Mayday: Momentum Perempuan Buruh Melawan Pemiskinan dan Penindasan

Hari Buruh Internasional 2017, harus diperingati dalam keprihatinan terhadap nasib buruh itu sendiri. Tanggal 1 Mei merupakan momentum pengakuan terhadap perjuangan kaum buruh dan komitmen perlindungan terhadap hak-hak buruh. Nyatanya di Indonesia, agenda tersebut belum menjadi prioritas negara. Alih-alih Negara mengambil langkah nyata untuk memastikan kesejahteraan buruh melalui perwujudan kondisi kerja layak dan penghapusan upah murah, pemerintah justru terus berkiblat pada agenda ekonomi global yang mengorbankan buruh, terlebih perempuan buruh.

Keterlibatan aktif pemerintah dalam agenda globalisasi yang dikendalikan perusahaan dan pemilik modal, secara jelas telah menyerahkan nasib buruh kepada pasar kerja global, dengan bertumpu pada paradigma buruh sebagai alat produksi. Akibatnya, komodifikasi buruh dengan kebijakan upah murah dan minim perlindungan hak justru dipilih sebagai ‘daya tarik’ investasi. Keterlibatan Indonesia di dalam Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP)  misalnya, memperparah situasi perempuan buruh di berbagai sektor. Selain ancaman upah murah, RCEP juga mengakomodir kebutuhan pengusaha terhadap tenaga kerja dengan membahas sirkulasi tenaga kerja antar negara.

Tak hanya itu, agenda investasi itu sendiri juga berkontribusi terhadap pemiskinan dan penindasan perempuan. Alih fungsi lahan untuk kepentingan investasi di berbagai sektor seperti perkebunan kelapa sawit dan privatisasi pesisir telah memaksa perempuan menjadi buruh. Investasi pertanian melalui proyek-proyek agribisnis pun telah mengambil alih lahan dan sumber kehidupan perempuan sehingga perempuan harus mencari alternatif penghidupan, salah satunya sebagai buruh baik di dalam negeri maupun di luar negeri tanpa jaminan perlindungan.

Komodifikasi tenaga kerja dengan mengedepankan aspek persaingan kerja semakin memperlemah posisi buruh, terlebih perempuan buruh. Tuntutan buruh dari tahun ke tahun untuk mendapatkan upah dan kondisi kerja layak selalu menimbulkan ketegangan dengan pengusaha ataupun pemerintah. Perusahaan akan selalu mengedepankan kepentingan peningkatan keuntungan dan modal, sementara pemerintah selaku regulator memiliki kepentingan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi makro melalui kebijakan-kebijakan yang memfasilitasi dan mendorong investasi, termasuk dengan menekan upah buruh seminimum mungkin. Tak hanya itu, negara juga memfasilitasi perusahaan melalui hukum dan aparat keamana, sehingga di dalam perjuangannya buruh, perempuan maupun laki-laki seringkali mengalami intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi. Dalam situasi tersebut, perempuan tidak hanya menghadapi persoalan upah dan kondisi kerja layak tetapi juga minimnya perlindungan hak spesifik perempuan dan sulitnya akses jaminan sosial.

Selain kerusakan ekologi yang berdampak pada berkurangnya hasil laut yang mempengaruhi penghasilan perempuan, perempuan buruh di sektor perikanan juga tidak diakui sehingga berdampak pada tidak adanya perlindungan bagi perempuan buruh di sektor tersebut. Di samping itu, perempuan buruh di sektor perikanan juga tidak dapat mengakses berbagai bantuan yang ditujukan karena tidak adanya pengakuan tersebut.

