“Kalteng bukan ladang uji coba proyek iklim : Utamakan Kearifan Masyarakat Lokal dan Perlindungan Hak-hak Perempuan”

Siaran Pers
Untuk segera disiarkan
Solidaritas Perempuan, Yayasan Petak Danum dan Lembaga Solidaritas Perempuan dan Anak

Palangka Raya, 22 Maret 2013. Propinsi Kalimantan Tengah ditetapkan oleh Presiden SBY sebagai propinsi percontohan REDD sejak tahun 2010. Dinas Kehutanan Propinsi Kalteng, yang diwakili oleh  Alpius mengatakan bahwa salah satu tujuan REDD+ di Kalimantan Tengah diharapkan dapat mendorong masyarakat atau kelompok masyarakat sebagai entitas bisnis yang mandiri dan professional dalam pemanfaatan hutan, dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama. Namun, lebih lanjut ia mengatakan, “Konsep kearifan lokal memang terbukti ampuh dibandingkan dengan konsep-konsep yang ditawarkan dari luar, untuk itu masyarakat seharusnya diperjuangkan dan difasilitasi supaya memiliki legalitas hukum.” ” Kesadaran masyarakat untuk mempertahankan hutan, lebih tinggi. Ketika berbicara mengenai REDD+ jangan bicara mengenai dananya, tapi semangatnya.”

Namun, faktanya REDD+ dinilai sebuah skema yang mengarahkan pengelolaan hutan ke orientasi bisnis,  yang hanya melihat keuntungan yang dapat diperoleh dari mekanisme tersebut, walaupun kemudian dikatakan konsepnya adalah mendorong “kearifan lokal”. Konsep penyelamatan alam dari dampak perubahan iklim tidak akan memberikan solusi bagi masyarakat, khususnya di Negara berkembang apabila terus menggunakan skema perdagangan. “Sebenarnya tidak perlu REDD, masyarakat sudah melakukan upaya-upaya secara mandiri untuk memulihkan kerusakan alam akibat aktivitas industri, seperti yang dilakukan masyarakat di wilayah lahan gambut eks proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di Kabupaten Kapuas. Namun, Ketika demonstration acitivies (DA) REDD masuk ke wilayah mereka, selain upaya masyarakat tidak dihargai, budaya mereka pun  dihancurkan .” ujar  April Perlindungan dari Yayasan Petak Danum yang mendampingi masyarakat di wilayah proyek Kalimantan Forest and Climate Partnership (KFCP) di Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas. “Walaupun KFCP dikatakan baru demonstration activities belum REDD, tapi dampaknya sudah ada, yaitu menimbulkan konflik dan menghancurkan budaya di masyarakat. Melihat KFCP, Kami menyimpulkan bahwa skema REDD merupakan skema yang gagal dalam mengatasi perubahan iklim. Hanya sistem tata kelola masyarakat lokal yang telah terbukti mampu menjaga kelestarian lingkungan hidup.”

Ini dikuatkan oleh Ibu Nursiati, perempuan asal desa Mantangai Hulu, lokasi DA REDD KFCP yang  hadir dalam dialog publik juga mengungkapkan,  bahwa selama projek itu berlangsung, masyarakat khususnya kaum perempuan tidak banyak dilibatkan dalam rapat-rapat untuk membahas proyek.  “Orang yang diundangpun hanya orang-orang pintar, seperti  aparat desa, orang berpendidikan, sedangkan masyarakat bodoh seperti saya tidak pernah diberitahu”. Kemudian ia menyebut, sebagian masyarakat yang dilibatkan dalam proyek, hanya mendapat peran sebagai pekerja dengan upah yang rendah. “Contohnya dalam pembibitan, meskipun pihak KFCP memberitahu bahwa harga bibit satu pohon dihargai Rp 1.600,- kenyatanannya saya menerima upah pembibitan sebesar Rp 600”.

Padahal “…dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam di sekitarnya, perempuan lah yang paling dekat dengan alam  dan juga yang paling rentan untuk terlanggar hak-haknya, akibat konstruksi jender yang berlaku di masyarakat”, demikian ditegaskan oleh Aliza Yuliana dari Solidaritas Perempuan. Salah satu faktor terjadinya pelanggaran hak-hak perempuan, khususnya dalam proyek iklim adalah karena sampai saat ini, belum adanya aturan perlindungan yang jelas terhadap hak-hak perempuan dalam pengelolaan sumber daya alamnya, termasuk hutan. “..Kasus ibu Nursiati menegaskan bahwa proyek iklim- REDD, telah mengabaikan dan melanggar hak-hak perempuan. Tidak adanya standar perlindungan bagi perempuan yang menjamin hak atas informasi, keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan, dapat berdampak pada terbatasnya akses dan kontrol perempuan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan menjadi ancaman bagi perempuan dalam mengakses dan memanfaatkan sumberdaya alam di hutan.” Lanjutnya.

Oleh karena itu, sebelum pelaksanaan proyek iklim REDD+ di Kalimantan Tengah, pemerintah wajib mengeluarkan kebijakan yang menjamin pengakuan dan perlindungan terhadap inisiatif masyarakat lokal  dan melindungi hak-hak perempuan. Hak atas informasi, hak terlibat proses konsultasi, dan mempertimbangkan pandangan masyarakat sebagai landasan dalam persetujuan proyek. “Pemerintah tidak boleh mengeluarkan kebijakan dan persetujuan proyek perubahan iklim, jika masyarakat belum terinformasi dengan jelas,  dikonsultasikan, dan diminta persetujuannya tanpa tekanan,  serta memiliki posisi yang jelas di tingkat internasional, murni untuk mengatasi perubahan iklim dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat, laki-laki dan perempuan, bukan untuk untuk mengakomodir bisnis Negara-negara industri, termasuk bisnis karbon” lanjut Aliza. Lebih khusus lagi, Kalimantan Tengah dengan potensi hutan dan lahan gambut yang besar harus berhent untuk mengorbankan hak-hak masyarakatnya, laki-laki dan perempuan, dan tidak boleh menjadi ladang uji coba proyek iklim yang meminggirkan dan merampas hak masyarakat, khususnya hak perempuan.

Contact Person: Nindita (085267028220, nindita.elspa@gmail.com )

Translate »