Perempuan Menuntut Keadilan Iklim Berkeadilan Gender, Hentikan Solusi Palsu, Hentikan REDD+
Oleh : Ega Melindo
Jakarta, 17 Mei 2016, di depan Istana Presiden Republik Indonesia, digelar Aksi Perempuan Menuntut Keadilan Klim Berkeadilan Gender, Hentikan Solusi Palsu, Hentikan REDD+. Walaupun kawasan istana Negara saat itu diguyur hujan sejak pukul 14.00, aksi yang diselenggarakan oleh Solidaritas Perempuan (SP) dalam rangka menanggapi penandatanganan Perjanjian Paris oleh Pemerintah Indonesia ini tetap berlangsung. Dalam proses perundingan perjanjian yang ditandatangani di New York pada 22 April 2016 lalu, pemerintah Indonesia tidak memberikan komitmen, ataupun memiliki posisi tegas untuk mendorong solusi nyata dalam menghadapi dampak percepatan perubahan iklim. Sebaliknya, Indonesia justru mendukung solusi palsu, seperti REDD+[1] yang hanya menguntungkan pihak negara industri maju yang ingin mengalihkan tanggung jawabnya sebagai penghasil emisi penyebab percepatan laju perubahan iklim. Padahal, proyek REDD dan REDD+ sudah terbukti gagal dalam implementasinya di Indonesia, termasuk di Kalimantan Tengah melalui Proyek Kalimantan Forest and Climate Partnership (KFCP).[2]
Karena itulah penting bagi SP untuk kembali menegaskan penolakannya atas solusi palsu perubahan iklim, terutama REDD+ yang sedang dan akan dijalankan di Indonesia. Melalui aksi yang dilakukan, Nisa Anisa, staff Keadulatan Perempuan atas Tanah SP menyampaikan tentang dampak yang dialami masyarakat baik laki-laki dan perempuan akibat adanya kebijakan REDD+.”Dampak perubahan iklim dirasakan lebih berat bagi perempuan, karena itulah kami sebagai perempuan menuntut pemerintah memberikan solusi nyata terhadap dampak perubahan iklim, bukan solusi palsu seperti REDD+, yang malah menghilangkan akses dan kontrol perempuan atas hutan,” ujar Nisa Anisa dalam orasinya.
Orasi politik juga disampaikan oleh bergantian oleh peserta aksi. “Perempuan yang tinggal di pesisir mengalami beban ganda, karena dampak perubahan iklim, kami harus bantu suami cari uang karena ikan tidak semudah dulu dijaring, tapi kami juga tetap harus mengurus keperluan rumah tangga” teriak bu Mini, perempuan nelayan dari Cilincing.
Selain itu, perubahan iklim yang terjadi juga tidak terlepas dari mekanisme pasar dan perdagangan bebas di melalui skema jual beli karbon dalam REDD dan REDD+. “Berlangsungnya mekanisme pasar juga dirasakan oleh perempuan petani, perempuan-perempuan mengantungkan penghidupannya pada hutan menyebabkan perempuan mengalami dampak beban yang berlapis,” ujar Suci Fitriah dari SP. Sementara, aktivis SP lainnya, Zakia Nisa menyatakan “solusi palsu yang sia-sia karena disatu sisi Negara berkembang seperti Indonesia dibebankan untuk mengurangi emisi dengan menanam pohon namun disisi lain koorporasi transnasional dan actor lainya terus melakukan perusakan lingkukan yang menghasilkan emisi lebih banyak.”
Senada dengan Zakia, Koordinator Program Solidaritas Perempuan, Nisaa Yura menyampaikan krisis iklim hanya dapat ditangani dengan mengatasi akar penyebab dari pemanasan global. “Krisis iklim hanya bisa ditangani melalui penurunan emisi secara drastis dan reparasi atas utang iklim dari Negara industri ke Negara berkembang,” pungkasnya.
Masih menurut Nisa, penanganan perubahan iklim seharusnya tidak menguatkan ketidakadilan terhadap perempuan, tapi justru harus irasakan didorong untuk mewujudkan keadilan gender, melalui penciptaan kesetaraan dan keadilan gender, serta pemberdayaan perempuan. “Penanganan perubahan iklim harus dilakukan dengan memastikan kebijakan perlindungan hak perempuan, peningkatan kapasitas bagi perempuan, keterlibatan penuh perempuan dalam pengambilan keputusan, pengembangan inisitiaf berbasis pengetahuan dan kearifan perempuan, serta alokasi pendanaan untuk menciptakan kondisi pendukung bagi perempuan untuk berdaya,” imbuhnya.
Aksi juga diisi pembacaan puisi oleh mahasiswa, Laurient Dymas Nandarie dan anggota SP Jabotabek Leo Lintang. Melalui kedua puisi tersebut, Arin dan Leo berkisah tentang kerusakan hutan dan akibatnya yang dialami oleh perempuan.
Aksi juga diisi dengan Teatrikal oleh SP Jabotabek yang mengisahkan hutan sebagai sumber kehidupan perempuan. Pada awalnya perempuan hidup damai, dan serasi dengan hutan. Mereka tidak hanya mengambil hasil hutan, seperti sayur dan buah-buahan, tetapi juga ikut menjaga dan melestarikan hutan tersebut. Namun masuknya proyek REDD+, mengakibatkan perempuan tidak lagi bisa mengakses hutan. Perempuan menjadi terpinggirkan, dan tidak dilibatkan di dalam proses-proses pengambilan keputusan terkait pengelolaan hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka. Di akhir cerita, para perempuan tersebut menuntut solusi nyata dari pemerintah untuk menghadapi perubahan iklim melalui kebijakan iklim yang berkeadilan gender.
[1] REDD: Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (UN) atau Proyek Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan
[2] Hasil Penelitian SP terhadap proyek KFCP di Kalimantan Tengah dapat dilihat di dalam tautan berikut: http://www.solidaritasperempuan.org/sub/wp-content/uploads/2013/04/Laporan-Penelitian-FPAR-di-Kalimantan-Tengah.pdf