Sumber : Rappler

Kejahatan Para Pelaku Penjunjung Moralitas Abal Abal

Oleh : Zakiatunnisa

 Beberapa waktu lalu netizen dihebohkan dengan beredarnya video penelanjangan paksa sepasangan perempuan dan laki-laki oleh warga karena dugaan melakukan tindak asusila di Cikupa, Tangerang. Tanpa bukti yang jelas warga secara bermai-ramai masuk ke rumah korban yang tidak terkunci, dan memaksa mereka mengaku telah melakukan hubungan seksual. Tidak sampai di situ, warga yang sebagian besarnya adalah laki-laki memukul dan membuka paksa baju kedua korban yang masih melekat di tubuhnya, meskipun korban berteriak, menangis, minta ampun dan berusaha mempertahankankan pakaiannya, namun masa tidak perduli bahkan secara kejam memaksa korban memperagakan prilaku seksual di hadapan semua orang, kemudian mengarak kedua korban dalam keadaan bugil. Bahkan secara sengaja, kejadian tersebut direkam oleh masa dan disebarkan secara masif melalui media sosial.

Kita harus melihat fenomena ini dengan kritis, karena praktiknya sangat tidak manusiawi dan tidak masuk akal. Berkedok untuk menjaga moralitas dan kesucian, masyarakat seakan membenarkan diri melakukan tindak kekerasan bahkan merendahkan derajat manusia lain. Ini menjadi kontradiktif, pada satu sisi masyarakat sangat mengagungkan moralitas sehingga harus dibela secara fanatik buta namun pada sisi lain pembelaan tersebut dilakukan dengan  membuat kejahatan baru yang sangat tidak bermoral kepada manusia lain dengan ukuran moral relatif dan juga label negatif, misalnya perempuan yang tertangkap berduaan dengan pasangannya sebelum menikah merupakan perempuan tidak baik yang amoral sehingga perempuan tersebut layak mendapatkan sanksi sosial. Ini merupakan tindakkan persekusi, penghakiman yang dilakukan mencakup tindak kekerasan fisik, psikis bahkan kekerasan seksual dan juga mempunyai tujuan menghancurkan derajat kemanusiaan. Dampaknya tentu akan sangat buruk terhadap masa depan dan kehidupan korban.

Korban persekusi di Cikupa, Tangerang misalnya saat ini mengalami trauma mendalam akibat kejadian tersebut, sampai korban membutuhkan pendampingan psikologis untuk membantu memulihkan kondisi mentalnya. Ditambah lagi dengan stigma negatif yang dilekatkan oleh sebagian masyarakat kepada korban sebagai manusia tidak bermoral. Apalagi salah satu korban perempuan adalah pendatang yang tinggal seorang diri dan sudah tidak memiliki kedua orang tua. Tentu saja hal ini akan menciptakan label negatif kembali bahwa perempuan yang tinggal sendiri cenderung bebas apalagi tidak memiliki orang tua sebagai contoh baik pada nilai-nilai moral yang dipahami oleh masyarakat. Selain itu, selama ini kebanyakan warga pendatang selalu dianggap tidak mengikuti aturan dan budaya masyarakat setempat dan mendapatkan pandangan miring. Pada akhirnya besar kemungkinan korban akan dipinggirkan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya, komunitasnya, dan lingkup yang lebih luas baik secara sosial maupun secara ekonomi. Dengan kondisi demikian akan sangat sulit bagi korban untuk bisa melanjutkan kehidupannya. Dampak buruk tersebut bukan hanya dirasakan oleh korban, namun sangat besar kemungkinannya keluarga korban akan turut menerima dampaknya, sehingga dalam hal ini korban tidak hanya akan dipinggirkan secara sosial dan ekonomi bahkan dipinggirkan pula oleh keluarganya sendiri karena dianggap mencoreng nama baik keluarga, karena perempuan masih dilekatkan dengan fungsi penjaga nama baik keluarga. Perempuan korban akan kehilangan kepercayaan diri bahkan terus merasakan trauma berkelanjutan.

Meskipun dalam kasus seperti ini korbannya melibatkan laki-laki dan perempuan, namun perempuan menjadi pihak yang mendapatkan stigma dan dampak lebih berat dengan konsekuensi kekerasan berlapis. Mengapa demikian, karena masyarakat kita hingga saat ini masih menempatkan perempuan sebagai simbol moralitas yang wajib menjaga kesucian dan juga nama baik keluarga. Masyarakat kita saat ini masih banyak yang membonsai makna perempuan hanya sebatas tubuh sebagai aurat yang menggoda dan harus ditutupi. Sehingga segala macam hal yang berkaitan dengan kesusilaan dan tubuh pastilah perempuan akan dipersalahkan berkali-kali lipat dari laki-laki. Karena perempuan dan tubuhnya merupakan simbol moralitas, sehingga jika ternoda pastilah kesalahan dan kemalangan seorang perempuan itu sendiri yang wajar untuk direndahkan. Bahkan seringkali, perempuan yang dianggap telah menodai kesuciannya akan dihukum dengan cara dilecehkan martabat kemanusiaannya sebagai perempuan oleh orang-orang yang merasa diri paling suci. Maka, tingkat trauma dan kesulitan perempuan korban untuk melanjutkan kehidupan dengan stigma “perempuan pendosa“ akan lebih berat dirasakan.

