Oleh: Dinda Nuurannisaa Yura
Persoalan-persoalan yang terjadi hari ini menunjukan pemerintah melakukan pengabaian terhadap hak atas informasi bagi keluarga buruh migran.
Penantian Sumi tak kunjung terjawab. Sudah empat tahun, anaknya Warnah berada di penjara Malaaz Arab Saudi. Warnah bersama Sumartini, merupakan Buruh Migran yang sempat terancam hukuman mati karena tuduhan sihir. Sumi pun selama ini tak berdiam diri. Berbagai upaya telah dia lakukan, melalui sponsor, PT yang memberangkatkan, hingga pengaduan ke Kementerian Luar Negeri, Satgas anti hukuman mati pun sudah dia tempuh. Namun hingga saat ini, nasib Warnah masih tak menentu. Warnah bahkan harus bekerja di penjara untuk menyambung hidupnya.
Dalam konferensi Pers Solidaritas Perempuan: Menuntut Pemerintah yang Transparan dan Responsif dalam Penanganan Kasus Buruh Migran Perempuan, yang diadakan kemarin, Rabu (19/09), Ibu Sumi mengungkapkan keinginannya untuk bertemu presiden. “Kalau bisa ingin ke rumah presiden, ingin ketemu langsung, ingin bukti,” ungkapnya penuh harap. Harapan Ibu Sumi hanya satu. Ia hanya ingin kasus Warnah segera diselesaikan dan Warnah segera pulang.
Seperti Sumi, Amin Suminta, kakak dari Alm Nani Suryani dalam kesempatan yang sama mengungkapkan harapannya. Dia menagih bukti pernyataan presiden yang menyatakan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah pahlawan devisa. “Pahlawan Negara dibunuh, di Negara orang, lalu apa tindak lanjutnya,” ungkap Amin.
Keluarga Amin harus kehilangan Nani, karena Nani dibunuh oleh majikannya. Nani meninggal pada 1 Januari 2011, namun keluarga baru mendapatkan informasi pada bulan Juni 2012. Jenazah Nani kemudian baru tiba di Indonesia pada Februari 2012, 13 bulan sejak meninggalnya Nani.
Hingga saat ini, kasus Nani masih berlarut-larut di persidangan. Keluarga masih menuntut hak mereka untuk diyat, dan gaji Nani yang belum dibayarkan. Kabar terakhir dari Kementerian Luar Negeri kepada keluarga, datang melalui surat tertanggal 20 April 2013. Namun hingga detik ini, tidak ada perkembangan maupun informasi mengenai perkembangan apapun dari pihak Kemenlu.
Sementara itu, Acem sudah hilang delapan tahun lamanya. Keluarganya kehilangan kontak sejak tahun 2005, dan tidak lagi mendapatkan kabar dari Acem. Sebagaimana yang dipaparkan Oom Ratna, pendaming keluarga Acem, Kemenlu tidak menindaklanjuti kasus Acem, dikarenakan ketidaklengkapan data. Pasalnya, PT yang memberangkatkan Acem telah beralih kepemilikannya, tanpa mengalihkan dokumen-dokumen Buruh Migran yang diberangkatkan.
Dadang Mukhtar, ketua Solidaritas Buruh Migran Karawang yang juga mendampingi para keluarga Buruh Migran mengungkapkan bahwa yang dibutuhkan keluarga buruh migrant sebenarnya adalah informasi. “Paling tidak kami diberikan informasi. Kok sulit sekali mendapatkan informasi,” ungkapnya.
Padahal, Dadang bersama keluarga Buruh migran dan Solidaritas Perempuan kerap menyambangi kementerian luar negeri berulang kali. Mereka menempuh jarak yang jauh dari kampung mereka di Karawang, meninggalkan sawah dan ladang, serta tidak mendapatkan upah bertani hari itu untuk mencari informasi mengenai keluarga mereka. Namun seringkali jawaban yang didapatkan hanyalah permintaan untuk bersabar dan berdoa. “Harus mengadu kemana lagi? Ke Kemenlu hanya bilang, nanti, besok, berdoa saja,” ungkapnya.
Kasus-kasus di atas merupakan tiga dari lebih dari 70 kasus kekerasan dan pelanggaran hak Buruh Migran yang diadukan Solidaritas Perempuan melalui Kemenlu sejak tahun 2011-2013. Ummi Habsyah, pengacara Solidaritas Perempuan mengungkapkan, sebenarnya permasalahan ada di dalam Kemenlu yang selama ini kurang responsif. Hal ini terkait dengan mekanisme yang tidak berjalan di dalam Kemenlu itu sendiri. “Padahal ada SOP yang menyatakajan bahwa setiap perkembangan kasus harus diinfokan kepada keluarga,” ujarnya.
Koordinator Program Solidaritas Perempuan, Puspa Dewy melihat persoalan-persoalan yang terjadi hari ini menunjukan pemerintah melakukan pengabaian terhadap hak atas informasi bagi keluarga buruh migrant. Menurutnya, kasus-kasus yang ada menjadi pembelajaran bagi pemerintah, termasuk dalam perumuskan kebijakan ke depan. Apalagi saat ini Revisi UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri tengah diproses. “Bagaimana di dalam UU nanti hak atas informasi bagi keluarga korban menjadi hal yang penting,” harapnya.
Namun, Dewy menyayangkan draft RUU yang ada saat ini tidak mencantumkan Konvensi Migran 1990 yang sudah diratifikasi tahun 2012 lalu sebagai dasar mengingat UU. Draft tersebut juga masih menyerahkan peran besar bagi pihak-pihak swasta. “Ada spirit Negara mengalihkan tanggung jawab ke pihak-pihak swasta,” pungkasnya.
Karena itu, Dewy berharap keseluruhan proses migrasi, terutama untuk kelompok Buruh Migran yang paling rentan yaitu Pekerja Rumah Tangga, diselenggarakan oleh pemerintah. Karena, pada dasarnya proses-proses tersebut merupakan tanggung jawab Negara. “Kita berharap kebijakan ke depan proses migrasi dikembalikan kepada Negara,” tukasnya.
CP: Ummi (085219393413), Nisaa (081380709637)