oleh Arieska Kurniawaty
Palembang, 23 April 2016. Solidaritas Perempuan bersama dengan Walhi, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan Bina Desa menyelenggarakan Seminar Nasional sebagai bagian dari rangkaian side event Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) Walhi XII di Main Dining Hall Wisma Atlet Jakabaring – Palembang.
Seminar yang mengangkat tema Mendorong Keadilan Gender dalam Pengelolaan SDA dan Lingkungan ini dibuka oleh Ida Ruri Sukmawati (Ketua BEK SP Palembang) dan Dinda Nuurannisaa Yura (Koordinator Program Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan), serta dimoderatori oleh Inda Fatinaware. Pemaparan narasumber diawali oleh Mia Siscawati (Program Studi Kajian Gender UI) yang memaparkan tentang situasi kesenjangan dan ketimpangan gender serta perkembangan kebijakan pengarusutamaan gender di Indonesia, terutama dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan. Menurut Mia, Indonesia memiliki masalah yang serius karena melihat SDA sebagai modal pembangunan yang bisa dieksploitasi. Faktanya, pembangunan yang mengeksploitasi SDA justru menimbulkan ketimpangan. Bagi perempuan ketimpangan yang dihadapi jauh lebih besar. Perempuan yang tidak bisa mengakses pendidikan jauh lebih banyak. Pendidikan yang lebih rendah dan pemiskinan juga mengakibatkan perkawinan anak yang tinggi. Hal ini berkorelasi dengan tingginya angka kematian ibu. Mia juga melihat bahwa eksploitasi SDA tidak hanya menimbulkan krisis ekologis tapi juga krisis sosial, dengan dampak yang berbeda dirasakan oleh perempuan.
Saat ini sudah ada upaya di Indonesia untuk mendorong pengarusutamaan gender (PUG) dalam kebijakan di Indonesia. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bertanggungjawab untuk mendorong kebijakan yang berperspektif gender dalam berbagai sektor. Namun pendekatan yang digunakan masih sederhana karena menggunakan indikator yang tidak menyentuh persoalan dasar dari ketimpangan akibat eksploitasi SDA dan lingkungan. “Diperlukan perbaikan kebijakan yang tidak hanya untuk menyelamatkan lingkungan tapi juga mengubah ketimpangan tata kuasa dan tata kelola yang adil antara laki dan perempuan” tegas Mia mengakhiri paparannya.
Eksploitasi SDA yang terjadi di Indonesia tidak hanya menghancurkan lingkungan tapi juga mengakibatkan penderitaan dan perjuangan panjang bagi manusianya. Hal ini dungkapkan oleh . Dwi Astuti dari Bina Desa. Penderitaan dan perjuangan dirasakan lebih berat dan panjang bagi perempuan. Apalagi, berdasarkan refleksi dari perjuangan perempuan di sejumlah wilayah, perjuangan perempuan memulihkan lingkungan seringkali tidak dipahami oleh orang terdekatnya, bahkan oleh suaminya. Seringkali perempuan dilecehkan atau bahkan sampai diusir oleh keluarganya karena memperjuangkan haknya dan memulihkan lingkungan yang rusak akibat eksploitasi untuk pembangunan.
Dwi juga menjelaskan bahwa perempuan berperan antara lain sebagai penanggungjawab ketersediaan pangan bagi keluarga, dalam kondisi apapun pangan haruslah tersedia. Ketika sumber pangannya dieksploitasi perempuan harus tetap berupaya bagaimana keluarganya harus terpenuhi pangannya baik secara kualitas dan kuantitas. “Di salah satu wilayah pesisir, suami berpendapat bahwa pesisir yang sudah dirusak adalah takdir dan lebih baik isterinya pergi ke Arab. Sedangkan isterinya tetap yakin dan berjuang untuk memulihkan pesisir karena merupakan sumber kehidupannya. Bagi perempuan, ketika saya memulihkan alam maka saya akan mendapatkan ridho dari Tuhan. Inilah sumber spritualitas perempuan untuk terus melakukan perjuangan.” papar Dwi. Perempuan meyakini bahwa ketika kita melalukan penganiayaan terhadap alam pasti kita akan teraniaya juga, sehingga perempuan tergerak untuk melakukan perlawanan.
Risma Umar dari WALHI menjelaskan bahwa perempuan dan sumber daya alam adalah kedua hal yang tidak bisa dipisahkan. Terlebih perempuan punya peran yang sangat signifikan dalam pengelolaan sumber daya alam. Penghancuran terjadi karena ada relasi kuasa ekonomi politik. Sesungguhnya penghancuran Lingkungan Hidup adalah penghancuran kemanusiaan itu sendiri, serta merupakan penghancuran perempuan. Saat rezim kapitalis berpadu dengan watak patriarki, maka pembangunan yang terjadi adalah pembangunan yang merusak lingkungan dan merebut akses dan kontrol perempuan. Setiap situasi konflik SDA sudah pasti memperparah rentang kehancuran kehidupan perempuan dan posisi perempuan pun semakin marjinal. Karena itu, menurut Risma keadilan gender merupakan perhatian utama bagi WALHI. “Perjuangan keadilan ekologi adalah perjuangan keadilan gender, karena itu Walhi dalam sikap politiknya menyatakan bahwa prinsip keadilan gender adalah salah satu prinsip yang menjadi dasar dalam gerakan Walhi” tegas Risma di akhir uraiannya.