Selain itu, investigasi yang dilakukan Solidaritas Perempuan mengungkap fakta tentang perempuan buruh di sektor perkebunan kelapa sawit, yang rentan terhadap berbagai bahaya tanpa perlindungan memadai. Di PT. Sultra Prima Lestari (SPL) misalnya, perusahaan tidak menyediakan sarung tangan, masker, dan helm,  yang merupakan perlengkapan penting untuk keamanan mereka dalam bekerja. Padahal, tanpa alat-alat tersebut, akan membahayakan situasi kesehatan perempuan, terutama kesehatan reproduksi. Ketidakjelasan status pekerja juga menjadi persoalan bagi perempuan buruh. Meski telah bekerja selama 8 tahun, 82 orang perempuan buruh yang bekerja dibagian perawatan  atau pemumpukan masih berstatus Buruh Harian Lepas (BHL). Sebagai Buruh Harian Lepas (BHL) pun, mereka tidak pernah mendapat kontrak dari perusahaan.

Tak hanya itu, perempuan buruh kelapa sawit memiliki kerentanan terkait keamanan mereka. Perkebunan kelapa sawit biasanya berada di daerah-daerah terpencil, dimana jarak antara rumah dan tempat kerja perempuan biasanya berjauhan. Mereka biasanya menggunakan truk ataupun perahu  yang disediakan oleh perusahaan melalui antar jemput oleh mandor mereka. Selama perjalanan, perempuan rentan mengalami pelecehan, maupun tindak kekerasan fisik maupun psikologis oleh mandor. Potensi mengalami kekerasan, maupun pelecehan juga sangat besar dialami para perempuan buruh saat mereka melakukan pekerjaan mereka di kebun.

Sementara, perempuan yang bekerja di luar negeri, terutama di sektor rumah tangga/domestik juga mengalami kerentanan yang belapis. Berbagai kasus pelanggaran hak terkait ketenagakerjaan seringkali disertai dengan tindakan kekerasan dan kriminalisasi. Beban kerja berlebih, jam kerja yang panjang, upah tidak dibayar, penganiayaan, kekerasan seksual, dipindah-pindah majikan, hingga perdagangan orang menjadi jenis kasus terbanyak yang ditangani Solidaritas Perempuan. Sepanjang 2016, tercatat dari 66 kasus yang seluruhnya adalah perempuan, 17% diantaranya adalah kasus perdagangan orang . Ketiadaan jaminan terhadap akses informasi menjadi salah satu faktor penyebab mengapa perempuan buruh migran seringkali akhirnya menjadi korban.

Perempuan buruh migran pekerja rumah tangga (PRT) yang selama ini dianggap sebagai pekerja informal, juga semakin terpinggirkan akibat kebijakan Zero Domestic Workers dengan kebijakan turunannya, Kepmenaker No. 260 tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Pengiriman Tenaga Kerja Domestik Pada Pengguna Perseorangan di 19 Negara Timur Tengah. Kebijakan ini tidak hanya mendiskriminasi pekerja rumah tangga migran tetapi juga meningkatkan angka trafficking pada perempuan buruh migran melalui pengiriman unprosedural. 2016-2017 saja, Solidaritas Perempuan menerima 8 pengaduan kasus yang merupakan dampak dari implementasi Kepmenaker ini dan telah dilaporkan pada instansi pemerintah terkait. Sayangnya, pemerintah lamban merespon bahkan seolah lepas tangan terhadap penyelesaian kasus-kasus tersebut.

Berbagai persoalan di atas menunjukkan penindasan dan pemiskinan terhadap perempuan buruh yang terus terjadi secara sistematis. Karenanya, penting bagi Solidaritas Perempuan bersama perempuan buruh untuk terus menyuarakan situasi dan perjuangan perempuan buruh, untuk mendorong perlindungan hak-hak mereka. Hari Buruh Internasional yang diperingati setiap 1 Mei menjadi momentum untuk turun ke jalan sebagai aksi nyata dalam merawat perjuangan untuk melawan pemiskinan dan penindasan terhadap perempuan buruh, demi merebut kedaulatan perempuan buruh atas hak-haknya.

Narahubung:
Risca (081219436262)
Nisaa Yura (081380709637

Translate »