Menanti Ketegasan Indonesia Dalam Menghentikan Pelanggaran Hak Untuk Hidup Perempuan Buruh Migran

Pernyataan Sikap “Solidaritas Perempuan Atas Berbagai Kasus Penghilangan Nyawa Perempuan Buruh Migran”

Dalam dua bulan terakhir, publik dikejutkan dengan berita hilangnya nyawa 3 (tiga) buruh migran Indonesia di luar negeri. Adalah Adelina Sau dan Milka Boimau, dua perempuan buruh migran asal Kupang, NTT harus meninggal secara tragis di Malaysia karena dugaan pembunuhan secara sengaja yang dilakukan oleh majikan. Tujuh hari lalu, satu lagi buruh migran asal Madura, Jawa Timur, M. Zaini Mirsin, yang dieksekusi oleh pemerintah Arab Saudi karena dakwaan pembunuhan majikan. Eksekusi dilakukan di tengah upaya pemerintah mengajukan peninjauan kembali  dengan berdasarkan temuan fakta-fakta terbaru. Eksekusi juga dilakukan tanpa adanya notifikasi resmi yang seharusnya diberikan pemerintah Arab Saudi kepada Indonesia.

Eksekusi mati terhadap buruh migran Indonesia tanpa notifikasi resmi bukan baru kali ini terjadi. Terhitung dalam rentang waktu 10 (sepuluh) tahun, 2008-2018, ada 5 (lima) Warga Negara Indonesia, yang terdiri dari 4 (empat) orang perempuan dan 1 orang laki-laki dieksekusi oleh Pemerintah Arab Saudi tanpa memberikan notifikasi konsuler kepada kantor perwakilan konsuler Indonesia sehingga Pemerintah Indonesia tidak bisa memberikan bantuan konsuler yang seharusnya didapatkan demi keadilan dan kepentingan terbaik bagi buruh migran sebelum eksekusi dilakukan. Dimulai pada tahun 2008, eksekusi dilakukan oleh Pemerintah Arab Saudi terhadap Perempuan Buruh Migran Yanti Irianti binti Jono Sukardi, asal Karang Tengah, Jawa Barat.Tiga tahun setelah itu, yakni di tahun 2011, eksekusi kembali dilakukan terhadap Perempuan Buruh Migran Ruyati asal Bekasi, Jawa Barat. Eksekusi kembali  dilakukan tanpa ada notifikasi resmi kepada Pemerintah Indonesia bahkan sejak penangkapannya. Diikuti dua eksekusi mati pada tahun 2014 terhadap 2 (dua) Perempuan Buruh Migran yaitu Siti Zainab binti Durih Rupa dan Karni binti Medi, dimana pemerintah Indonesia juga baru mendapatkan pemberitahuan dari Arab Saudi 4 jam setelah pelaksanaan eksekusi. Pemerintah Indonesia telah melayangkan nota protes kepada pemerintah Arab Saudi. Tapi pemerintah Arab Saudi menyatakan bahwa tindakan tersebut tidak melanggar hukum internasional karena hanya menyangkut keterlambatan pemberitahuan eksekusi. Saat ini, sebanyak 20 buruh migran sedang menanti pelaksanaan eksekusi mati yang sudah ditetapkan pemerintah Arab Saudi, dua diantaranya yaitu Eti Bt. Toyib dan Tuti Tursilawati, keduanya asal Majalengka dan akan dieksekusi dalam waktu dekat.

