Liputan “Gerakan Perempuan Tolak Reklamasi Menuntut Dihentikannya Proyek Reklamasi yang Menindas dan Memiskinkan Perempuan”

Liputan “Gerakan Perempuan Tolak Reklamasi Menuntut Dihentikannya Proyek Reklamasi yang
Menindas dan Memiskinkan Perempuan”
Oleh : Ega Melindo

Konferensi Pers1Jakarta, 13 Maret 2016. Perempuan memiliki peran yang sangat signifikan dalam perikanan, mulai dari pra-produksi sampai dengan pangan tersedia untuk keluarga, Namun peran tersebut tidak diakui oleh negara dalam kebijakan perlindungan dan pemberdayaan nelayan dan masyarakat pesisir. Termasuk pada UU Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam yang disahkan oleh DPR RI pada 15 Maret 2016. Tanpa ada aturan perlindungan, perempuan nelayan dan pesisir juga dihadapkan pada situasi ancaman pemiskinan dan penindasan yang diakibatkan oleh proyek reklamasi. Reklamasi terus dibangun di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di beberapa wilayah kerja Solidaritas Perempuan seperti Jakarta, Makassar, Kendari, Lampung dan Palu.

Berdasarkan situasi tersebut, sekaligus sebagai bagian dari rangkaian peringatan Hari Perempuan Internasional “Perempuan Berdaulat Bebas dari Penindasan”  Solidaritas Perempuan  melangsungkan  konferensi pers sekaligus pembacaan deklarasi Gerakan Perempuan Tolak Reklamasi untuk menuntut  pemerintah agar menghentikan proyek reklamasi yang menindas  dan memiskinkan perempuan. Penolakan terhadap reklamasi didasarkan pada fakta bahwa proyek reklamasi berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat, terutama perempuan. Reklamasi juga mengancam keanekaragaman hayati pesisir Indonesia dan mempersulit nelayan untuk melaut, sehingga akan mengancam kedaulatan pangan.

Pada konferensi pers ini, Nurhayati (SP Angin Mammiri Makassar), Ela Sari (SP Jabotabek), Wa Ode Surtningsi (SP Kendari), Kartini Merdekawati (SP Palu), Eka Mandayanti (SP Sebay Lampung) dan Puspa Dewy (Ketua Badan Eksekutif Nasional) menyampaikan situasi dan persoalan perempuan yang muncul akibat reklamasi. Menurut Wa Ode Surtiningsih reklamasi di Teluk Kendari telah berdampak pada  kerusakan lingkungan dan melumpuhkan kehidupan  perempuan pesisir yang mayoritas merupakan nelayan  dan pembudidaya  rumput laut. Selain itu, Kartini menyampaikan bahwa kerusakan di Teluk Palu akibat reklamasi telah menghilangkan udang Lamale yang sangat terkenal. Reklamasi juga telah menggusur pedagang di sepanjang Teluk Palu yang sebagian besarnya adalah perempuan.

Sementara itu, reklamasi di Teluk Jakarta telah mengakibatkan perekonomian keluarga nelayan semakin menghimpit. Ela Sari dari SP Jabotabek menceritakan kondisi perempuan pengupas kerang di wilayah Cilincing yang penghasilannya semakin menurun karena paska reklamasi kerang hijau semakin sulit dicari. Situasi serupa juga terjadi di Makassar, dimana perempuan patude (perempuan yang mencari dan mengupas kerang) semakin tergusur dari sumber kehidupannya. “Temuan Solidaritas Perempuan Angin Mammiri Makassar, di Mariso jumlah perempuan patude semakin menyusut. Kalau dulu dalam satu hari seorang perempuan patude bisa memperoleh Rp. 100.000, setelah adanya reklamasi sulit sekali mendapatkan Rp. 20.000 dalam satu hari” ujar Nurhayati. Sedangkan di Lampung, Eka Mandayanti memaparkan bahwa reklamasi di Lampung terjadi secara illegal karena tidak ada dasar hukumnya. “Reklamasi telah memaksa nelayan untuk berhenti melaut dan pergi meninggalkan keluarganya untuk bekerja di kota sebagai buruh bangunan dan yang lainnya. Sehingga banyak perempuan yang terpaksa harus menjadi orang tua tunggal karena suaminya tidak kembali.” Eka menambahkan.

Konferensi Pers2Puspa Dewy, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan menegaskan bahwa reklamasi hanya akan semakin memiskinkan, menindas dan memperkuat ketidakadilan terhadap perempuan. Situasi ini mendorong Solidaritas Perempuan menginisiasi sebuah gerakan perempuan untuk menolak reklamasi. Gerakan ini menjadi bagian dari gerakan rakyat yang menolak reklamasi di seluruh Indonesia. “Reklamasi tidak hanya mengancam perempuan dan masyarakat pesisir, tetapi juga mengancam kedaulatan pangan dan keutuhan ekologis sehingga seluruh lapisan masyarakat akan terkena dampak akibat proyek reklamasi yang hanya berpihak pada kepentingan pengusaha dan penguasa” tegas Puspa Dewy.

Konfrensi pers yang dimoderatori oleh Edo Rakhman dari Walhi Nasional tersebut diakhiri dengan pembacaan Deklarasi Gerakan Perempuan Tolak Reklamasi. “Hentikan seluruh proyek reklamasi yang memiskinkan dan menindas perempuan, khususnya perempuan nelayan dan perempuan pesisir,” ujar seluruh peserta bersamaan.

Translate »