Selasa, 27 September 2016, Solidaritas Perempuan, bersama Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), melakukan Aksi memperingati Hari Tani Nasional (HTN) 2016. Aksi diselenggarakan bersama dengan ratusan petani dari berbagai wilayah, seperti Majalengka, Karawang, Banten, dan Bogor. Pada aksi dalam rangka 56 tahun UU Pokok Agraria yang jatuh pada 24 September ini, juga bergabung berbagai elemen gerakan sosial seperti gerakan perempuan, buruh, masyarakat miskin kota dan mahasiswa dari 39 organisasi.
Aksi yang melibatkan ribuan massa aksi ini diawali dengan Long March, yang dilakukan dari Masjid Istiqlal ke Balai Kota, Mahkamah Konstitusi, hingga Istana Negara ini. Dalam perjalanan menuju istana negara, massa aksi terus menyanyikan lagu-lagu perjuangan, dan meneriakan yel-yel, seperti “ Land Reform, Tanah Untuk Rakyat”, “ Tidak Ada Reforma Agaria Sejati, Tanpa Keadilan Gender”, “Tanah, Air untuk perempuan”. Walaupun massa aksi sempat dihalang-halangi polisi untuk melintas dan melakukan aksi di depan istana, namun tidak memupuskan semangat para petani yang sudah sejak dini hari berada di masjid Istiqlal.
Dalam orasinya, Iwan Nurdin, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menekankan bahwa pemerintah Jokowi-JK saat ini telah melakukan reforma agraria yang keliru, “poin dari reforma agaria ini adalah mensejahterakan petani, tapi faktanya petani malah di kriminalisasi” ucap Iwan Nurdian. Sedangkan Abdul Halim dari KIARA menegaskan bahwa penggusuran telah menyengsarakan masyarakat, “petani, nelayan, dan juga perempuan sengsara, karena penggusuran dan juga reklamasi semakin massif terjadi di Indonesia”.
Di dalam aksi, Solidaritas Perempuan secara tegas menyatakan Reforma Agraria yang adil gender seharusnya diwujudkan untuk memenuhi Janji Nawacita Jokowi. Hal ini disampaikan oleh Ketua Badan Eksekutif Nasional (BEN) Solidaritas Perempuan, Puspa Dewy. Dalam orasinya, Puspa Dewy menyatakan bahwa masyarakat; perempuan dan laki-laki, baik nelayan, petani, buruh maupun mahasiswa harus berjuang melawan rezim Jokowi-JK. Yang terus mempermudah pengusaha dan investor merampas tanah-tanah rakyat. Perempuan berperan dalam pengelolaan agraria, namun diabaikan hak-haknya, padahal dalam Nawacita, Jokowi-JK menjanjikan adanya perlindungan hak perempuan dalan pengelolaan tanah. Perempuan sampai saat ini masih tertindas, dan mengalami kekerasan. “Mari kawan-kawan, kita rebut kembali tanah-tanah kita, sumber-sumber kehidupan kita yang dikuasai segelintir orang, rakyat tidak akan berhenti untuk melawan rezim ini” teriak Puspa Dewy lantang.
Aksi ini juga diisi dengan puisi dan teatrikal yang menyampaikan situasi masyarakat akibat ketimpangan penguasaan tanah yang terjadi. Teaterikal salah satunya dibawakan oleh Teater Anggrek Unggu dari SP Jabotabek yang menyuguhkan kisah tentang para perempuan petani yang tanahnya digusur oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Dalam kondisi tanpa tanah, mereka terpaksa berurbanisasi, dan beralih profesi menjadi penjual jamu, tukang sayur, dan buruh cuci, serta terpaksa tinggal di permukiman kumuh. Namun, atas nama pembangunan, mereka kembali tergusur di kota, dengan kekerasan dan tanpa dilibatkan proses negosiasi dan pengambilan keputusan. Situasi tersebut kemudian menggerakkan perempuan untuk melawan dan memperjuangkan hak mereka.