Ancaman hukuman mati juga pernah dialami oleh Sumartini Bt. Galisung asal Sumbawa dan Warnah Bt. Warta Niing asal Karawang yang didakwa melakukan sihir terhadap anak majikan. Meski upaya  banding yang dilakukan pemerintah Indonesia telah berhasil membebaskan mereka dari hukuman mati, namun hukuman penjara selama 10 tahun tetap harus mereka jalani. Kasus yang ditangani Solidaritas Perempuan sejak 2011 ini masih terus dipantau dan diupayakan agar keduanya segera mendapat rehabilitasi sebagai salah satu bentuk akses keadilan. Sampai saat ini, Arab Saudi masih merupakan negara tujuan yang paling banyak diterima laporannya oleh Solidaritas Perempuan mengenai kasus kekerasan dan pelanggaran hak Perempuan Buruh Migran (PBM) yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT), yaitu sebesar 45% dari 13 negara tujuan lainnya dengan jenis kasus yang paling banyak terjadi adalah trafiking dan gaji tidak dibayar.

Hilangnya nyawa perempuan buruh migran juga dapat terjadi karena adanya tindak kekerasan yang dialami selama proses migrasi. Kasus kematian yang menimpa Adelina Sau dan Milka Boimau di Malaysia yang saat ini sedang dalam tahap penyelidikan dan persidangan juga menimpa Nani Suryani Bt. Mangsur asal Karawang yang meninggal tahun 2011 karena kekerasan yang dilakukan oleh majikan di Arab Saudi. Informasi terakhir tentang posisi kasus yang diperoleh Solidaritas Perempuan dari Kementerian Luar Negeri bahwa pengadilan meringankan hukuman pelaku karena terbukti memiliki riwayat gangguan kejiwaan.

Gambaran kasus-kasus kematian buruh migran diatas sesungguhnya adalah dampak dari kompleksitas persoalan migrasi yang tidak pernah terurai sejak bertahun-tahun lamanya. Faktor kemiskinan yang meluas menjadi problematika masyarakat di pedesaan hingga tidak memiliki alternatif dalam mengakes sumber-sumber penghasilan di desanya. Rendahnya kemampuan masyarakat untuk mengakses pendidikan hingga tingkat lanjut juga menjadi salah satu faktor yang mendorong masyarakat di pedesaan memilih mencari pekerjaan ke luar negeri dengan berbagai cara. Faktor di atas kemudian diperparah dengan adanya kebijakan atau peraturan yang tidak berorientasi pada jaminan perlindungan buruh migran serta lemahnya penegakan hukum terhadap para pelaku tindak kejahatan kepada buruh migran. Kebijakan buruh migran hingga saat ini masih berwajah komoditisasi dan memprioritaskan kepentingan bisnis diatas perlindungan. Kerentanan demi kerentanan yang berujung pada pelanggaran hak-hak asasi buruh migran di luar negeri selalu terjadi setiap tahunnya dan tidak pernah luput dari pemberitaan media-media nasional. Kerentanan ini memiliki dampak yang lebih parah pada buruh migran yang berstatus tidak berdokumen. Namun ironisnya, pemerintah seakan bisu dan tidak memiliki strategi jitu dalam menyikapi dan menekan pemerintah Negara tujuan untuk bertanggungjawab terhadap berbagai pelanggaran hak yang terjadi kepada buruh migran Indonesia.

Selain itu, Solidaritas Perempuan juga menilai bahwa kasus-kasus hilangnya nyawa buruh migran di luar negeri terjadi karena lemahnya pengawasan pemerintah, baik Negara asal maupun Negara tujuan, terhadap situasi kerja buruh migran terutama perempuan yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT). Hampir 90% PRT migran berada pada situasi kerja yang berisiko antara lain tidak memiliki akses informasi, terbatasnya komunikasi dengan dunia luar, beban kerja berlebih, jam kerja panjang, tempat tinggal yang tidak layak, sulitnya akses terhadap perlindungan hukum, dan jaminan kesehatan yang tidak memadai. Perempuan yang tumbuh dalam budaya patriarki, dididik untuk patuh dan berada pada posisi sub-ordinasi sehingga tidak memiliki kemampuan untuk bernegosiasi dan cenderung pasif dalam menghadapi masalah. Budaya ini yang kemudian menyebabkan perempuan semakin tidak berdaya dalam relasi kerja yang penuh kekerasan.