Di Indonesia tindakan sewenang-wenang oleh massa dan aparat seringkali terjadi dan dengan mudah bisa ditemukan di mesin pencarian google. Di Aceh misalnya pada tahun 2010 aparat wilayatul hisbah atau WH sekelas polisi pamong praja menangkap sepasang perempuan dan laki-laki yang dituduh khalwat (berdua-duaan di tempat sunyi yang mengarah kepada zina). Alih-alih menegakkan hukum syariah aparat WH tersebut justru memperkosa korban  perempuan yang sedang diamankan di kantor WH.[1] Masih terjadi di Aceh pada tahun 2007, warga melakukan pengroyokan terhadap sepasang perempuan dan laki-laki yang dituduh melakukan zina. Tanpa ada proses hukum dan pembuktian, warga langsung mengroyok korban, memaksa korban mengaku telah melakukan zina, memaksa korban untuk berhubungan seksual di hadapan masyarakat kemudian dengan sengaja merekam dan menyebarkannya.[2] Perbuatan keji tersebut dilakukan menggunakan legitimasi hukum syariat yang diberlakukan di Aceh dalam bentuk Qanun, termasuk Qanun tentang hukum pidana/jinayat yang hingga saat ini masih diberlakukan yakni Qanun Jinayat. Bukan hanya Qanun Jinayat di Aceh, kebijakan lainnya seperti Perda Etika Berbusana di Kendari, kemudian Perdes hukum cambuk di Bulukumba, Makassar merupakan beberapa kebijakan negara yang diskriminatif dan menjadikan tubuh perempuan sebagai objek seksual yang dianggap berpotensi mengundang kejahatan.[3] Banyaknya kebijakan negara yang demikian, akan semakin membentuk dan membenarkan pemahaman masyarakat yang melihat perempuan hanya dari tubuhnya sebagai sumber yang menggoda dan berbahaya sehingga harus dikontrol. Prilaku perempuan juga harus diatur dan dibatasi, untuk tetap menjaga norma kesusilaan dan kesopanan di masyarakat. Sehingga perempuan akan terus menjadi korban kekerasan berlapis oleh masyarakat dan Negara karena seksualitasnya.

Dengan demikian tindak main hakim sendiri yang masih sering dilakukan oleh masyarakat kita apalagi dilakukan dengan menjadikan seksualitas perempuan sebagai objek, dapat dipastikan hanya berlandaskan emosional patriarki dan tujuan mengambil kesempatan dalam kesempitan. Sedangkan kebijakan diskriminatif yang menyasar pada seksualitas perempuan juga menjadi salah satu pemicu meningkatnya agresi yang dilakukan kelompok tertentu di dalam masyarakat untuk melakukan kontrol pada seksualitas perempuan dengan mengatasnamakan moralitas. Bahkan terlepas dari terbukti atau tidaknya korban melakukan hubungan seksual seperti yang dituduhkan warga, tindak persekusi seperti itu jelas melanggar undang-undang dan Hak asasi manusia. Diantaranya, pasal 28 G ayat (1) UUD 1945  yaitu jaminan atas perlindungan diri pribadi, kehormatan, martabat, hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Pasal 28 G ayat (2) UUD 1945 setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia. Pasal  30 ayat 1 dan 2 UU No.39/1999 tentang HAM, bahwa tempat kediaman siapapun tidak boleh diganggu (2) menginjak atau memasuki suatu pekarangan tempat kediamannya atau memasuki suatu rumah bertentangan dengan kehendak orang yang mendiaminya, hanya diperbolehkan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Juga melanggar UU nomor 7 tahun 1984 tentang Rativikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimnation Againts Women).

Telah jelas bahwa tindakan sewenang-wenang yang dilakukan terhadap seseorang yang dianggap melanggar norma kesusilaan merupakan tindak persekusi yang melanggar dan melukai HAM dan khususnya Hak Asasi Perempuan. Sehingga sebagai manusia yang dianugerahkan otak dan hati nurani oleh yang Maha Kuasa, tidak sepantasnya melakukan kejahatan kemanusiaan apalagi dengan dalih melindungi moralitas. Karena itu adalah alasan yang diada-adakan, karena kejahatan akan tetap sebagai kejahatan, karena tidak ada pembenaran untuk setiap kejahatan.

 

[1] https://www.hrw.org/id/report/2010/11/30/256153

[2] https://www.antaranews.com/berita/64710/isu-video-mesum-di-negeri-bersyariat

[3] Peraturan Desa Muslim Padang, Makasar No 5 tahun 2006 tentang hukum cambuk, Peraturan daerah nomor 18 tahun 2014 Tentang Etika Berbusana

_______________________________________________________________________________________

Gambar Featured Image di atas dipinjampakai dari Rappler

Translate »