Teater di atas merupakan gambaran dari situasi nyata yang selama ini dialami oleh perempuan. Melalui teater, SP Jabotabek tidak hanya menyampaikan situasi ketidakadilan berlapis yang dialami perempuan, tetapi juga mengajak perempuan untuk terus bergerak memperjuangkan hak-haknya atas tanah.
Serentak di Berbagai Wilayah
Aksi yang dilakukan di Jakarta merupakan bagian dari Sepekan Aksi Memperingati HTN selama rentang waktu antara tanggal 21-27 September 2016. Tidak hanya di Jakarta, Solidaritas Perempuan juga bergabung gerakan sosial di delapan daerah lainnya melakukan Aksi dalam mendorong Reforma Agraria yang Adil Gender. Berbagai tuntutan yang disuarakan antara lain, Tegakkan UU Pokok Agraria 1960, Wujudkan Reforma Agraria Berkeadilan Gender, Tolak Reklamasi, Selesaikan kasus-kasus perampasan lahan terhadap petani, dan Jaminan keamanan petani khsusnya perempuan dalam mengakses sumber-sumber kehidupannya.
Melalui aksi yang dilakukan Solidaritas Perempuan juga mengangkat berbagai kasus perampasan lahan yang dialami oleh perempuan. Misalnya saja di Sumbawa pembangunan jalan lingkar utara Sumbawa atau yang dikenal sebagai jalan SAMOTA (Teluk Saleh, Pulau Moyo, Gunung Tambora) menjadi proyek yang mengancam sumber kehidupan perempuan. “Pembangunan jalan Samota telah menuai penolakan dari warga terdampak di kawasan pesisir Sumbawa, selain dikarenakan informasi yang sangat minim disampaikan kepada warga, penetapan nilai ganti rugi lahan dianggap tidak sesuai dengan nilai jual tanah. Proses pembebasan lahan pun dinilai dilakukan tanpa informasi yang jelas dan tidak melibatkan perempuan.” Ujar Kardiana, Badan Eksekutif Komunitas SP Sumbawa.
Sementara di Makassar, aksi yang dilakukan mengusung seruan “Akhiri Pemiskinan Perempuan, wujudkan reforma agraria berkeadilan gender.” Aksi yang diselenggarakan bersama warga petani Takalar, Perempuan Pesisir, dan aktivis SP ini dilanjutkan dengan dialog dengan Komisi A DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, yang salah satunya menyampaikan situasi, kondisi dan dampak yang dialami perempuan akibat dari konflik konflik lahan PTPN XIV di Kabupaten Takalar. Dalam dialog tersebut, DPRD berkomitmen, akan memfasilitasi pertemuan antar warga yang berkonflik lahan dengan pihak PTPN XIV Takalar.
Aksi juga diselenggarakan di Kendari bersama Aliansi Masyarakat Untuk Reformasi Agraria (AMARA) dan masyarakat petani UPT Arongo Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kantor DPRD Sultra, Selasa (27/9/2016) siang. Secara khusus, Masyarakat petani di UPT Arongo menuntut kepastian lahan tempat tinggal dan pertanian UPT Arongo. “Dengan adanya penggusuran lahan yang dilakukan PT Merbau, yang merasakan dampaknya itu kami pak para ibu, susah dalam mendapatkan air bersih, terjadi banjir saat musim hujan, kesehatan yang terganggu, kami meminta perlindungan,” ungkap Tusni Widya Astuti, dari perwakilan perempuan petani. Menanggapi aksi tersebut, Sekretaris Komisi I DPRD mengatakan akan menampung semua tuntutan masyarakat tani dan melakukan koordinasi dengan pemerintah Kabupaten Konsel untuk penyelesaian konflik agraria ini.
