Mariance Kabu: Sudah Habis Disiksa, Tak Ada Keadilan Baginya

Jalan panjang advokasi buruh migran masih berlangsung hingga hari ini. Rentetan penyiksaan pada buruh migran telah menunjukkan alarm bahwa pemerintah harus mengambil aksi nyata untuk melindungi hak-hak buruh migran sebagaimana komitmennya dalam ratifikasi Konvensi Migran 1990. Tujuh tahun tak menjawab keadilan bagi Mariance Kabu, perempuan buruh migran korban trafficking yang disiksa oleh majikannya, Sereng Ong, di Malaysia. Tujuh tahun berlalu, keadilan yang dinanti tak ada kabarnya, tak ada kejelasan atas kasusnya. Mereka yang seharusnya bertanggung jawab malah membisu.

Kronologi: Menjadi Korban TPPO dan Disiksa Majikannya

Pada 2014, Mariance pulang kampung ke rumah orang tuanya dan bertemu dengan Asnat Tafuli, kerabatnya, yang menyarankannya dan iparnya, Jeni Sila, untuk bekerja sebagai buruh migran. Asnat dan rekannya mengaku bahwa mereka mendapat petunjuk Tuhan melalui tim doa, agar Mariance dan Jeni pergi bekerja sebagai buruh migran. Mariance dan Jenni diyakinkan bahwa bekerja di Malaysia tidak susah, gajinya besar, dan tidak perlu membawa pakaian.

Lalu, Mariance dan Jeni dibawa oleh Piter Boki, seorang tenaga lapangan dari PT Malindo, yang juga saudara Asnat. Ia dibawa Piter ke tempat penampungan PT Malindo yang terletak di Maulafa, NTT. Di dalamnya terdapat lebih dari 20 orang perempuan. Mariance tinggal selama 3 hari di penampungan tanpa mengerjakan apapun ataupun mengikuti pelatihan kerja.

Pada 11 April 2014, Mariance akhirnya diberangkatkan dari Kupang ke Surabaya dengan dibekali uang Rp. 50.000,- oleh istri Pak Tedy Moa (tenaga lapangan dari PT Malindo) dan baru diberikan paspor saat berada di bandara. Selama perjalanan Kupang-Surabaya-Batam, Mariance dilarang membawa handphone. Sesampainya di Batam, Mariance dijemput dua orang pria menuju kos-kosan yang diisi banyak orang Indonesia. Namun, mereka tidak saling bicara.

Setelah itu, mereka diantar dua orang pria tadi ke kapal laut, tanpa tiket, dan hanya ada paspor. Lalu mereka berlayar ke Malaysia. Sesampainya di Malaysia, mereka bertemu dengan seorang perempuan asal Malaysia, ia melihat paspor mereka dan kemudian membawa mereka ke rumahnya. Setelah itu, mereka dijemput sebuah bus yang kemudian membawa mereka ke penampungan saat magrib. Di perjalanan, para buruh migran diturunkan satu per satu. Mariance tiba pada pukul 12.00 malam melalui kloter terakhir.

Mereka tinggal di penampungan itu selama satu minggu, tanpa melakukan apapun. Biasanya mereka bangun jam 05.00 pagi dan tidur jam 10.00 malam. Para penjaga menyortir barang-barang mereka kemudian dibawa ke gudang dan diberi pakaian seragam milik  penampungan. Setelah seminggu di penampungan, mereka dibawa ke sebuah kantor dan Rumah Sakit untuk di-rontgen, periksa darah, dan periksa keseluruhan tubuh. Setelah itu Mariance dibawa ke kantor, lalu kembali ke tempat penampungan.

Keesokan harinya, Mariance dipertemukan dan dikenalkan dengan majikannya di penampungan tersebut. Dalam pertemuan itu Mariance ditanyakan apakah ada pantangan makanan dan apakah ia bersedia menjaga nenek (ibu dari majikan). Berhubung Mariance tidak mempunyai pantangan makanan, dan dapat menjaga nenek, maka ia dan majikan tersebut bersepakat untuk bekerja di rumah majikannya. Besoknya, majikannya menjemput Mariance di kantor untuk dibawa ke rumah/apartemen majikannya.

Di rumah majikan, Marince diminta untuk mengosongkan isi tasnya, agar sang majikan dapat memeriksa isi tas tersebut. Setelah itu, teman dari majikannya (tidak diketahui namanya) membuat jadwal kerja harian untuk Mariance. Dalam jadwal itu, Mariance bekerja dari jam 05.00 pagi sampai jam 10.00 malam. Tugasnya adalah memandikan nenek, memberi makan, menidurkan, menemani nenek jalan-jalan, memasak, dan bersih-bersih rumah.

