Kemenangan Kecil untuk Royah “Perjuangan Panjang Seorang Perempuan Buruh Migran dalam Menuntut Keadilan”

Siaran Pers Solidaritas Perempuan
Untuk disiarkan segera

IMG20161004141956[1]Perjuangan Royah dalam menuntut keadilan mendapatkan jawaban. Setelah 5 (lima) tahun berjuang, akhirnya hak-hak yang selama ini dituntut Royah dipenuhi oleh negara.

Royah BT Usen Jainem merupakan Perempuan Buruh Migran asal Karawang yang pernah bekerja di Arab Saudi. Kebutuhan ekonomi dan situasi anaknya yang sakit tumor, mendorong Royah untuk mencari sumber ekonomi. Pendidikan yang hanya tamat SD tidak memberi dia banyak pilihan, sehingga Royah berangkat ke luar negeri untuk menjadi Pekerja Rumah Tangga Migran. Royah pun berangkat ke Arab Saudi pada tahun 2008 melalui PT Bumi Mayak Asri, dengan harapan akan dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. “Saya memilih menjadi PRT migran karena suami saya meninggal jadi saya harus membiayai kehidupan keluarga dan untuk membiayai pengobatan anak saya yang sakit tumor ganas paling sedikit 10 juta biayanya. Ketika saya pulang ternyata anak saya sudah meninggal,” ujar Royah.

Alih-alih mencapai impiannya, Royah justru mengalami berbagai kekerasan fisik dan penganiayaan oleh majikan. Disiram dengan air mendidih hingga disetrika pernah dialami oleh Royah. Berbagai siksaan yang dilakukan oleh majikan bahkan mengakibatkan rusaknya penglihatan pada kedua mata Royah, hingga mata sebelah kirinya mengalami kebutaan sampai sekarang. Tak hanya itu, majikan juga tidak membayar sisa gaji Royah selama 14 bulan. Royah juga diancam untuk tidak melaporkan seluruh tindakan kekerasan yang dilakukan oleh majikan kepada pemerintah dan polisi.

Situasi fisik yang dialami tidak menghalangi Royah untuk tetap berjuang. Sejak kembali ke Indonesia pada 2010 sampai sekarang, Royah terus memperjuangkan  hak-haknya yang telah terlanggar. Bersama dengan Solidaritas Perempuan dan Solidaritas Buruh Migran Karawang, Royah terus memperjuangkan untuk mendapatkan hak-haknya, berupa sisa gaji yang belum dibayarkan dan pencairan deposito PT oleh Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker).

Sebagai bagian dari perjuangannya, Royah mendatangi dan berdialog dengan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (BNP2TKI), Kemenaker, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) hingga anggota Komisi IX dan Kaukus Perempuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyampaikan langsung persoalan yang dia alami, dan menuntut hak-haknya.

Royah juga berbicara di sejumlah forum publik yang melibatkan pemerintah, organisasi Buruh Migran, organisasi masyarakat sipil, dan jurnalis untuk berbagi pengalaman dan menyuarakan hak-haknya yang terlanggar. Royah berharap pengalamannya dapat menjadi pembelajaran bagi pemerintah maupun masyarakat lainnya. Perjuangan Royah bukan tanpa tantangan. Sulitnya berhadapan dengan PT hingga ketidakjelasan dan ketidakpastian tindak lanjut kasus yang dilakukan pemerintah tidak membuat Royah berputus asa.

Perjuangan panjang yang dilakukan Royah akhirnya membuahkan kemenangan kecil. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan merespon tuntutan pembayaran sisa gaji Royah, yang penyerahannya dilakukan langsung pada hari ini Selasa/4 Oktober 2016. “Apa yang didapatkan Royah merupakan buah dari perjuangannya selama ini,” ungkap Nisaa Yura, Koordinator Program Solidaritas Perempuan.

Menurut dia, apa yang dialami Royah, hanya salah satu dari banyaknya kasus kekerasan dan pelanggaran hak yang dialami oleh perempuan buruh migran. “Setiap tahunnya, SP menanganani 50-60 kasus kekerasan dan pelanggaran Hak Perempuan Buruh Migran[1], dengan berbagai jenis kasus, seperti trafficking, pelanggaran hak ketenagakerjaan, kekerasan, hingga kriminalisasi dan pembunuhan,” jelas Nisaa

Berbagai persoalan di atas terjadi akibat belum adanya kebijakan Buruh Migran yang menjamin perlindungan Buruh Migran secara komprehensif. “Negara sudah sepatutnya memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak tidak hanya untuk Royah tetapi juga untuk setiap perempuan buruh migran yang selama ini masih sangat rentan terhadap berbagai kekerasan dan pelanggaran hak,” ungkap Nisaa. “Oleh karena itu, RUU PPILN[2] harus segera disahkan dengan memuat aspek perlindungan dan pemenuhan hak Perempuan Buruh Migran sebagaimana diatur di dalam Konvensi Migran 90[3] dan CEDAW[4],” lanjutnya.

Dengan terpenuhinya hak-hak Royah, dia berharap dapat melanjutkan hidupnya dengan lebih baik. “Saya ingin mengobati mata saya supaya bisa melihat dengan normal lagi,” tuturnya. Royah juga berharap Negara terus meningkatkan perlindungan untuk seluruh buruh migran, sehingga tidak ada lagi yang mengalami kekerasan dan penganiayaan seperti yang dia alami. “Kalau bisa jangan ada lagi yang mengalami kasus seperti saya. Harus lebih giat lagi mengejar PT dan pihak- pihak lain yang bertanggung jawab menangani kasus kekerasan yang terjadi,”  pungkasnya.

Komitmen Kemenaker
Pembayaran sisa gaji sesungguhnya hanya sebagain kecil dari keadilan yang selama ini diperjuangkan oleh Royah. Dalam pertemuan ini, dia juga menyampaikan harapanya kepada Kemenaker untuk mendaptkan keadilan atas kekerasan yang dialaminya, antara lain terkait pemulihan pengelihatan, serta proses hukum terhadap mantan majikannya yang telah melakukan kekerasan.

Merespon harapan Royah Drs Oscar Abdurachman dari bagian sub direktorat Perlindungan Direktorat Jenderal Pernempatan dan Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri menyatakan komitmennya untuk menindaklanjuti kasus ini. “Kita akan berupaya terutama dengan Kemenkes (Kementerian Kesahatan) terkait pengobatannya, dan terkait kasusnya juga melalui Kementerian Luar Negeri,” ujar Oscar. Dia juga berjanji untuk mengomunikasikan kasus kekerasan yang dialami oleh Royah kepada Perwakilan Indonesia di Jedah, Arab Saudi.

Jakarta, 4 Oktober 2016

Puspa Dewy
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan

Cp:
Risca Dwi: (081219436262)
Andriyeni: (08126790950)


[1] http://www.solidaritasperempuan.org/sub/wp-content/uploads/2013/04/Catahu-Migrasi-Trafficking-Solidaritas-Perempuan-2014.pdf
[2] RUU PPILN adalah Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri yang merupakan draft Revisi UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
[3] Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya
[4] Convention On the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (Konvensi Penghilangan Seluruh Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan)
Translate »