Razia jilbab yang dilakukan pada 5 Februari 2014 kembali terjadi diskriminasi terhadap perempuan non muslim di Aceh. Pasalnya dalam razia tersebut, perempuan non muslim diminta untuk memakan jilbab[1]. Permintaan tersebut jelas mengabaikan dan menghilangkan makna keberagaman dan toleransi di Aceh.
Mulai terkikisnya nilai-nilai keberagaman dan toleransi di Aceh, berawal sejak Aceh memproklamirkan dirinya sebagai wilayah “Syariat Islam” pada tahun 2002 silam. Aceh menjadi wilayah yang banyak melahirkan kebijakan dan pelaksanaan yang diskriminatif dan mengontrol otonomi tubuh perempuan. Kebijakan dan penerapan diksriminatif tidak hanya ditingkat provinsi, bahkan ditingkat desa pun mulai melahirkan kebijakan-kebijakan diskriminatif. Razia jilbab oleh Satpol PP Wilayatul Hisbah (WH) Aceh, adalah salah satu bentuk diskriminatif terhadap perempuan, bahkan perempuan non muslim pun tidak luput untuk diminta menggunakan jilbab. Permintaan untuk menggunakan jilbab bagi perempuan non muslim dengan dalih apapun sesungguhnya tidak dapat dibenarkan.
Tindakan-tindakan seperti menasehati, mengimbau, dan meminta perempuan non muslim untuk menggunakan jilbab atau pakaian muslimah merupakan bentuk pelanggaran hak dan tindakan intoleransi terhadap perempuan non-muslim. Tindakan diskriminatif ini juga berdampak pada kekerasan psikologis bagi perempuan non-Muslim.
“Permintaan menggunakan jilbab bagi perempuan non muslim adalah bentuk pemberlakukan dan tindakan intoleransi dan melanggar hak atas keyakinan yang diatur dalam UUD 1945 pasal 29” ujar Wahidah Rustam – Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan.
Pemaksaan untuk penggunaan jilbab tidak terlepas dari kebijakan yang ada. Nilai-nilai toleransi dan keberagaman secara perlahan mulai ditinggalkan oleh rakyat Indonesia. Ini terlihat dengan berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran hak dengan mengatasnamakan agama, etnis, yang dilakukan oleh negara maupun kelompok lainnya. Oleh karena itu, sangat mendesak bagi Negara/Pemerintah untuk segera mengevaluasi dan menghentikan berbagai produksi kebijakan diskriminatif dan prakteknya, mulai mempromosikan nilai-nilai toleransi dan keberagaman di Indonesia, dan menghentikan berbagai bentuk kekerasan dengan mengatasnamakan agama.
“Pemaksaan penggunaan jilbab bagi perempuan non muslim tidak boleh dilakukan, karena itu adalah bentuk intoleransi, kekerasan dengan mengatasnamakan agama dan pelanggaran hak perempuan “ ungkap Wahidah Rustam.
Contact Person : Donna Swita (081317710690)
[1] www.merdeka.com dengan judul “Terjaring razia, wanita nonmuslim di Aceh diminta pakai jilbab” pada hari Rabu, 5 Februari 2014