Jokowi Setuju 100% Pemutusan Kontrak Swastanisasi Air Jakarta KMMSAJ Tunggu Realisasi!

Siaran Pers
privatisasi air dijakartaAksi Koalisi Masyarakat Menolak Swastasiasai Air Jakarta pada tanggal 22 Maret 2013 bertepatan dengan hari air pekan lalu ditanggapi serius oleh Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo. Janji Jokowi untuk menemui Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta yang terdiri dari masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat dipenuhi. Rabu, 27 Maret 2013 Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) ditemui Gubernur DKI Jakarta bersama dengan Asisten Perekonomian dan Administrasi Sekda, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, dan Kepala Biro Perekonomian Setda Propinsi DKI Jakarta di Balai Kota juga Direktur Utama PD PAM Jaya di Jalan Merdeka Selatan No.8-9, Jakarta.

Dalam pertemuan tersebut Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) menyampaikan secara langsung tuntutannya kepada Gubernur DKI Jakarta    Ir. Joko Widodo  untuk membatalkan kontrak konsensi swastanisasi air Jakarta yang telah berlangsung selama 16 tahun secara tertutup dan merugikan. Beberapa argumentasi yang disampaikan KMSSAJ antara lain;

Pertama, Perjanjian swastanisasi air antara PAM Jaya dengan AETRA dan PALYJA  telah melanggar konstitusi UUD 1945, hukum tertinggi negara ini dan peraturan perundang-undangan lainnya. oleh karenanya konsesi tersebut seharusnya batal demi hukum; Air merupakan res commune dan oleh karenanya harus tunduk pada ketentuan pasal 33 UUD 1945, sehingga pengaturan tentang air harus masuk ke dalam sistem hukum publik yang terhadapnya tidak dapat dijadikan objek pemilikan dalam pengertian hukum perdata.

Kedua Perjanjian Swastanisasi Air berisi klausul yang merugikan dan mengakibatkan negara kehilangan daulat atas air. Melalui konsesi tersebut, Pemerintah daerah DKI Jakarta kehilangan kewenangan dan tanggung jawabnya dalam pemenuhan hak atas air warga dan justru menyerahkan kewenangannya ke privat, swasta asing. Di berbagai negara termasuk Perancis tempat asal Palyja, swastanisasi air telah dihentikan karena merugikan warga  namun  di Indonesia khususnya Jakarta, Swasatanisasi air justru terus dilanggengkan.

Kedua, Pelaksanaan Konsesi Air PAM Jaya dengan dua operator swasta (PALYJA dan AETRA) terkait pengelolaan air dilaksanakan tanpa adanya transparansi dan akuntabilitas kepada masyarakat. Ketertutupan pengelolaan air berlangsung selama 16 Tahun sejak dimulainya konsesi yang mengakibatkan berbagai pelanggaran pidana seperti korupsi,  penggelapan aset dan lain sebagainya, hal ini dapat dilihat dalam Audit BPKP 2009. Bahkan ketika KMMSAJ memenangkan sengketa informasi publik melawan PAM di PTUN jakarta untuk menyerahkan berbagai dokumen terkait swastanisasi. Kewajiban menyerahkan dokumen tdak kunjung diberikan.

Ketiga, Kontrak Konsesi Air dengan dua operator swasta (PALYJA dan AETRA) telah mengakibatkan kerugian negara, karena adanya support letter Pemprov Jakarta harus menanggung beban hutang hingga ratusan milyar rupiah. Sementara itu, target yang dimandatkan kontrak tidak dapat dipenuhi oleh PALYJA dan AETRA. Terkait tarif rata-rata air di Jakarta adalah kurang lebih sebesar Rp. 7.000 an/m3 dengan kualitas yang  buruk, bandingkan dengan Singapura, yang harga dengan harga rata-rata Rp. 3.500/m3 dan kualitas air yang dapat langsung diminum. Tarif Air diJakarta termahal di Asia Tenggara.

Keempat swastanisasi air juga mengakibatkan pengalihan fungsi penjamin kesejahteraan dari Negara ke keluarga, terutama perempuan yang memperoleh peran dan tanggung jawab produktif dan reproduktif dalam keluarga dan masyarakat. Buruknya akses air dan sanitasi semakin menambah beban kerja perempuan, meningkatkan situasi kekerasan terhadap perempuan, mengancam jiwa dan kesehatan reproduksi perempuan. Pengabaian hak asasi atas air oleh Negara telah melanggengkan, meningkatkan bahkan menciptakan sub-ordinasi perempuan dan ketidakadilan gender.

