Press Release
Jakarta, 30 Juni 2012. Presiden SBY kembali mengangkat mengenai isu perubahan iklim pada Rio+20 Juni lalu di Rio de Jainero, menegaskan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisinya sebesar 26% dengan usaha sendiri atau 41% dengan bantuan internasional pada 2020. Komitmen ini awalnya telah disampaikan pada pertemuan G20 Pittsburgh dan COP 15 pada tahun 2009. Aliran pendanaan pun telah mengalir masuk ke Indonesia untuk proyek iklim, baik berasal langsung dari negara-negara industri, melalui lembaga keuangan internasional (LKI), maupun swasta. Indonesia dengan hutan dan kekayaan alam melimpah telah menjadi ladang bagi proyek-proyek iklim. Hingga tahun 2011 komitmen pendanaan iklim ke Indonesia telah mencapai USD 4,4 milyar, terbagi dalam USD 3,48 bantuan bilateral dan USD 913 juta bantuan multilateral. Sayangnya, tidak semua komitmen pendanaan itu diperoleh dengan cuma-cuma, dari USD 4,4 milyar tersebut, USD 2,93 milyar berbentuk utang dan USD 1,43 milyar berbentuk hibah. Komitmen pendanaan ini jelas akan memperbanyak proyek-proyek iklim di Indonesia.
Untuk mendukung komitmen penurunan emisi tersebut, Presiden SBY juga telah meluncurkan Rencana Aksi Nasional – Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) melalui Perpres No. 61 Tahun 2011, di mana sektor terbesar dari penurunan emisi adalah sektor kehutanan yang dilakukan melalui skema REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) dan kemudian berkembang menjadi REDD+. Skema REDD+ dikembangkan secara massif oleh Pemerintah Indonesia dengan berbagai insiatif. Hingga tahun 2010, telah ada 44 proyek percontohan REDD (REDD Readiness) di Indonesia, dari Aceh hingga Papua, dengan berbagai bentuk dan sumber pendanaan.
Berbagai pengalaman telah menunjukkan bahwa keterlibatan lembaga keuangan internasional dan swasta dalam pengelolaan kehutanan berdampak terhadap kerusakan lingkungan dan banyak meminggirkan masyarakat, terutama perempuan, dari hutan sebagai sumber kehidupannya. Potensi tersebut juga mulai nyata terlihat dalam proyek percontohan REDD+ yang sudah mulai berjalan. Dalam beberapa kasus, proyek-proyek percontohan ini pun mendapatkan penolakan dari masyarakat dan menimbulkan konflik di masyarakat, seperti yang terjadi pada Suku Anak Dalam di Jambi dan Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Masyarakat, khususnya perempuan, tidak mendapatkan informasi yang benar, jelas, lengkap dan mudah dipahami mengenai proyek. Juga tidak dilakukannya konsultasi bermakna bagi masyarakat dan tidak dimintanya persetujuan masyarakat untuk pelaksanaan proyek adalah sejumlah pelanggaran hak masyarakat atas pelaksanaan proyek REDD+.
Temuan Solidaritas Perempuan di wilayah REDD+ di Aceh, Poso dan Kalimantan Tengah memperlihatkan bahwa perempuan tidak terinformasi, dilibatkan, bahkan diminta persetujuan atas rencana proyek. Padahal hutan merupakan sumber kehidupan perempuan, seperti rotan dan obat-obatan tradisional. “Kami tidak pernah diundang ataupun dilibatkan dalam acara rapat-rapat sosialisasi proyek, dan diminta persetujuan, jadi kami tidak tau apa itu REDD. Biasanya kami dilibatkan hanya untuk program pembibitan saja.” Ujar perwakilan perempuan adat dari Desa Sei Ahas, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, lokasi proyek Kalimantan Forest and Climate Partnership (KFCP). “Bagi kami KFCP tidak ada manfaatnya, malah membuat masyarakat berkonflik, padahal konflik kami sama sawit aja belum beres”, lanjutnya.
Pelanggaran hak perempuan akan terus terjadi jika tidak ada standar aturan perlindungan bagi perempuan. Untuk itu, Solidaritas Perempuan berinisiatif membangun suatu standar aturan perlindungan perempuan (gender safeguard) untuk proyek iklim, yang memuat prinsip dan indikator perlindungan perempuan, dengan berdasarkan best practice dari berbagai sumber dan pengalaman serta pengetahuan perempuan. “Diharapkan standar ini dapat terintegrasi dalam safeguard nasional untuk proyek-proyek iklim, termasuk safeguard REDD yang sedang disusun oleh Indonesia. Selain itu, standar ini dapat menjadi panduan/alat dalam memantau kebijakan dan proyek iklim di Indonesia.” tegas Puspa Dewy, Koordinator Program Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan.
Kontak person:
Aliza aliza@solidaritasperempuan.org )