Siaran Pers Bersama
WALHI, Solidaritas Perempuan, dan Aksi! for Gender, Social and Ecological Justice
Jakarta, 8 Mei 2024 – Asian Development Bank (ADB) baru saja menggelar Pertemuan Tahunan ke-57 di Tbilisi, Georgia pada 2-5 Mei 2024. Sekitar 4000 peserta hadir dari berbagai unsur seperti pimpinan ADB, delegasi negara anggota ADB, hingga perwakilan organisasi masyarakat sipil dari berbagai negara. Representasi masyarakat sipil dari berbagai negara, terutama Asia dan Pasifik hadir untuk mendesak ADB memperkuat kebijakan perlindungan (safeguard policy) dan menghentikan pendanaan proyek-proyek skala besar yang menimbulkan kerusakan lingkungan, memperburuk krisis iklim, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Belum lama ini, ADB mendeklarasikan diri sebagai Bank Iklim bagi Asia dan Pasifik berdasarkan klaim keberhasilan pada proyek-proyek adaptasi dan mitigasi iklim di berbagai negara. Klaim ADB sebagai bank yang memiliki komitmen kuat pada aksi iklim, kontradiktif dengan realitas dampak yang diajukan terutama oleh masyarakat adat dan lokal, serta kelompok perempuan. komunitas lokal, masyarakat adat, dan organisasi masyarakat sipil telah menunjukkan bukti dampak buruk yang ditimbulkan oleh proyek-proyek ADB. Kerugian ini mencakup dampak lingkungan dan iklim, hilangnya mata pencaharian, dan terkikisnya nilai-nilai sosial budaya. Kebijakan perlindungan (safeguard) ADB gagal mencegah dampak ini tanpa benar-benar mengatasi keluhan masyarakat yang terkena dampak.
WALHI, Solidaritas Perempuan, dan Aksi! for Gender, Social and Ecological Justice menilai bahwa Pertemuan Tahunan ADB 2024 sama sekali tidak memperlihatkan komitmen pada perlindungan lingkungan dan Hak Asasi Manusia, serta Hak Asasi Perempuan. Hal ini terbukti dari gelontoran utang yang masih akan terus diberikan untuk proyek-proyek solusi iklim palsu, yaitu proyek-proyek yang mendahulukan investasi untuk energi dan transportasi yang tidak berkelanjutan secara lingkungan dan sosial, dan justru menimbulkan ketidakadilan iklim dan ketidakadilan gender.
Proyek-proyek seperti ini misalnya seperti proyek geothermal di Indonesia, ETM (energy transition mechanism) untuk Indonesia, Filipina, dan Pakistan, dan di berbagai negara berkembang lainnya, telah memperlihatkan kehancuran lingkungan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia, bahkan turut memperbesar lepasan emisi gas rumah kaca.
Kegagalan proyek geothermal sudah terlihat diantaranya pada proyek Geothermal/PLTP Muara Laboh di Sumatera Barat, PLTP Ulumbu Poco Leok di Nusa Tenggara Timur, dan PLTP lainnya, telah menunjukkan dampaknya seperti pengambil alihan lahan secara paksa, perusakan sungai yang menyebabkan gagal panen, ancaman kesehatan dari gas, penghancuran sumber mata air, pencemaran udara dan air, kehilangan sumber ekonomi, dan meningkatnya intensitas bencana ekologis seperti banjir. Bagi perempuan, kehadiran proyek geothermal berdampak berbeda karena peran gendernya, dimana kehancuran sumber penghidupannya dapat meningkatkan beban perempuan, gangguan kesehatan reproduksi, bahkan pendekatan militeristik yang dilakukan negara berdampak pada trauma dan gangguan mental dalam jangka panjang bagi perempuan dan anak-anak.
Begitupun pada pendanaan ADB di ETM. Pada PLTU Cirebon 1, alih-alih menghentikan energi fosil sedini mungkin, ETM yang didukung ADB masih mempersilahkan pengoperasian PLTU hingga tahun 2035. Pendanaan ADB kepada PLTU Cirebon 1 juga menunjukkan bahwa ADB tidak sungguh-sunguh mengatasi krisis iklim, tetapi pendanaan tersebut hanya upaya mempertahankan keuntungan korporasi dengan cara pemberian kompensasi kepada potensi kerugian akibat penghentian Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik kepada para investor PLTU ini, akan tetapi juga memberi ruang pemanfaatan kembali pembangkit. ETM yang didukung ADB juga melupakan dampak-dampak kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia, diamana pemulihan terhadap lingkungan dan dampak pada kehidupan masyarakat yang terkena dampak PLTU, tidak menjadi prioritas pembiayaan.
Baik geothermal maupun ETM adalah dua proyek yang dinilai solusi iklim palsu, karena tidak mengatasi akar masalah dari krisis iklim, tetapi justru kembali menimbulkan kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM dan Hak Asasi Perempuan.
Di tengah tidak dijalankannya secara maksimal safeguard ADB. Saat ini ADB justru memperlemah aturan perlindungan (safeguard) baru atau Environmental and Social Framework (ESF) 2024. Draft ESF ini kontradiktif dengan komitmen ADB yang mengklaim sebagai Bank yang mempromosikan perlindungan lingkungan dan Hak Asasi Manusia, termasuk perlindungan Hak Perempuan. Lemahnya ESF menguntungkan korporasi dan justru akan memperluas kerusakan lingkungan, memperparah krisis iklim, perampasan lahan, penggusuran, dan memperkuat ketidakadilan gender. Draft ESF tidak mengakomodir tuntutan masyarakat sipil yaitu penguatan aturan perlindungan yang mampu melindungi lingkungan dan masyarakat dari proyek ADB.
Koalisi Masyarakat Sipil mendesak ADB merevisi draft ESF dengan substansi yang memperkuat perlindungan lingkungan hidup sejalan dengan konvensi internasional, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, dan mengakui hak masyarakat untuk menolak proyek ADB. Upaya perlindungan harus dikembangkan berdasarkan pengalaman kerusakan lingkungan dan penindasan terhadap masyarakat akibat proyek ADB. Koalisi Masyarakat Sipil juga mendesak ADB menghentikan pendanaan proyek-proyek solusi palsu yang memperparah krisis iklim.
Narahubung
Abdul Ghofar (WALHI/ +62 856-4552-0982)
Andriyeni (Solidaritas Perempuan/ +62 812-6790-950)
Risma Umar (Aksi! / +62 811-9781-274)