Selama delapan bulan bekerja di rumah majikannya, hidup Mariance penuh dengan penyiksaan. Pada Desember 2014, ketika majikan sedang pergi bekerja, ia mendengar suara tetangga yang berbicara di depan pintu apartemen. Lalu ia menulis sebuah surat yang berisi “tolong saya, saya disiksa, saya mandi darah setiap hari”. Lalu ia melemparkannya keluar dari pintu.

Satu jam kemudian polisi datang ke rumah. Saat itu, sang majikan sudah ada di rumah, dan membujuk Mariance untuk tidak mengatakan apapun pada polisi. Mariance dibawa oleh polisi, dan diyakinkan oleh polisi bahwa ia aman, kemudian diminta kesaksiannya, dan ia mengatakan segala yang terjadi pada polisi tersebut. Mariance juga menunjukkan luka-luka di tubuhnya pada polisi. Saat itu Mariance tidak mengenakan pakaian dalam, hanya pakaian luar saja.

Tanda Tanya Nasib Kasus Mariance di Malaysia

Mariance Kabu pernah berucap, “buruh migran yang disiksa adalah Mariance, buruh migran yang mati karena disiksa juga Mariance”. Betapa keberanian itu tumbuh dan berkobar dalam diri Mariance kini. Delapan tahun tanpa kepastian kasusnya, trauma dalam dirinya masih ada, namun tak menyurutkannya dalam memperjuangkan keadilan. Bersama kawan-kawan pendamping, salah satunya Pendeta Emmy Sahertian yang aktif mendampingi perempuan korban TPPO, Mariance menguatkan diri dan memperjuangkan haknya.

Pasca Mariance dibawa polisi ke rumah sakit, kondisinya saat itu sangat mengenaskan. Sekujur tubuhnya penuh luka hingga ia harus mendapatkan perawatan selama sebulan di rumah sakit. Setelahnya, Mariance tinggal selama enam bulan di Shelter Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Kasusnya juga dibawa ke persidangan dan dikawal oleh KBRI. Ia pun sempat bersaksi dalam persidangan sebelum akhirnya ia kembali ke Indonesia. Saat itu, pihak KBRI menjamin bahwa mereka akan mengawal kasus Mariance.

Sayangnya, hingga saat ini tak ada kepastian yang ia dapat. Tak ada satupun informasi yang sampai kepada Mariance tentang keadilan yang ia nanti. Bahkan Mariance justru mendapat kabar jika majikannya masih bebas hingga saat ini. “Tanpa informasi yang jelas tentang keputusan di sana. Dan kami hanya dengar rumor tentang keputusan itu dari orang-orang lain dan bagi kami ini adalah hak mendapat informasi bagi  korban itu juga sangat penting karena itu haknya. Dan dari situ ia bisa paham apakah ia mengalami keadilan atau tidak,” ujar Pendeta Emmy saat mendampingi Mariance.

Putusan pengadilan menyebutkan bahwa bukti yang ada rusak dan tidak kuat untuk menuntut majikannya, sehingga peradilan tidak dapat dilanjutkan, kasusnya dianggap mistrial dengan keputusan Discharge Not Amounting To Acquittal (DNAA), artinya majikannya bebas namun masih bisa diadu kalau ada bukti baru (novum). Namun Kementerian Luar Negeri (Kemlu RI) memaparkan bahwa tidak ada anggaran untuk menaikkan kembali kasus ini.

Hal ini sungguh disayangkan karena ada korban mengenaskan, namun tidak ada pelaku. Foto-foto Mariance dengan wajah babak belur bahkan tersebar di beberapa media. Lalu mengapa bukti masih juga dianggap rusak? Dan mengapa pihak KBRI tidak menyampaikannya pada Mariance?

Hingga saat ini, pendamping tetap mengawal kasusnya, termasuk menjerat pelaku yang berperan dalam TPPO. “Di NTT, para perekrutnya kemudian dibawa ke pengadilan, mereka dihukum. Namun pimpinan PT belum terjangkau hingga sekarang. Jadi memang ada bolong-bolong sedikit di  NTT. Tapi kami bersama-sama dengan Mama Mariance, teman-teman dari jaringan perempuan timur, LBH Apik, itu jaringannya luar biasa, untuk membackup Mama Mariance. Memang pelaku-pelakunya ditangkap, yang cukong-cukongnya itu sampai sekarang masih beredar, terutama pimpinan PTnya.” tutur pendeta Emmy. Ia menegaskan bahwa yang terjadi pada Mariance murni TPPO karena yang dipakai adalah jalur unprosedural, dengan mekanisme titip di PT, namun dibawa dengan jalur individual tanpa persyaratan, misalnya tidak ada sertifikat keterampilan dari Balai Latihan Kerja (BLK)

SP bersama forum solidaritas untuk Mariance Kabu sudah melakukan berbagai upaya agar Mariance mendapat keadilan, salah satunya dengan mengirimkan surat kepada PWNI BHI Kemlu untuk melakukan Audiensi pada 6 Juni 2022, namun sampai sekarang belum ada respon untuk kepastian audiensi. “Karena sampai sekarang belum ada respon, SP dan Forum untuk Mariance Kabu juga membuat laporan pengaduan audiensi ke Komnas HAM dan Komnas Perempuan,” ujar Andriyeni, Kadiv Advokasi Kasus Solidaritas Perempuan.

