Oleh: Ega Melindo
Garut, 27 – 30 Juli 2018. Sebanyak 15 perempuan petani dari Komunitas SP Sebay Lampung, SP Sumbawa, SP Mataram, SP Sintuwu Raya Poso dan SP Palu mengunjungi Pesantren Ekologi At-Thariq di Garut untuk bertukar pengalaman dan pengetahuan tentang konsep dan sistem pertanian agro ekologi. Kegiatan ini dilakukan dengan harapan dapat memperkuat potensi model-model inisiatif pengelolaan pangan yang sudah muncul di komunitas-komunitas SP.
Rangkaian kegiatan ini difasilitasi oleh Nissa Wargadipura dan Ibang Lukman selaku pendiri dan pembina pesantren Ath-Thariq. Diawali dengan tour pesantren, peserta diajak langsung melihat pertanian yang dikelola dengan prinsip agroekologi. “Semua ini adalah hasil refleksi saya, ketika saya bersama dengan serikat petani berhasil melakukan reclaim penguasaan tanah perkebunan. Namun kemudian petani dengan mudahnya menjual tanah tersebut. Sebabnya adalah hilangnya kedaulatan petani atas sumber produksi pangannya”, ujar Nissa Wargadipura di tengah persawahan milik pesantren. Konsep kebun Talun (kebun bersama) yang dikembangkan oleh pesantren merupakan hasil menelusuri kembali sistem pertanian tradisional yang dulu dipraktikkan oleh leluhur. Dan setiap wilayah tentu memiliki kearifan lokalnya sendiri yang perlu untuk ditemukenali dan kemudian dipraktikkan kembali.
Sementara itu, Ibang Lukman memaparkan tentang konsep pertanian agroekologi sebagai perlawanan terhadap cara pandang pengelolaan pertanian yang berorientasi pada pasar. “Kita, manusia hari ini disuguhi cerita soal pasar. Bukan lagi soal khasiat dan keberkahan dari apa yang kita hasilkan sebagai petani. Itulah mengapa semangat pesantren At-Thariq adalah prinsip kemanusian dan keseimbangan ekologi. Bahwa manusia adalah penerima mandat dari langit untuk menjaga alam”, tegas Ibang. Peserta pun mengikuti kegiatan dengan semangat dan terus menggali pengetahuan yang ada di pesantren. Di antaranya adalah Ratna, perempuan petani dari desa Maholo – Sulawesi Tengah. Ratna menyampaikan “Saya disini sangat berkesan, khususnya soal mengelola pertanian dengan cinta. Bahwa tanaman apapun itu diciptakan Tuhan itu ada manfaatnya. Kami merasa malu karena selama ini beberapa tumbuhan yang di kampung saya itu berusaha keras saya basmi, ternyata di pesantren ini bisa kami makan dan berkhasiat”, ujarnya. Bagi Kardiana dari Sumbawa, pembelajaran yang paling berkesan adalah tentang revolusi meja makan. Selama di pesantren, peserta disuguhi variasi pangan yang manfaat dan khasiatnya luar biasa dari kebun pesantren. Revolusi meja makan merupakan bentuk perlawanan dari revolusi hijau yang mendorong pola tanam monokultur, penyeragaman benih dan penggunaan obat-obatan kimia. Pada revolusi meja makan, kita diajak untuk mengubah pola konsumsi yang instan, impor dan tak beragam menjadi konsumsi pangan yang ada di sekitar kita dan kaya akan manfaat. Dengan demikian pangan yang kita konsumsi sekaligus menjadi obat bagi keluhan-keluhan penyakit yang ada.
Selain belajar pengetahuan tentang pengelolaan pertanian agroekologi, peserta juga diajak untuk langsung mempraktikkan pembuatan POC (pupuk organik cair), MOL (mikro organisme lokal), koscing (kompos cacing), dan kompos kering. Pembuatan penyubur alami ini memanfaatkan bahan-bahan yang ada di sekitar kita, mulai dari kotoran ternak sampai sampah rumah tangga. Meski sebagian besar peserta pernah membuat pupuk, namun tetap ada pengetahuan baru yang didapatkan. Praktik lainnya yang juga dipelajari adalah menambah nilai ekonomi terhadap tanaman yang dihasilkan oleh kebun sendiri, misalnya daun pandan, serai merah, buah-buahan, umbi-umbian dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut bisa menjadi minuman teh herbal, selai ataupun sirup. Namun demikian yang harus diingat bahwa tujuan utama bukanlah untuk dipasarkan, melainkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi diri sendiri dan keluarga. Peserta juga belajar mengemas dan menggunakan media sosial untuk menyebarluaskan pada publik dengan membangun keterikatan dan kepercayaan publik.
Di akhir kegiatan, Nissa Wargadipura menegaskan bahwa salah satu inti dari kedaulatan pangan adalah kedaulatan atas benih. Benih sejatinya adalah sumber kehidupan, namun saat ini petani telah kehilangan kedaulatannya atas benih. Sehingga perlawanan paling sederhana yang bisa kita mulai adalah dengan kembali kepada benih lokal kita. Untuk itu, betapa pentingnya sebagai perempuan petani untuk menemui kenali benih lokalnya. Sedangkan, Arieska Kurniawaty selaku perwakilan Solidaritas Perempuan pada penutupnya mengingatkan kepada peserta agar pengetahuan dan pengalaman yang didapatkan dapat dikembangkan di wilayahnya masing-masing dengan semangat perlawanan dan kolektivitas. Kemudian kegiatan ditutup dengan saling bertukar benih sebagai pertanda bahwa perjuangan menjaga ekologi dan mewujudkan kedaulatan perempuan akan terus tumbuh.