menjadi semakin banyak kasusnya. Bicara ditribusi, kita bisa melihat bagaimana hasil panen petani langsung ditujukan kepada pasar. Di sisi lain petani sendiri menerima pangan impor sebagai konsumsinya.

Inisiatif Perlawanan Perempuan Pejuang untuk Kedaulatan Pangan
Pada tumpukan ketertindasan, ada lapis paling maju yang terus berupaya untuk membalik situasi. Lapis inilah yang menggerakkan diri dan komunitas untuk tidak tinggal termangu melihat kondisi-kondisi tersebut, berupaya membangun kesadaran kritis dan membongkar akar permasalahan yang sesungguhnya, lalu sama-sama merumuskan jalan keluar yang paling mungkin dicapai secara bersama.  Mereka, perempuan yang berani dan sadar telah  menjadi korban dari situasi ketertindasan,  atau ingin mengubah nasib kolektif dan individu. Spektrum latar belakang mereka pun sangat beragam, baik secara kelas sosial, identitas gender, suku, pendidikan, agama, organisasi, maupun ragam situasi personal lainnya. Berbagai inisiatif pun dibangun dan dikembangkan, seperti kembali mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tradisional dalam produksi pangan dengan sistem pertanian selaras alam. Ataupun terus mengintervensi kebijakan yang mengancam sumber pangan dengan melakukan aksi dan gelombang mobilisasi.    

Perjuangan perempuan dalam mempertahankan kedaulatan perempuan atas pangan harus terus dilakukan. Perempuan harus merebut skema politik pangan yang saat ini dikuasai oleh perusahaan nasional dan multinasional. Tentu saja proses perjuangan kedaulatan merebut pangan masih sangat panjang. Namun, jika semangat perempuan untuk maju di garda terdepan, maka perjuangan kedaulatan pangan pasti akan terwujud. Dalam hal ini, perempuan tidak bisa bekerja sendiri-sendiri, mengorganisir diri dan bersatu dengan perempuan tertindas lainnya menjadi kekuatan perjuangan.

[1] UN CSW atau Komisi tentang Status Perempuan adalah sebuah komisi fungsional Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa, salah satu badan utama PBB . Komisi tersebut disebut sebagai badan PBB yang mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.

Translate »