Liputan “Mendorong RUU Pertanahan Adil Gender, Mewujudkan Keadilan Agraria Bagi Rakyat Indonesia”

Kementerian ATR berkomitmen Menuliskan Kembali Pasal 9 ayat 2 UUPA dalam RUU Pertanahan

Oleh : Nisa Annisa

Jakarta, 18 Oktober 2018, bertempat di Nusantara 1 Gedung DPR RI, Solidaritas Perempuan bersama Kaukus Perempuan Parlemen, dan Koalisi Keadilan Untuk Perikanan (KIARA) menyelenggarakan Dialog Publik bertajuk Pentingnya RUU Pertanahan Berkeadilan Gender untuk Memperkuat Akses dan Kontrol Perempuan atas Tanah. Dialog ini penting di tengah pembahasan RUU Pertanahan yang dilakukan oleh DPR. Sebagaimana dinyatakan Andi Mariattang anggota Kaukus Perempuan Parlemen dari Komisi 2 mengatakan bahwa saat ini, “RUU Pertanahan sangat urgent karena semakin meningkatnya jumlah konflik agraria yang terjadi” ungkapnya. “Namun dalam draft RUU Pertanahan ini, kita punya kekhawatiran yang sama, terkait akses dan kontrol atas tanah bagi masyarakat, yang belum mewarnai RUU ini, harapannya kepentingan perempuan dalam akses dan kontrol tanah bisa masuk dalam RUU ini” lanjutnya.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang melalui Yagus Sayudi sebagai kepala Biro Hukum Bagian Perundang-undangan menekankan bahwa terkait kepemilikan tanah, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. “Dalam RUU ini, terkait dengan hak perempuan atas tanah bisa dicatatkan dalam tanda bukti hak, dalam hal ini, pendaftaran tanah diperbolehkan atas nama suami dan istri serta diperbolehkan kepemilikan bersama atas satu bidang tanah. ” Dia juga memastikan bahwa pasal 9 ayat 2 UUPA 1960, mengenai adanya jaminan seluruh masyarakat untuk dapat mengakses dan menerima manfaat dari tanah, baik laki-laki atau perempuan, tertuang dalam RUU Pertanahan.

Sementara, Ratna Susianawati, Sekretaris Deputi Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menyampaikan bahwa situasi di Indonesia, akses kepemilikan tanah untuk perempuan memang ada, tapi untuk kontrolnya tidak ada. Padahal benefit pembangunan harus dirasakan secara setara sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi. Bahkan dalam blue print RPJMN tertulis ada bebarapa strategi tata kelola pemerintahan yang baik, yaitu pembangunan keberlanjutan dan pengarusutamaan gender, termasuk harmonisasi kebijakan agar berperspektif gender. “Perspektif gender, tidak mungkin bisa terintegrasi, jika tidak tertulis dalam dokumen. Analisis gender menjadi bagian yang penting. Untuk isu tanah, diperlukan reforma agraria yang responsif gender, atas tata kuasa, tata guna, tata produksi hingga tata konsumsi. Ketika melakukan reforma agraria, bicara keadian sosial harus berani bicara keadilan gender. Kepemilikan saja tidak menjamin akses, kontrol, partisipasi dan manfaat bagi perempuan”, ujar Ratna Susianawati.

Dinda Nuur Annisaa Yura, Koordinator Program Solidaritas Perempuan, menjelaskan bahwa ada perbedaan situasi antara perempuan dan laki-laki saat terjadi konflik agraria, dan perampasan tanah. “Perempuan tidak hanya mengalami persoalan karena peran gendernya, tetapi juga akibat perampasan tanah yang selama ini terjadi. Karenanya, RUU Pertanahan harus mampu membongkar ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah dengan berorientasi pada hak rakyat atas tanah, baik ketimpangan agraria maupun ketimpangan gender,” ungkapnya. Lebih lanjut, Dinda menyampaikan, “Solidaritas Perempuan bersama kelompok perempuan sudah membuat Daftar Inventarisasi Masalah, dan usulan dalam bentuk Policy Brief agar RUU Pertanahan ini dapat adil gender, yaitu dengan menjadikan perempuan sebagai subjek, sehingga wajib dilibatkan dalam ruang-ruang pengambilan keputusan terkait wilayah kelola mereka.” Selain itu, dalam DIM Pemerintah, Dinda mengkritisi dijadikannya sertifikat sebagai satu-satunya bukti kepemilikan tanah, dan menjadikan tanah sebagai komoditas, seperti yang tercantum dalam beberapa pasal terkait bank tanah.

Persoalan konflik agraria juga terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Menurut Susan Herawati, keluarnya UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil menjadi persoalan dengan adanya klausul menekankan HP3 (Hak Penguasan Pesisir). “Dengan adanya UU HP3, penguasan wilayah pesisir sampai ke laut bisa dikuasai oleh  investor selama 20 tahun sampai dengan 60 tahun. Jadi setiap masyarakat pesisir dan nelayan yang melintas maka rentan mengalami kriminalisasi, ada kasus kriminalisasi”, papar Susan. “Reforma Agraria masih dominan darat dan seharusnya untuk mengatasi ketimpangan struktural dan kemiskinan, bukan hanya sekedar bagi-bagi sertifikat. Bagi Masyarakat pesisir, tanah itu menjadi satu dengan laut. Melalui RUU Pertanahan, pengaturan pertanahan bagi masyarakat pesisir seharusnya dapat menjamin hak konstitusional masyarakat pesisir, yaitu hak untuk melintas, mengakses, dan mengelola pesisir dan laut sesuai kearifan lokalnya serta mendapatkan pesisir dan laut yang bersih dan sehat. Selain itu juga mampu menjamin hak perempuan pesisir atas tanah, karena hingga kini perempuan nelayan belum diakui dan ketimpangan hak perempuan atas tanah masih tinggi.” Lanjutnya.

Dalam dialog, isu privatisasi pesisir juga diangkat oleh peserta, yaitu penggusuran yang terjadi di Kampung Aquarium Jakarta Utara, dan kasus Privatisasi Pulau di Kepulauan Seribu Jakarta, yaitu Pulau Pari. Kedua kasus ini menunjukkan pentingnya untuk adanya pembahasan lebih lanjut mengenai pengaturan pertanahan atau reforma agrarian pada konteks pesisir dan pulau-pulau kecil, serta perkotaan, demi menjamin kesejahteraan rakyat dan penghapusan ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah, termasuk bagi perempuan.

Dari proses pembahasan RUU Pertanahan, John Sar, yang merupakan Tenaga Ahli Komisi 2, khususnya bidang RUU Pertanahan, menyatakan bahwa ada beberapa isu krusial dalam RUU Pertanahan, yang saat ini masih diperdebatkan oleh DPR dan pemerintah, yaitu; 1) luas maksimal pemegang HGB dan HGU, 2) Bank tanah, 3)Peradilan tanah, 4) Tanah Objek Reforma Agraria, serta 5) tanah adat atau tanah masyarakat hukum adat. Dalam situasi ini, tentunya penting untuk terus mendorong keterlibatan masyarakat sipil dalam berbagai pembahasan untuk menghasilkan RUU Pertanahan yang mampu menjadi payung hukum untuk mewujudkan keadilan agraria termasuk di dalamnya berkeadilan gender.

Translate »