Penyiksaan yang dialami oleh Mariance bukanlah sesuatu yang bisa dibayar dengan sejumlah rupiah, tetapi pelaku juga seharusnya mendapatkan sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku sehingga bisa menjadi pelajaran sebagai majikan untuk memperlakukan pekerjanya sebagai pekerja bukan perempuan yang tidak mempunyai kuasa atas dirinya dan kemudian bisa diperlakukan sewenang-wenang. “Kalau kita melihat ke dalam undang-undang, negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan kepada buruh migran, ada perlindungan sebelum bekerja, selama bekerja, dan perlindungan setelah bekerja. Tapi yang dialami Mariance Kabu, perempuan buruh migran dengan segala kerentanannya itu sangat minim perlindungan. Kalaupun berhasil dipulangkan oleh pemerintah melalui perwakilan, walaupun terlambat kita tetap apresiasi, tetapi lagi-lagi pemerintah sepertinya abai untuk melanjutkan proses hukum yang merupakan keadilan bagi Mariance Kabu,” Ungkap Andriyeni.

Persoalan Struktural Buruh Migran

Melihat persoalan yang dialami Mariance bukanlah sekedar melihat kasus penyiksaan secara sempit. Lebih luas, persoalan Mariance adalah persoalan struktural yang sarat akan buruknya sistem dan besarnya relasi kuasa yang dihadapi Mariance. Keberangkatan Mariance ke Malaysia diawali dengan tindak manipulatif calo yang menggunakan dalih agama. Melalui persekutuan doa, mereka mengaku mendapat penglihatan dari Tuhan. Kondisi ini tentu tak hanya dialami oleh Mariance. Justru modus ini yang selalu dipakai oleh jaringan mafia perdagangan orang di NTT.

Banyak penyebab mengapa masyarakat teriming-iming kerja di luar negeri sebagai buruh migran. Sulitnya mencari kerja tentu menjadi salah satu faktor utama, apalagi Mariance berasal dari NTT, yang tidak banyak memiliki pilihan jenis pekerjaan, ditambah dengan angka pendidikan yang masih rendah, hingga tidak ada pengembangan kapasitas pada usia produktif. Tak ayal, buruh migran menjadi pekerjaan yang justru disasar banyak masyarakat.

Faktor budaya dan kepercayaan juga menjadi hal yang perlu dilihat dari kondisi buruh migran di NTT. Migrasi yang sudah tumbuh menjadi budaya telah membuat masyarakat memilih kerja di luar negeri. Malaysia merupakan salah satu negara tujuan yang diminati oleh buruh migran Indonesia. Pemilihan tersebut berdasarkan pada jarak tempuh yang lebih dekat dibandingkan negara-negara lain dan budaya yang tidak jauh berbeda dengan  Indonesia.  Apalagi  sejak  dahulu  memang  sudah  ada  perlintasan  batas  negara  antara Indonesia dan Malaysia. Pengiriman buruh migran Indonesia ke Malaysia dilakukan berdasarkan hubungan  kekerabatan,  perorangan,  dan  tradisional  hingga  tahun  1980-an.  Namun  pada  tahun 1984,  muncul Memorandum of Understanding (MoU) antara Indonesia dan Malaysia mengenai pengaturan aliran migrasi dari Indonesia ke Malaysia yang ditandatangani di Medan pada tanggal 12  Mei  1984.  Perjanjian  tersebut  kemudiannya  dikenal  sebagai Medan  Agreement  yang merupakan  penerapan  pengaturan  sekaligus  pengawasan  arus  migrasi  tenaga  kerja  dari Indonesia  ke  Malaysia.[1]  Dengan  adanya  perjanjian  tersebut,  pola  migrasi  tenaga  kerja  ke  luar negeri tidak hanya dilakukan secara kultural atau swadaya, namun juga sudah ada keterlibatan pihak pemerintah dan swasta yaitu perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia.[2] Yang terbaru, Indonesia dan Malaysia juga telah menyepakati MoU Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik di Malaysia pada 1 April 2022.[3] MoY mengatur tentang penggunaan sistem satu kanal atau one channel system sebagai sistem perekrutan hingga pengawasan.