Kelima, pembiaran kesewenangan operator swasta oleh Gubernur DKI tersebut telah menambah beban hidup masyarakat. Kelompok masyarakat yang hidup digaris kemiskinan harus menanggung beban terbesar. Dengan pendapatan bulanan rata-rata 1 sampia 1.5 juta rupiah , mereka harus mengeluarkan 400 sampai 600 ribu rupiah tiap bulan untuk membeli air dari pedagang air eceran, belum lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli bahan bakar untuk memasak air. Ironisnya, justru keluarga nelayan yang berada di desa-desa pesisir harus membeli air minum lebih tinggi ketimbang desa bukan pesisir. Tegasnya, swastanisasi, sarana pelayanan yang minim, dan buruknya kualitas lingkungan di perkampungan nelayan menjadikan mereka harus membeli kebutuhan air setiap harinya.

Menanggapi hal-hal tersebut di atas, Gubernur DKI Jakarta menyatakan setuju 100 persen dengan tuntutan KMMSAJ untuk membatalkan kontrak dengan swasta asing dan menyampaikan hal-hal berikut :

Untuk membatalkan kontrak perlu dikaji implikasi hukumnya dan bagaimana menghadapinya;
Permasalahan air pada pokoknya ada di perjanjian kerjasama antara PAM dengan Swasta Asing. Perjanjian tersebut membuat Pemda tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi ada pembagian wilayah pengelolaan air Jakarta kepada Swasta dimana  Wilayah Barat Jakarta ditangani oleh PT. PAM LYONNAISE JAYA (PALYJA) dan Wilayah Timur Jakarta ditangani oleh PT. AETRA AIR JAKARTA;
Sebenarnya Pemerintah Daerah DKI Jakarta mampu mengelola sendiri air di Jakarta terlebih DKI mempunyai APBD yang cukup besar;
Jokowi memerintahkan agar PAM Jaya menyerahkan dokumen konsesi antara PAM Jaya dengan PT. PAM LYONNAISE JAYA (PALYJA) dan  PT. AETRA AIR JAKARTA dan Audit BPKP kepada KMMSAJ sebagaimana putusan dari Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta;
Meminta jajarannya untuk memperhatikan gugatan warga negara (CLS) yang sedang berlangsung di PN Jakarta Pusat karena sangat penting bagi langkah selanjutnya

Di akhir pertemuan, KMMSAJ mengusulkan kepada Gubernur DKI Jakarta mengambil langkah-langkah penting untuk keluar dari jebakan swastanisasi pengelolaan air di Jakarta: (1) Menyiapkan audit independen mengenai dampak teknis, keuangan, sosial, ekonomi, lingkungan, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan air akibat pelaksanaan konsesi. Audit ini untuk menilai seberapa besar kerugian sebenarnya dari konsesi air Jakarta, termasuk harga yang harus ditanggung sebagai akibat dari pelayanan yang buruk; (2) Meneliti argumen hukum yang memungkinkan untuk dibawa ke pengadilan baik oleh pemerintah maupun masyarakat,  dengan landasan dampak yang timbul akibat berbagai kejanggalan kontrak ataupun kecurangan-kecurangan kerja kedua perusahaan tersebut; (3) Memutuskan kontrak konsesi dengan swasta asing,  dan (4) Menyusun tahapan  konkrit  untuk menciptakan operator sektor publik yang kredibel, mengidentifikasikan isu  kebutuhan, kapasitas dan pengalihan staf, mencari mitra potensial untuk PUP (Public to Public Partnership/kerjasama antar operator publik dengan prinsip solidaritas), dan sumber-sumber potensial keuangan untuk PUP. Layanan oleh Negara tanpa Pelibatan Swasta yang menjamin  pemenuhan hak atas air sebagai hak asasi warga negara.

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
Arif Maulana (LBH Jakarta): 0817256167; ar1f_maulana@yahoo.com
Muhammad Reza (KruHA): 081370601441; reza@kruha.org
Abdul Halim, (KIARA): 081286030453; sobatliem007@gmail.com
Nur Hidayah (SP): 081317174013; nh.dayah@gmail.com

Translate »