Perempuan masih dilihat sebagai ‘objek’ terhadap program atau proyek perubahan iklim, dan bukan sebagai ‘subjek’ yang dilibatkan sejak awal perencanaan.
Kamis, 29 Oktober 2015, Solidaritas Perempuan menyelenggarakan Dialog Publik Nasional dengan tema “ Mempertanyakan Komitmen Negara Mewujudkan Keadilan Iklim Berkeadilan Gender pada COP 21[1]”, di hotel Oria, Jakarta Pusat. Dialog Publik ini di hadiri oleh 50 peserta yang terdiri dari berbagai kalangan, seperti aktivis perempuan, lingkungan, akademisi, dan juga mahasiswa. Dialog publik nasional ini menghadirkan 6 orang narasumber dari pemerintah dan aktivis. Sayangnya dalam kesempatan ini, Bappenas dan Kementerian Keuangan tidak dapat menghadiri Dialog Publik ini, mengingat acara ini dapat dijadikan sebagai ruang bagi pemerintah dan masyarakat untuk saling bertukar pendapat.
COP 21 merupakan sebuah konfrensi penting, untuk merumuskan komitmen para Negara pihak dalam penurunan emisi dan menahan lajunya pemanasan global. Dalam pertemuan ini, para delegasi juga akan mulai merundingkan sebuah Perjanjian sebagai kesepakatan pasca Kyoto Protocol[2] yang akan berakhir pada 2020. “Pada COP 21 akan dibicarakan Paris Agreement yang nanti akan menggantikan Kyoto Protocol,” ungkap Direktur Mobilisasi Sumber Daya Sektoral dan Regional KLHK, Ahmad Gunawan.
Menurut Ahmad, di dalam pembahasan-pembahasan persiapan yang dilakukan, isu gender juga disuarakan bahwa perjanjian yang dibangun harus mempertimbangkan gender. “Untuk Paris Agreement, itu sudah dimasukkan, unsur gender itu sudah masuk di preambule agreement bahwa harus balance gender. Dalam isu yang saya ikuti, teknologi transfer dan tech development dan capacity building, isu gender dikemukakan oleh Somalia, sangat intens. Harus diperhatikan, karena di Somalia itu kekurangan air dan yang bawa itu dari jarak 2-3 kilo adalah perempuannya”, ungkapnya
Sementara itu, Ahmad, Musin Sihab dari Kementerian Luar Negeri menyampaikan, posisi pemerintah Indonesia dalam perundingan internasional, yaitu terkait kepastian implementasi kerjasama REDD + dalam periode setelah tahun 2020 ; Mendorong ratifikasi amandemen Doha, implementasi pendanaan 100 milyar tahun 2020, peningkatan aksi sebelum tahun 2020, dan mendorong implementasi kerjasama multilateral dalam upaya pengendalian perubahan iklim.
Menurut Muhsin, INDC menjadi sebuah jalan tengah, untuk mendorong kontribusi semua Negara pihak, bukan hanya Negara industri, tetapi juga Negara berkembang harus berkontribusi sesuai kemampuannya. Konsep ini mendapatkan respon dari berbagai pihak karena dilihat sebagai bentuk pelepasan tanggung jawab Negara industri serta upaya melimpahkan kewajiban kontribudi kepada Negara berkembang, yang selama ini sudah banyak terdampak perubahan iklim akibat aktivitas industri Negara maju. Meski demikian, Muhsin menyatakan bahwa masih memungkinkan untuk memberikan masukan terhadap INDC tersebut.
Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Nurhidayati memaparkan mengenai komitmen penanganan perubahan iklim Indonesia perlu dipertegas arahnya. Perubahan iklim telah memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap kehidupan masyarakat kita. Dalam situasi tersebut, perempuan terkena dampak yang berlapis. banjir, kekeringan, hama penyakit, gagal panen dan cuaca ekstrim telah meningkatkan beban perempuan. Perempuan harus bekerja lebih berat dalam memenuhi kebutuhan dan ekonomi keluarga, selain menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak. “Harapan CSO terhadap COP21 ini adalah perubahan iklim secara global” ujar Nurhidayati.
Nurhidayati juga memaparkan pandangan masyarakat sipil Contributions (INDC) :
1. Pentingnya kejelasan niat penurunan emisi.
2. Perlunya perlindungan hak-hak masyarakat rentang terhadap dampak perubahan iklim, termasuk masyarakat yang berada di pulau-pulau kecil.
3. Belum ada niat menghilangkan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil ; Renewable energy 23 persen, namun porsi batubara dalam energy mix masih 30 persen.