Dalam Hukum Internasional, terdapat suatu kewajiban bagi suatu negara untuk melindungi warga negara lain yang berada diwilayahnya. Salah satu bentuk perlindungan tersebut dapat berupa notifikasi resmi kepada perwakilan diplomatik di negara tersebut. Notifikasi tersebut ditujukan agar perwakilan diplomatik mengetahui bahwa warga negaranya mendapat masalah, seperti warga negara yang melakukan tindak pidana, mengalami kecelakaan, membutuhkan perwalian, mengalami kematian, dan lain sebagainya. Notifikasi yang diberikan harus disampaikan tanpa penundaan waktu. Kewajiban tentang notifikasi resmi tertulis dalam pasal 36-37 Konvensi Wina 1963, yang telah diratifikasi baik oleh Indonesia maupun oleh Arab Saudi. Untuk itu, pemerintah Indonesia perlu memperkuat sistem perlindungan yang lebih baik bagi warga negaranya yang bermasalah dengan hukum di luar negeri.

Atas terjadinya berbagai kasus-kasus kematian yang dialami perempuan buruh migran, Solidaritas Perempuan menyatakan sikap dan desakan sebagai berikut:

  1. Solidaritas Perempuan sangat berduka sekaligus mengecam keras atas eksekusi mati yang dilakukan oleh Pemerintah Arab Saudi tanpa ada pemberitahuan atau notifikasi resmi kepada Pemerintah Indonesia;
  2. Eksekusi yang dilakukan oleh Arab Saudi merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang paling mendasar, yaitu hak untuk hidup (right to life). Hak fundamental (non-derogable rights) yang merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila seseorang menjadi narapidana;
  3. Hukuman mati bukan hanya menghilangkan hak hidup orang yang akan dieksekusi tetapi juga memiliki turunan pelanggaran HAM serius lainnya, diantaranya pelanggaran dalam bentuk tindak penyiksaan psikologis yang amat sangat terhadap yang akan dieksekusi dan keluarganya, kejam dan tidak manusiawi. Hal ini karena rentang antara vonis hukuman mati dengan eksekusinya berlangsung cukup lama sehingga dampak psikologis telah dirasakan jauh sebelum eksekusi dilakukan. Sehingga langkah pemulihan harus dipikirkan negara, baik pemulihan psikologis, ekonomi, maupun sosial;
  4. Mendorong Pemerintah Indonesia untuk memperkuat upaya-upaya diplomatik seperti melalui Mandatory Consular Notification khususnya dengan Arab Saudi  yang mewajibkan negara tersebut untuk mengirimkan notifikasi konsuler resmi jika ada WNI yang bermasalah di Negara mereka;
  5. Menekan  pemerintah Arab Saudi untuk segera membatalkan eksekusi hukuman mati terhadap 20 (duapuluh) buruh migran Indonesia maupun kebijakannya dengan menggunakan forum-forum internasional seperti PBB, OKI, maupun G20;
  6. Memaksimalkan langkah-langkah bantuan hukum bagi buruh migran di luar negeri yang menghadapi masalah hokum dengan Negara-negara tujuan termasuk memastikan proses fair trial berjalan sesuai dengan standar pemenuhan hak asasi dan norma-norma hukum internasional;
  7. Memperkuat posisi tawar Indonesia dengan negara-negara tujuan untuk menghadirkan perlindungan bagi buruh migran Indonesia terutama perempuan;
  8. Mendesak Indonesia untuk mengkaji kembali dan melakukan moratorium terhadap pelaksanaan hukuman mati di Indonesia sebagai komitmen terhadap penghormatan hak hidup manusia.

Jakarta,  25 Maret 2018

Puspa Dewy
Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan
 

Narahubung:
Andriyeni  (andriyeni@solidaritasperempuan.org)

Translate »