Investasi Proyek, Bukan Penanganan Krisis Iklim

Siaran Pers Solidaritas Perempuan
Merespon Pidato Presiden dalam Pertemuan Kepala Negara di COP 26
Untuk Disiarkan Segera

Penangan Krisis Iklim yang berorientasi proyek justru menghasilkan ancaman dan kehancuran bagi ruang hidup dan sumber kehidupan perempuan

Jakarta, 2 November 2021. Presiden Jokowi harus berhenti membahayakan hidup rakyat dan segera melakukan solusi konkret dalam mengatasi krisis iklim alih-alih mengejar pendanaan dan investasi. Di tengah Indonesia darurat iklim, pidato Joko Widodo, pada pertemuan pemimpin dunia di Conference of Party (COP) 26 menunjukkan konsistensi negara pada komoditisasi sumber daya alam. Pidato tersebut fokus pada mendorong kontribusi negara maju dengan menarik investor dan pendanaan untuk proyek iklim. Tentu kita sepakat bahwa negara maju memiliki tanggung jawab lebih dalam penanganan perubahan iklim. Namun kita perlu terus mempertanyakan tujuan dari mobilisasi pendanaan iklim yang dinyatakan Jokowi sebagai prioritas.

Dalam pidatonya, presiden Indonesia itu mengangkat  beberapa isu di antaranya carbon market, pembangkit listrik skala besar, serta pemanfaatan energi baru terbarukan termasuk biofuel. Pengalaman Solidaritas Perempuan bersama 12 Komunitasnya menunjukkan banyaknya proyek iklim yang tidak melibatkan masyarakat terlebih perempuan baik dalam perencanaan, maupun pelaksanaan. Akibatnya, proyek-proyek tersebut justru menghasilkan permasalahan baru, bagi masyarakat. Inisiatif  perempuan, masyarakat adat dan komunitas yang selama ini menjaga kelestarian lingkungan justru diabaikan, bahkan ruang hidup dan sumber kehidupan mereka dihilangkan. Seperti yang dialami perempuan Poso yang kehilangan lahan, air bahkan dihancurkan nilai budaya dan spiritualnya oleh proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso. Begitu pun perempuan di Kapuas, Kalimantan Tengah yang tidak bisa lagi mengakses hutan sumber pangan dan kehidupan mereka akibat program blocking kanal oleh REDD.Sawit yang kerap kali digadang-gadang sebagai biofuel  pada kenyataannya industri sawit di telah menyebabkan deforestasi, kebakaran hutan dan pelanggaran HAM. Dengan kata lain, pemerintah sesungguhnya tengah menargetkan pembiayaan untuk solusi palsu perubahan iklim.

Ketua Badan Eksekutif Nasional (BEN) Solidaritas Perempuan, Dinda Nuur Annisaa Yura, menjelaskan bahwa penanganan krisis iklim dan isu perubahan iklim di Indonesia telah dibajak kepentingan investasi dan pendanaan. Proyek-proyek solusi palsu yang dibangun justru mengalihkan negara mengambil langkah progresif dan konkret dalam menyasar akar permasalahan penyebab bencana iklim. Tak hanya itu, pemerintah Indonesia juga tidak memiliki perhatian pada agenda keadilan gender dalam isu perubahan iklim. “Perempuan dan komunitas yang selama ini terdampak buruk oleh perubahan iklim maupun proyek iklim tidak pernah menjadi prioritas,” ungkapnya. Meskipun United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) telah memiliki Gender Action Plan sejak 2017, hingga hari ini Indonesia belum menurunkannya ke dalam kebijakan Gender Action Plan nasional.

Jokowi juga menyampaikan klaim menurunnya laju deforestasi, penurunan kebakaran hutan sebesar 82%, rehabilitasi hutan mangrove, dan pengembangan di sektor energi seperti pembangkit listrik maupun energi terbarukan biofuel. Klaim tersebut menunjukkan bahwa Jokowi melihat situasi yang dialami masyarakat, terutama perempuan maupun masyarakat adat, akibat proyek-proyek tersebut hanya dalam deretan angka. Padahal proyek-proyek iklim yang dilancarkan oleh Jokowi telah merampas ruang hidup. Tidak ada urgensi dalam pernyataan Jokowi mengenai darurat iklim maupun komitmen untuk meninggalkan bahan bakar fosil yang berbahaya bagi keberlanjutan hidup generasi kita di masa depan. “Pidato Jokowi di COP 26 merupakan etalase yang dipamerkan ke negara maju untuk secara tidak langsung menjual tanah dan air kita demi pembiayaan proyek iklim yang sama sekali tidak menjawab permasalahan bencana iklim di Indonesia,” pungkas Dinda.

Narahubung: 082328813038

Translate »