Liputan: Sekolah kepemimpinan Feminis:
Oleh: Ega Melindo
Jakarta 19/09, Solidaritas Perempuan (SP) melanjutkan rangkaian Sekolah Kepemimpinan Feminis (SKF)_tahap kedua dengan materi Perlindungan Perempuan Buruh Migran. Pembahasan materi ini berlangsung selama sepekan, 4 September hingga 9 September 2017, dan difasilitasi oleh Risma Umar, Nisaa Yura dan Risca Dwi dengan didampingi oleh co-fasilitator Andriyeni dari Divisi Perlindungan Perempuan Buruh Migran dan Keluarganya.
Fasilitator membuka materi dengan menggali pemahaman mengenai siapa Perempuan Buruh Migran, mengapa perempuan terpaksa memilih menjadi buruh migran, dan bagaimana kondisi saat ini. Peserta kemudian diajak melihat bagaimana arus migrasi perempuan merupakan sebuah ‘produk’ yang dihasilkan dari agenda globalisasi yang disampaikan oleh narasumber Sri Palupi, seorang peneliti dari The Institute for Ecosoc Rights. Narasumber menyatakan bahwa kehidupan kita hari ini sudah sepenuh-penuhnya dikuasai oleh korporasi, melalui penyajian grafik data prosentasi penguasaan korporasi di sebagian besar sector pelayanan publik. Demi memenuhi ambisi korporasi untuk menguasai pasar, tenaga kerja perempuan digunakan sebagai roda penggerak untuk mencapai tujuan tersebut dan Negara melalui skema liberalisasi ekonomi menjadi fasilitator dari kepentingan korporasi-korporasi besar di dunia.
Di Sekolah Kepemimpinan Feminis, para peserta juga mempelajari mengenai kerangka Hak Asasi Manusia di dalam kerangka hukum Internasional yang terkait Perempuan Buruh Migran dan Keluarganya, seperti Konvensi Migran 1990, Konvensi ILO dan CEDAW. Pengetahuan ini menjadi penting untuk peserta mengidentifikasi dan memahami hak-hak asasi yang terkait buruh migran di dalam konvensi-konvensi tersebut, sebagai dasar dalam melakukan advokasi. Melalui sesi ini, peserta juga memahami kewajiban Negara yang diatur dalam konvensi untuk memastikan pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan hak bagi buruh migran sekaligus berbagai mekanisme yang dapat ditempuh dalam rangka monitoring pelaksanaan kewajiban Negara.
SKF juga menghadirkan narasumber Thaufiek Zulbahary, anggota SP sekaligus peneliti dari Nexus Institute yang memaparkan mengenai sistem migrasi yang rentan dengan praktik perdagangan orang (trafficking) serta kerentanan yang tinggi terhadap HIV/AIDS. Analisis interseksionalitas juga digunaka untuk melihat persoalan perempuan buruh migran secara lebih berlapis dan mendalam, termasuk kerentanannya akibat sistem negara.
“Sistem pengelolaan migrasi hingga saat ini masih bergantung pada swasta sehingga perlindungan perempuan buruh migran sulit untuk tercapai kecuali hendaklah sistem migrasi dan perlindungan buruh migan sepenuhnya kembali dikelola negara” demikian pernyataan Ramlah, peserta dari komunitas SP Anging Mammiri, Makasar yang selama ini bekerja bersama perempuan buruh migran.
Pernyataan ini kemudian dipertajam dengan membangun peta mengenai titik-titik dan bentuk-bentuk kerentanan perempuan buruh migran berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki peserta. Melalui bermain peran, peserta juga belajar dan berefleksi lebih dalam untuk memahami proses migrasi yang harus dilalui serta kerentanan yang dapat dialami perempuan buruh migran selama proses migrasi tersebut.
Pada sesi terakhir, peserta menggali strategi perlawanan feminis apa yang dapat dilakukan demi tewujudnya perlindungan perempuan buruh migran dan anggota keluarganya mulai dari kampung, di Negara tujuan, hingga kembali ke kampung, serta mendorong kesadaran kritis bersama sehingga menjadi penggerak perubahan dalam sistem perlindungan perempuan buruh migran dan keluarganya .Atul dari SP Sumbawa dalam pernyataanya menyampaikan “harapannya agar keadilan dan pemenuhan hak perempuan buruh migran dan keluarganya dapat terpenuhi”