4. Biofules, energi yang salah berbasis komoditas monokultur kelapa sawit
5. Moratorium pemberian ijin baru di hutan alam dan lahan gambut? – sejauh mana efektivitasnya?
6. Penguatan tanggung jawab negara untuk menertibkan sektor bisnis, termasuk upaya penertiban ijin-ijin perusahaan dan praktik buruk industry tersebut
7. Perhutanan sosial 12,7 juta hektar untuk siapa? – skema 12,7 juta hektar juga untuk restorasi ekosistem dan swasta?
8. Proses penyusunan yang kurang terbuka dan partisipatif melibatkan masyarakat yang terutama terdampak perubahan iklim
Sementara itu, Ketua Badan Eksekutif Nasional SP, Puspa Dewy mengingatkan bahwa Isu perempuan, atau pertimbangan gender sudah ada dari COP 2001. Sayangnya, hingga saat ini belum ada langkah yang konkret yang dilakukan pemerintah untuk terciptanya keadilan iklim berkeadilan gender. Berdasarkan pengalaman SP, masih terlihat bahwa perempuan masih sangat terpapar dampak perubahan iklim, maupun proyek perubahan iklim. “Perempuan masih dilihat sebagai ‘objek’ terhadap program atau proyek perubahan iklim, dan bukan ‘subjek ,‘ karena itu penting adanya kadilan iklim berkeadilan gender,” pungkasnya.
Dalam dialog publik ini juga hadir Herlina, perempuan Dayak asal Sei Ahas Kalimantan Tengah yang mengungkapkan permasalahan yang dialami masyarakat Dayat akibat kebakaran hutan. “Sekarang desa saya sangat pekat kabutnya dan banyak kebun kami yang kebakaran,”ungkapnya. Herlina merasakan ketidakadilan yang selama ini terjadi, ketika masyarakat tidak diperbolehkan mengelola hutan sementara perusahaan besar diberikan izin untuk menanam sawit dalam skala yang sangat besar. Padahal, kebakaran hutan diakibatkan pembakaran yang dilakukan perusahaan besar, bukan masyarakat. [d1] “Sekarang korban banyak dari anak dan perempuan, tidak ada obat dan masker untuk kami. Kami sudah 3 bulan ini hidup dengan asap pekat,” lanjut Herlina.
Pentingnya Transparansi Pendanaan Iklim
Pendanaan juga yang menjadi salah satu isu utama dalam konferensi, dimana negara-negara rentan dampak perubahan iklim menagih kepastian realisasi komitmen mobilisasi pendanaan dari negara maju sebesar 100 miliar USD per tahun sampai 2020 seperti yang dijanjikan pada COP-15 di Kopenhagen, Denmark, pada 2009. Pendanaan tersebut sangat penting untuk mendukung aksi mitigasi dan adaptasi di negara berkembang hingga tahun 2020 untuk membantu dunia menjaga peningkatan suhu rata-rata tidak lebih dari 2 derajat Celcius
Erwin Widodo dari Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCCTF) memaparkan kelembagaan ICCTF, “Tahun 2014-2015, transisi menjadi lembaga di bawah pemerintah, semoga hasil dari COP ini bisa dirubah bentuknya kami agar bisa tangani program yang lebih luas. Ada tiga jendala yang bisa kita fasilitasi, landbased mitigation, energi dan adaptasi. Energy itu, kita tak bisa lepas dengan pembangunan yang sangat pesat itu dari kebutuhan energy”
Sementara, Titi Soentoro dari Aksi for Gender, Social and Ecological Justice mengungkapkan, komitmen perencanaan Indonesia terkait kebijakan pembiayaan dan pendanaan proyek perubuhan iklim juga berhubungan erat dengan sejauh mana akses masyarakat sipil untuk memantau dana-dana tersebut. Masyarakat perlu melihat sejauh mana efektifitas penggunaan dana proyek iklim untuk membantu masyarakat mengatasi masalah perubahan iklim. Karenanya, penting untuk adanya akses informasi dan pelibatan masyrakat sipil terhadap pendanaan yang transpran dan akuntabel.
Melalui dialog ini dapat dilihat bahwa penting untuk Indonesia pada COP 21 nanti membawa komitmen yamg lebih agresif untuk melakukan desakan terkait penurunan suhu bumi terlebih kepada negara-negara pemilik emisi historis. Tugas pemerintah indonesialah untuk mendorong perjanjian ataupun kebijakan lainnya agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia serta memastikan agar kebijakan-kebijakan internasional terkait iklim tidak justru meminggirkan masyarakat, terutama perempuan.
dibuat oleh : Ega Melindo