Oleh : Ega Melindo
Perempuan nelayan dan nelayan tradisional menolak reklamasi di Teluk Jakarta. Penolakan ini disuarakan oleh ratusan perempuan nelayan dan nelayan tradisional dalam aksi demonstrasi di depan gedung DPRD DKI Jakarta dan dilanjutkan ke Istana Negara. Aksi yang dilakukan Solidaritas Perempuan bersama dengan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta pada 28 Januari 2016 ini dimulai sejak jam 10.00 dan diisi oleh orasi-orasi dari perempuan nelayan, nelayan tradisional dan perwakilan Koalisi. Di depan gedung DPRD, peserta aksi menyampaikan tuntutan untuk menghentikan pembahasan Ranperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Ranperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura Jakarta. Pasalnya kedua ranperda ini tak lain hanya untuk melegitimasi reklamasi di Teluk Jakarta. Pun pembahasan kedua ranperda tersebut tidak partisipatif karena tidak melibatkan perempuan nelayan dan nelayan tradisional. Padahal kedua ranperda tersebut jika disahkan akan berdampak terhadap kehidupan perempuan nelayan dan nelayan tradisional.
Situasi Teluk Jakarta yang kritis akan semakin parah dengan berjalannya reklamasi. Meskipun situasi ini sama-sama dialami oleh laki-laki dan perempuan, namun dampak yang berbeda dirasakan oleh perempuan di wilayah pesisir Jakarta. “Akibat peran gendernya, perempuan harus berpikir dan berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Reklamasi menjadikan kehidupan rumah tangga nelayan semakin terhimpit. Sehingga banyak perempuan pesisir yang bekerja secara serampangan, ditambah dengan beban kerja domestik banyak perempuan yang harus bekerja lebih dari 18 jam sehari” ujar Arieska Kurniawaty dalam orasinya mewakili Solidaritas Perempuan.
Di tengah aksi, perwakilan Koalisi menemui Balegda DPRD DKI Jakarta untuk menyampaikan tuntutan. Perwakilan ini ditemui oleh M. Taufik (Wakil Ketua DPRD) yang hanya menjanjikan akan membantu warga menghentikan rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk merelokasi warga Muara Angke ke Kepulauan Seribu. Sementara tuntutan untuk menghentikan pembahasan ranperda ditolak.
Aksi penolakan reklamasi ini kemudian melanjutkan long march menuju Istana negara. Di Istana Negara, Koalisi menuntut Presiden Jokowi untuk mencabut Keppres No. 52 Tahun 1995 dan Perpres No. 54 tentang Penataan Ruang Jabodetabekpunjur. Keduanya juga merupakan regulasi yang memuluskan proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Sementara, aksi di depan Istana Negara tetap berlangsung, perwakilan Koalisi masuk ke dalam istana negara untuk bertemu dan berdialog dengan pihak staf kepresidenan. Budayawan Betawi, JJ Rizal juga menyampaikan orasinya, “Presiden Joko Widodo tidak boleh lupa pada janjinya saat masa kampanyenya dahulu, bahwa tidak akan membuat indonesia memunggungi lautan”.
Langit istana semakin sore, hingga akhirnya perwakilan Koalisi keluar dari Istana Negara dan selanjutnnya menyampaikam hasil pertemuan dengan Tatang Badrutama dan Adam WH selaku staf kepresidenan. Dalam pertemuan tersebut, staff kepresiden menyatakan akan menyampaikan tuntutan dari para perwakilan kepada presiden. “Poros Maritim memang program besar Jokowi, tetapi kami tidak mau masyarakat menjadi korban atas nama pembangunan,” ujar Tatang. Menanggapi hal tersebut, SP bersama Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta berkomitmen untuk terus mengawal dan menedesakkan penolakan terhadap Reklamasi Teluk Jakarta.