Wakil Sekjen KPA, Dewi Kartika menyatakan selama ini ada kritik bahwa perjuangan agraria tidak mencakup keadilan gender dalam perjuangannya. Untuk itu penting dilakukan pengorganisasian rakyat yang berperspektif gender, sehingga ada kader yang bisa menggerakkan dan mengintegrasikan gender dalam kerja-kerjanya. Integrasi gender tidak akan masuk dalam pengorganisasian jika tidak dianggap penting oleh kader-kader yang bergerak. Misalkan saat mengawal proses redistribusi tanah di beberap tempat, seringkali hak perempuan sebagai orang tua tunggal tidak tercatat sebagai kepala keluarga. Hal ini jika tidak dikawal maka bisa jadi tidak terdaftar sehingga perempuan tidak mendapatkan haknya.
KPA sendiri pada tahun 2013 sudah memiliki mandat organisasi untuk memperhatikan keadilan gender, sehingga saat ini KPA sedang mencari model bagaimana perspektif gender bisa masuk dan diterima oleh semua kelompok dlm organisasi. Tantangannya adalah bagaimana agar semua orang paham dan tidak menimbulkan resistensi serta inklusif dan bukan hanya menjadi perhatian bagi perempuan saja. “Bentuk perjuangan yang dilakukan perempuan punya cara yang sangat unik, misalnya yang dilakukan oleh perempuan Kendheng. Cara ini berbeda dengan strategi yang ada, yang biasanya menggunakan mobilisasi massa. Perempuan punya cara unik memgekspresikan perjuangannya” ujar Dewi.
Sementara, Emilia perempuan pejuang ha katas tanah dari desa Seri Bandung – Ogan Ilir menceritakan pengalamannya dalam memperjuangkan tanahnya yang dirampas oleh PTPN VII Cinta Manis. Menurut Emi, sebelum tahun 1980an desa seri bandung sangat makmur dimana sumber penghidupan utama adalah pertanian. Situasi tersebut berubah setelah PTPN VII Cinta Manis yg masuk kedalam Ogan Ilir dan merampas tanah warga termasuk area pertanian. “Ibu-ibu Seri Bandung yang hadir di sini menjadi saksi bahwa perampasan lahan yang dilakukan oleh PTPN Cinta Manis telah meninbulkan kesengsaraan bagi perempuan,” pungkas Emi.
“Kami, perempuan di desa Seri Bandung SP merasakan dampak yang berbeda dengan lelaki. Semula kami kesulitan, namun sejak SP hadir di Seri Bandung kami pun bisa berkelompok menjadi solidaritas perempuan di desa Seri Bandung. Kami juga sudah melakukan berbagai upaya, termasuk ke DPRD dan KPPPA,” ungkap Emi.
Emi memaparkan banyak hambatan yang dihadapi hingga saat ini tanah mereka belum dikembalikan. “Hambatan yang kami rasa berat justru ketika perjuangan kami dianggap sepele” ujarnya. Meski mendapatkan banyak tantangan, namun Emi dan perempuan Desa Seri Bandung tetap terus memperjuangkan haknya. “Jangan berhenti berjuang, perjuangan tidak akan sia-sia. Mau kami hanya satu, tanah untuk rakyat. Kembalikan tanah kami, tanah untuk generasi penerus kami,” tegasnya.
Bagi Puspa Dewy dari Solidaritas Perempuan perjuangan keadilan gender membutuhkan proses yang sangat luar biasa. Perspektif gender perlu diintegrasikan dalam gerakan sosial untuk membangun dan memperkuat gerakan bersama dalam mewujudkan keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. “Tidak ada keadilan sumber daya alam dan lingkungan tanpa keadilan gender. Kita perlu mengintegrasikan perspketif adil gender dalam gerakan sosial untuk membangun dan memperkuat gerakan bersama dalam mewujudkan keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan,” ungkap Dewy
Keadilan Gender juga perlu diperjuangkan melalui kebijakan. Menurut Dewy, “keadilan gender dalam pengelolaan SDA dan lingkungan harus dilakukan di antaranya melalui review dan harmonisasi kebijakan SDA dan lingkungan agar berperspektif gender, mengeluarkan kebijakan afirmatif untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, serta menerapkan tata kelola pemerintahan yang inklusif, sensitif dan responsif gender.
Seminar mendapatkan beberapa tanggapan dari peserta, yang datang dari berbagai wilayah dan organisasi termasuk perempuan komunitas. Nurjannah dari desa Tanjung Gelam bertanya mengenai bagaimana strategi agar pemahaman gender bisa diterima, khususnya oleh suami. Selain itu, Ibu Anggraini dari desa Lubuk Sakti juga meminta agar Dwi Astuti berbagi strategi mengelola lahan gambut. Seminar ini juga mencapai kesimpulan bahwa Pengorganisasian perempuan harus terus dilakukan dan diperkuat, untuk memperkuat perempuan dalam melawan ketidakadilan terkait pengelolaan SDA.