Di Lampung, aksi dilakukan bersama 24 organisasi masyarakat sipil pada 24 September 2016 di Bundaran Gajah. Aksi lanjutan juga diselenggarakan pada 26 September di depan DPRD Provinsi Lampung dengan tetap menyuarakan sejumlah tuntutan, termasuk Reforma Agraria Adil Gender. Aksi juga dilakukan di Poso, Sulawesi Tengah pada 24 September 2016. Aksi tersebut tidak hanya diselenggarakan bersama jaringan organisasi masyarakat sipil, tetapi juga bersama perempuan komunitas dari Pamona Tenggara.
Sementara, aksi tanggal 24 September 2016 di Yogyakarta menyuarakan tuntutan spesifik untuk pemerintah mencabut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UUK DIY). Pasalnya, UUK ini menjadi salah satu basis dasar legitimasi Sultan dalam melakukan perampasan tanah yang didiami oleh rakyat. Lebih lanjut, massa aksi menuntut agar Pemerintah harus serius melaksanakan UU Pokok Agraria yang sejati dan mengajak masyarakat Yogyakarta membangun solidaritas terhadap korban penggusuran dan gerakan prodemokrasi untuk untuk bersatu melawan perampasan tanah dengan dalih keistimewaan Yogyakarta.
Aksi di depan Kantor Gubernur Propinsi Nusa Tenggara Barat (Mataram) pada 26 September 2016, diselenggarakan oleh Solidaritas Perempuan Mataram bersama jaringan. Aksi ini dilanjutkan Dialog dengan Pemerintah Daerah untuk menyampaikan aspirasi, di mana Solidaritas Perempuan Mataram secara khusus mengangkat soal Reforma Agraria Berkeadilan Gender.
Di Palu, pada 27 September 2016 Solidaritas Perempuan Palu bersama 500 orang lainnya yang tergabung dalam Front Pembel Petani melakukan aksi di depan kantor DPRD Propinsi Sulteng. Selain tuntutan untuk mewujudkan Reforma Agraria Adil Gender, melalui aksi tersebut SP menuntut pemerintah untuk menghentikan alih fungsi lahan pertanian, menghentikan kriminalisasi petani serta menilak kebijakan impor pangan yang memiskinkan petani dan kembali ke pangan lokal. Aksi dilanjutkan dengan rally ke kantor Polda Sulteng. Di Kantor Polda, massa secara khusus menuntut kepolisian untuk tidak berpihak dan menarik diri dari wilayah konflik-konflik agraria
Tak hanya aksi, kegiatan peringatan HTN 2016 juga dilakukan melalui kampanye lainnya. Solidaritas Perempuan Palembang bersama perempuan Desa Seribandung, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan mengangkat mengenai pentingnya reforma agraria yang adil gender dalam talkshow Radio RRI, Pada talkshow ini juga diangkat secara khusus mengenai persoalan yang dialami perempuan dalam kasus perampasan tanah yang dilakukan oleh PT Perkebunan Nusantara VII Unit Cinta Manis terhadap warga 22 desa di Ogan Ilir. “Perampasan lahan yang dilakukan oleh PTPN Cinta Manis telah meninbulkan kesengsaraan bagi perempuan, Kami perempuan di desa Seri Bandung SP merasakan dampak yang berbeda dengan lelaki,” Ungkap Emilia perempuan pejuang hak atas tanah dari desa Seri Bandung – Ogan Ilir.
Emi juga mempertanyakan mengenai perpanjangan HGU PTPN VII yang diterbitkan Pemerintah. “Mengapa HGU diterbitkan sementara kami masih berkonflik. Kami menanyakan ke BPN, jawaban BPN bahwa BPN hanya melihat bukti administrasi.” Pada kesempatan ini, Emi kembali menegaskan harapan rakyat di desanya. “Mau kami hanya satu, tanah untuk rakyat. Kembalikan tanah kami, tanah untuk generasi penerus kami.” Tegasnya.