MEA: Hilangkan Proteksi, Jokowi Ingkari Janji Nawacita

Siaran Pers Solidaritas Perempuan
Untuk Disiarkan Segera

MEAJAKARTA. Presiden Jokowi telah mengingkari janji Nawacita. Ini terlihat dari pernyataan Presiden Jokowi yang dimuat oleh berbagai media, bahwa memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pemerintah tidak akan lagi melakukan proteksi dan subsidi berlebihan. Padahal Presiden Jokowi dalam Nawacita menjanjikan mekanisme proteksi terselubung untuk melindungi tenaga kerja dalam pelaksanaan MEA. Selain itu, Presiden Jokowi juga berjanji untuk meminimalisasi dampak perdagangan bebas terhadap kepentingan ekonomi nasional Indonesia.

Indonesia terikat pada komitmen MEA untuk menciptakan pasar tunggal dan basis produksi dengan menghilangkan hambatan dalam arus barang, jasa, investasi, tenaga kerja terlatih dan modal. Termasuk didalamnya adalah menghapus tarif bea masuk dan pembatasan terhadap investasi asing, serta menghilangkan subsidi. Padahal, kebijakan proteksi sesungguhnya sangat diperlukan untuk melindungi usaha kecil tradisional, di mana banyak perempuan  bekerja di sektor tersebut, sehingga tidak tergerus oleh industri/perusahaan dengan modal dan kapasitas yang besar. Hal ini telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 03/PUU-VIII/2010[1] yang menyatakan bahwa perlakuan yang sama terhadap dua situasi yang berbeda/timpang merupakan tindakan yang tidak adil. Liberalisasi ini justru mengancam petani dan nelayan tradisional yang merupakan penyedia pangan bagi masyarakat, sehingga akan turut mengancam kedaulatan rakyat.

Atas nama peningkatan daya saing dalam menghadapi MEA, Pemerintah fokus pada peningkatan produksi melalui praktek agribisnis (industrialisasi pangan) dan mengabaikan perlindungan hak rakyat, termasuk hak perempuan. Praktek yang dimotori oleh korporasi ini telah mengambil kontrol dalam sektor pangan baik di hulu maupun hilir, misalnya penentuan harga, produksi, suplai input sampai dengan teknologi/pengetahuan. Akibatnya petani dan nelayan kecil dipinggirkan dan hilang kedaulatannya. Situasi ini berdampak lebih besar terhadap perempuan. Meskipun perannya sangat signifikan dalam sistem pengelolaan pangan tapi tidak kunjung diakui sehingga terkecualikan dalam berbagai kebijakan maupun program Pemerintah. Perempun pun terpinggirkan dan kehilangan sumber kehidupannya yang mengakibatkan penindasan dan kekerasan berlapis bagi perempuan. Selain itu, tanpa hambatan tarif pun Indonesia akan dibanjiri dengan produk impor yang mengancam produk rumahan yang kebanyakan menjadi sumber kehidupan perempuan.

Selama ini Pemerintah tidak memiliki strategi dan rencana yang tepat untuk melindungi kepentingan petani dan nelayan kecil dalam menghadapi bahaya MEA. Ketika potensi bahaya itu semakin nyata mengancam, pemerintah justru berlepas tangan. Presiden Jokowi hendaknya konsisten dengan janji Nawacita, termasuk mendorong fasilitas safeguards (kerangka pengaman) dalam FTA yang dapat digunakan untuk melindungi produk/pasar dalam negeri. “Pemerintah seharusnya memiliki langkah-langkah nyata dalam memastikan perlindungan perempuan petani dan nelayan dalam menghadapi bahaya MEA, termasuk membangun safeguard untuk perlindungan hak perempuan petani dan nelayan sebagaimana janji Jokowi dalam Nawacita” Ungkap Puspa Dewy – Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan.

CP: Arieska (081280564651/arieska@solidaritasperempuan.org)


[1] Putusan Pengujian Kembali UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terhadap UUD 1945

Translate »