Liputan Aksi “19 Tahun Swastanisasi Air di Jakarta; Rakyat Semakin Sulit Akses Air Bersih”

Oleh : Nisa Anisa
Jakarta, 3 Juni 2016, Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ), yang terdiri dari ; Kruha, ICW, LBH Jakarta, Seknas Solidaritas Perempuan, Solidaritas Perempuan Jabotabek, JRMK, KIARA, UPC dan FPPI, menggelar aksi di depan Mahkamah Agung (MA) Jakarta Pusat. Aksi ini dilakukan untuk mendesak MA untuk dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya dalam kasus swasanisasi air di Jakarta.

Seperti yang diketahui sebelumnya, KMMSAJ bersama warga Jakarta, tanggal 21 November 2012 telah melayangkan Gugatan Warga Negara (GWN) menggugat Presiden, Wakil Presiden, Kemenkeu, KemenPU, Pemprov Jakarta, dan PAM Jaya, dengan menempatkan Palyja, dan Aetra sebagai turut tergugat. Setelah melalui lebih kurang 3 tahun proses persidangan, akhirnya Pengadilan Negeri memutuskan untuk memenangkan warga Jakarta, pada tanggal 24 Maret 2015. Hasil putusannya adalah menyatakan kontrak kerja sama PAM Jaya dengan Palyja dan Aetra batal demi hukum dan tidak berlaku, serta memerintahkan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta untuk menghentikan kebijakan swastanisasi air di Jakarta.  Merespon putusan tersebut Pemerintah Pusat dan swasta menyatakan banding ke Pengadilan Tinggi. Pada 12 Januari 2016, Pengadilan Tinggi memberikan putusan bahwa keputusan PN batal, dengan alasan yang tidak substansif dan sama sekali tidak memeriksa pokok perkara. Untuk terus memperjuangkan hak warga Jakarta atas air, maka KMMSAJ bersama warga Jakarta mendaftarkan kasasi pada tanggal 1 Maret 2016.

Aksi yang dimulai pukul 11.00 ini, hadiri oleh sekitar 50 peserta aksi yang terdiri dari aktivis, dan ibu-ibu rumah tangga yang berasal dari Muara Baru, Rawa Badak, dan Bojong Gede, dengan membawa bermacam atribut aksi, seperti gayung, ember, kentongan, ogoh-ogoh raksasa, dan berbagai poster, diantaranya bertuliskan “ Penuhi Hak Perempuan Atas Air, Usir Palyja & Aetra”, “MA Benteng Terakhir Perlawanan Rakyat Jakarta Terhadap Swastanisasi Air”, “Air Sumber Kehidupan Perempuan”.

Aksi ini, diisi dengan orasi dan pembacaan puisi. Orasi diawali oleh Elasari selaku Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Jabotabek. “Perempuan biasanya bekerja diranah domestic jadi kalau tidak ada air, perempuanlah yang paling susah, karena harus bekerja keras untuk menyiapkan kebutuhan air keluarga, karena itu kami menuntut hentikan swastanisasi air, MA harus memberi keputusan yang berpihak kepada rakyat”

Nurhidayah, yang merupakan pengguagat dalam kasus GWN ini, juga berpartisipasi membacakan puisi. Puisinya menceritakan tentang penderitaan perempuan saat air yang seharusnya bagian dari hak azasi, dijadikan sebagai komoditas.

Orasi kemudian, diperdengarkan secara bergantian dari masing-masing lembaga yang bergabung dalam KMMSAJ. Yunita dari LBH Jakarta dalam orasinya mengatakan bahwa “Negara sudah seharusnya menjamin hak masyarakat atas air, tarif air yang meningkat terus menerus, adalah bukti bahwa perusahaanlah yang terus diuntungkan

Sedangkan Kurnia Ramadhana dari ICW mengungkapkan “Air adalah hak azasi manusia, maka pada saat terjadi swastanisasi air, masyarakat akan memperjuangkannya, ini bisa terlihat bahwa sudah ada 8000an orang yang mendukung dan menandatangani petisi untuk advokasi hak atas air, ini berarti permasalahan air adalah perjuangan kita semua”.

Perjuangan untuk mendapatkan hak atas air, memang tidak hanya dilakukan di ranah litigasi saja, perjuangan juga dilakukan dengan menggalang dukungan publik. Salah satunya adalah dengan penandatanganan petisi, hingga tanggal 3 Juni pagi hari, sudah ada 8.435 penandatangan petisi untuk mendesak Mahkmah Agung agar dapat memberi keputusan yang adil dan berpihak kepada masyarakat.

Di akhir aksi, 5 orang perwakilan KMMSAJ memasuki gedung MA untuk menyerahkan petisi secara simbolik. Berdasarkan informasi yang diberikan Yunita yang ikut mengawal petisi menyatakan bahwa, “ tadi kami ditemui oleh Biro Humas Hukum MA,  mereka mengatakan bahwa perkara belum di terima MA, tapi mereka tetap menerima dan akan menyerahkan petisi ke pihak yang mengurus setelah ada nomor perkaranya.”

Translate »