Walaupun sudah mempunyai akses pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri yang dilakukan  oleh  pihak  pemerintah  dan  juga  swasta,  namun  eksistensi  migrasi  secara  kultural masih menjadi pilihan bagi buruh migran Indonesia, dan salah satunya buruh migran dari NTT.  Pemilihan migrasi secara kultural banyak diambil oleh para buruh migran asal NTT dikarenakan mereka menyusul keluarga yang terlebih dahulu bermigrasi ke Malaysia. Migrasi jenis ini juga dikenali sebagai migrasi berantai. Bagi masyarakat NTT dalam memandang migrasi ke luar negeri adalah sebuah tradisi turun-temurun. Hal ini karena, jika ibu dan ayah mereka sebelumnya pernah menjadi tenaga kerja Indonesia, maka mereka akan mengikuti jejak langkah orang tuanya. Terdapat juga anak muda yang memilih untuk merantau ke luar negeri setelah tergiur dengan cerita “indah” tentang tanah perantauan.[4] Peningkatan arus migrasi ke luar negeri khususnya masyarakat NTT menyebabkan beberapa permasalahan timbul seperti human trafficking, pemalsuan dokumen, dan lain-lain.[5]

Seperti Mariance, kepercayaan terhadap petunjuk Tuhan yang sebenarnya dimanipulasi masih sangat dipercayai oleh masyarakat. Cara-cara inilah yang biasanya digunakan oleh penyalur ilegal yang berusaha merekrut lebih banyak korban. Yang dialami oleh Mariance adalah Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang biasa ditemui prakteknya dalam penyaluran buruh migran. Akhirnya, masyarakat yang kepepet, terpaksa melewati prosesnya, bukan hanya karena ketidaktahuannya, melainkan juga keterpaksaan kondisi ekonomi keluarga, mau tidak mau ia harus mencari penghidupan.

Mariance Kini

Kini, Mariance hidup sebagai mentor menenun di Komunitas Hanaf, komunitas yang didirikan olehnya dan kawan-kawan yang secara konsisten mendampinginya. Salah satu yang selalu ada dalam proses pemulihan dan penguatan Mariance adalah Pendeta Emmy Sahertian, yang juga aktivis yang giat memperjuangkan hak-hak buruh migran. Dengan menenun, Mariance menemukan jalan untuk lepas dari keterpurukannya. Seperti tiap-tiap benang yang ia tenun dengan seksama dan teliti hingga menjadi sehelai kain cantik, perjuangan yang ia pupuk kelak juga harusnya berakhir indah.

Saat ditemui, Mariance mengungkapkan harapannya, “saya sudah menunggu selama tujuh tahun, tapi janjinya tidak ada. Dan saya juga tidak tahu itu sudah sampai di mana itu majikannya. Saya hanya berharap tahu bagaimana keadaan di sana dan janji KBRI itu bagaimana saat ini? Saya menunggu itu. Dan saya tidak bisa berbuat apa-apa. Dan saya sekarang merasa sangat kuat karena saya bukan ada di tempat yang bisa sendiri (seperti saat bekerja di rumah majikannya) dan saya hanya berharap untuk keadilan itu terungkap. Mau lambat atau cepat, keadilan itu akan terungkap dan itu saya sangat berharap juga bagaimanapun yang bolak balik itu pergi datang pergi datang itu jangan percaya.

——————————-

[1] Riwanto Tirtosudarmo, Dimensi Politik Migrasi Internasional: Indonesia dan Negara Tetangga dalam edisi M, Arif Nasution, Globalisasi dan Migrasi Antar Negara, (Bandung: Kerjasama Yayasan Adikarya IKAPI dengan The Ford Foundation, 1999), hlm. 151.
[2] Nor Zana Binti Mohd Amir, Migrasi Kultural Buruh Migran Indonesia Asal Nusa Tenggara Timur ke Malaysia, https://adoc.pub/migrasi-kultural-buruh-migran-indonesia-asal-nusa-tenggara-t.html
[3] https://kemlu.go.id/portal/id/read/3475/berita/indonesia-malaysia-sepakati-mou-perlindungan-pekerja-migran-indonesia-di-malaysia, diakses pada 19 Agustus 2022, pukul 15.17 WIB.
[4]Waihali Larantuka, Orang Lewohedo Masih Setia Dengan Tradisi Migrasi Swadaya, http://waihali-larantuka.blogspot.co.id/2013/03/orang-lewohedo-masih-setia-dengan.html, (diakses tanggal 14 Agustus 2022, Pukul 20.39 WIB.
[5] Ibid.

 

Translate »