RMOL. Janji poros maritim yang diusung Jokowi-JK ternyata gagal melindungi nelayan kecil. Selama ini pembangunan di sektor maritim lebih fokus pada orientasi bisnis. Akibatnya nelayan kecil dan masyarakat pesisir semakin terpinggirkan.
Deputi Pengelolaan Program dan Evaluasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, menuturkan janji untuk tidak lagi memunggungi laut dan berjaya di laut semakin tidak jelas arahnnya.
Pusat Data dan Informasi KIARA mencatat, sepanjang 2016 telah terjadi 16 kasus reklamasi, 17 kasus privatisasi pesisir dan pulau-pulau kecil, dan 18 konflik pertambangan di wilayah pesisir. Sebanyak 107,361 kepala keluarga nelayan terusir dari ruang hidupnya akibat proyek reklamasi.
Menurut Susan, upaya perlindungan dan pemberdayaan masyarakat pesisir seharusnya tidak hanya dibatasi pada asuransi nelayan. Hadirnya negara dalam melindungi dan memberdayakan nelayan dan masyarakat perlu diwujudkan secara nyata dan berkelanjutan dalam bentuk kebijakan pembangunan yang menempatkan mereka sebagai aktor utama.
“Bukan merampas ruang hidup mereka melalui proyek reklamasi, privatisasi, konservasi serta penambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” ujarnya di Jakarta.
Pihaknya mendorong penyelesaian konflik yang berkeadilan. Terutama bagi nelayan dan masyarakat pesisir, maka lokasi-lokasi yang selama ini terlibat konflik harus didorong menjadi prioritas dalam implementasi reforma agraria.
Hal ini juga tertuang dalam RPJMN dan Perpres 45/2016, reforma agraria berupa redistribusi tanah 9 juta hektar juga akan menyasar tanah-tanah di pesisir dan pulau kecil.
“Nantinya, penguatan dan penegasan hak masyarakat dilakukan melalui penetapan desa-desa pesisir dan pulau kecil dan disesuaikan dengan karakter fungsi ekosistemnya,” katanya.
Aktivis dari Solidaritas Perempuan, Arieska Kurniawaty menyebutkan, menjadi sebuah ironi mengingat hingga hari ini belum ada pengakuan politik terhadap posisi dan peran perempuan nelayan.
Dalam UU no. 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam pun, posisi perempuan masih dilekatkan pada Pasal 45 sebagai bagian dari rumah tangga nelayan.
“Ini artinya menihilkan peran perempuan di sektor perikanan yang sangat signifikan. Tidak adanya pengakuan dalam regulasi nasional ini diperparah dengan tidak adanya upaya afirmasi dalam kebijakan teknis,” katanya. ***
Sumber : politik.rmol.com