Selasa, 1 Maret 2016 Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ), yang beranggotakan Solidaritas Perempuan Jabotabek, Seknas Solidaritas Perempuan, LBH Jakarta, Kruha, KIARA, UPC, JRMK, Walhi Jakarta, dan ICW mendaftarkan pengajuan kasasi Gugatan Warga Negara (GWN) melalui Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Sebagaimana diketahui, pada 24 Maret 2015 lalu, PN Jakarta Pusat telah memenangkan warga Jakarta untuk GWN kasus hak atas air, di mana dalam amar putusannya menyatakan pembatalan kontrak antara Palyja dan Aetra dengan Pemerintah Provinsi Jakarta. Putusan tersebut juga memerintahkan pemerintah untuk menghentikan swastanisasi air di Jakarta dan mengembalikan pengelolaan air kepada Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat. Sayangnya, Pengadilan Tinggi (PT) kemudian malah menganulir kemenangan warga Jakarta. PT Jakarta memenangkan banding yang diajukan oleh para tergugat yang terdiri dari Presiden, Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum, Palyja, dan Aetra dengan alasan yang tidak substantif. Adapun alasan Hakim PT antara lain, (1) Objek gugatan harusnya tidak diadili di PN (2) Gugatan harusnya tidak menuntut pembatalan kontrak, karena pembatalan kontrak harusnya berada di PTUN (3) Penggugat tidak memiliki hubungan hukum dalam perjanjian kontrak (4) Kasus ini tidak berkarakter GWN, karena tergugat memasukan Palyja dan Aetra sebagai tergugat, dimana GWN yang digugat adalah Negara, dan Selain itu, surat kuasa yang dibuat oleh penggugat dianggap cacat hukum, karena dalam surat kuasa tidak spesifik menjelasan keperluan,dan kapasitas penggugat sebagai apa.
Pengajuan kasasi ini ditempuh sebagai bentuk upaya hukum untuk mendapatkan hak warga Jakarta atas air. Arif Maulana dari LBH Jakarta, yang merupakan kuasa hukum untuk kasus ini dalam konferensi pers yang dilakukan sebelum pengajuan kasasi di PN, menyatakan bahwa “majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah menciderai rasa keadilan warga negara dengan melegitimasi tindakan inkonstitusional pemerintah dalam kasus swastanisasi air. Majelis Banding tidak cermat dan keliru memahami masalah formil surat kuasa dan mekanisme dalam gugatan warga negara yang sebetulnya sudah tepat dan dibenarkan dalam putusan sela. Selain itu, hakim justru menutup mata terhadap permasalahan besar terkait pelanggaran konstitusi dan hak atas air warga negara dalam kasus ini secara keseluruhan”
Sementara, Wahidah warga Kecamatan Acol Jakarta Utara, yang merupakan penguggat dalam kasus ini, menegaskan bahwa Presiden telah melanggar hak konstitusi warga Jakarta yang tercantum dalam UUD 1945 karena tidak dapat memenuhi hak warga atas air. Hal itu juga dipertegas oleh Nurhidayah, penggugat yang merupakan anggota SP Jabotabek yang menyatakan bahwa masih dikelolanya air Jakarta oleh swasta akan berdampak kepada masih sulitnya masyarakat, khususnya perempuan dalam mengakses air bersih. Hal ini berdampak kepada kesehatan reproduksi perempuan karena air yang mereka gunakan selama ini keruh dan berbau. Selain itu, peran gender perempuan yang dianggap bertanggung jawab di ranah domestik membuat para ibu harus rela bangun jam 01.00 pagi untuk menunggui air, karena air hanya keluar di jam-jam tertentu. “Karena itulah kami sangat berharap pengelolaan air bisa dikembalikan ke negara lagi,” pungkasnya.