Oleh: Andi Cipta Asmawaty [1] Wednesday, 10 August 2011 10:41
I wish that every human life might be pure transparent freedom. (Simone de Beauvoir [2])
Beauvoir, seorang feminis eksistensialis yang sangat mengkritisi seksualitas perempuan dalam relasi kuasa, pun dalam perkawinan, juga mengharapkan adanya kebeberasan yang transparan dan murni dalam setiap kehidupan manusia. Kata-katanya menelisik tajam membuat perempuan yang lama bungkam dalam ketertindasan seksualitas sebagai akar masalah penderitaan perempuan, menjadi salah kunci penting dalam melihat draft pertama kebijakan komunikasi publik Asian Development Bank.
Saya membaca dan mengurai first draft comment PCP-ADB[3] dengan hati saya yang kebat-kebit meneropong kondisi perempuan yang akan terus terpenjara seksualitasnya. Hanya karena senggenggam peraturan ini. Secara umum, peraturan ini menggunakan pendekatan sameness (kesamaan) antara laki-laki dan perempuan. Asumsi kesamaan ini menunjukkan laki-laki dan perempuan memiliki kendaraan yang sama, posisi yang sama, ruang yang sama terbukanya, kapasitas yang mirip kualitasnya, atau singkatnya, keadilan gender yang sudah jumpalitan dicita-citakan feminis, sudah turun dari langit “dari sananya”.
Oke, mari kita simak definisi masyarakat terkena dampak. Dalam paragrafnya, ADB tidak mampu berefleksi bahwa masyarakat tipikal seluruh etnis di Indonesia, relatif masih menjunjung tinggi mitos laki-laki sebagai manusia berkekuatan lebih. Karena kekuatan lebih inilah, laki-laki secara langsung mendapat kehormatan. Bahkan sejak lahir! Laki-laki harus ada dalam garis keturunan. Perempuan lelah mengandung dan melahirkan tidak menjadi persoalan, yang penting penis menjadi elemen penting dari bayi. Anak perempuan menjadi cilaka. Kehadirannya berarti ancaman atas kebangkrutan, krisis moralitas, krisis generasi, dan bahkan bagi klen tertentu, kehilangan status sosial atau kelas di masyarakat. Tidak mengherankan, pada akhirnya, perempuan dalam setiap siklus kehidupan menjadi alat. Tubuhnya seperti koin. Bisa diputar-balik sesuka hati. Kadang ditutupi sejadinya karena mengancam nama baik keluarga. Kadang dibuka sepenuh hati sebab tubuhnya berarti keindahan terlarang. Tanpa bertanya pada si pemilik tubuh. Tanpa konfirmasi atas kesediaan. Pelaku pemutarbalik ini kemudian menggunakan otoritas seksual yang disahkan oleh masyarakat untuk memperlakukan tubuh perempuan sebagai objek. Dan AHA! Karena koin berfungsi sebagai alat tukar, maka tubuh perempuan pun dapat diperdagangkan atas nama kelembagaan.
Mulut perempuan dianggap dosa sehingga apapun yang keluar dari mulutnya adalah omongan tak berdasar, yang tidak perlu didengarkan. Karena perempuan dikonstruksikan makhluk berperasaan, miskin rasionalitas, yang menjadi alasan perempuan disibukkan di ranah domestik. Pengetahuan perempuan dibungkam. Perempuan tidak diprioritaskan untuk disekolahkan. Karena tidak melalui proses formalisasi pengetahuan atas kekuasaan, perempuan dipinggirkan dalam ruang publik. Apalagi dalam ruang politik bercitarasa laki-laki. Wajar saja, ketertindasan berlapis yang dirasakannya setiap detik, menjadikan rasa sungkan, malu yang luar biasa, dan kegugupan ketika berekspresi di ruang publik. Karena sering ditempatkan di ranah domestik dan tidak memperoleh sumber pengetahuan secara langsung, perempuan dianggap sebagai makhluk tukang gosip. Pengetahuan tanpa klarifikasi inilah strategi alternatif perempuan karena akses informasi menjadi tidak transparan, tidak berkeadilan, dan tidak terbuka bagi perempuan. Lahan akses dimiliki oleh laki-laki. Maka, pertanyaan ini berlanjut pada ADB. Konstruksi seperti inikah yang ingin terus dilanggengkan oleh ADB?
Silahkan buka paragraf 7. The Policy also recognizes the right of people to seek and receive information about ADB operations. Tubuh perempuan sebagai bagian dari otonomi perempuan seringkali menjadi penghalang perempuan untuk memperoleh akses informasi, mengartikulasikan pengalamannya atau hak memperoleh pengetahuan. Hal ini didasarkan pada konotasi negatif terhadap perempuan berpengetahuan dalam masyarakat yang partriarkat dan menghargai-menjunjung seksualitas perempuan masih dianggap sebagai bentuk penyimpangan sosial.
Kemudian, apabila ADB menyokong terminologi pembangunan yang partisipatif dalam ranah praktik, ADB seharusnya memikirkan bahwa pembangunan yang partisipatif adalah pembangunan yang memfasilitasi bentuk penghargaan terhadap gender dan seksualitas perempuan dan bahwa sebagian masyarakat yang terkena dampak adalah perempuan.
Dapat dilihat dari paragraf 10, konsekuensi negative tanpa menyebutkan masyarakat yang terkena dampak (tanpa mentekstualkan perempuan) sebagai khalayak sasaran, berbuntut pada penyempitan akses informasi yang seharusnya diterima oleh perempuan. Minimnya tingkat pendidikan dan masih tingginya (64 persen) angka buta huruf perempuan[4], menjadi faktor penghambat perempuan untuk mampu mengakses dan mengelola informasi.
Hal yang perlu dipikirkan selanjutnya adalah manajemen dan staf senior yang terlibat aktif dengan khalayak eksternal adalah orang-orang yang dapat menghormati hak ekspresi baik perempuan dan laki-laki dalam setiap presentasi, pertemuan, dan diskusi-konsultasi pembangunan. Tubuh perempuan yang sejak lahir sebagai sumber aib yang diupayakan dibungkam terhadap ranah publik seharusnya dibuka aksesnya. Tubuh perempuan tidak dibiasakan berbaur dengan pengalamannya sebab secara sengaja, ekspresi perempuan tidak disahihkan dalam ruang publik. Akibatnya, perempuan yang bicara seringkali dianggap sebagai suara pelengkap atau sumbang meskipun dampak yang paling dirasakan adalah pihak-pihak yang berhadapan dalam masalah di ranah privat dan mikro. Kekurangan perempuan dalam ekspresi ditambah ketidakrespekan laki-laki publik terhadap perempuan diakibatkan oleh keterkejutannya menghadapi ruang publik
Dalam hal kepemimpinan dan motivasi, ADB perlu memikirkan kecakapan dan kapabilitas perspektif seksualitas terhadap manajemen dan staf senior ketika menghadapi khalayak eksternal. Jika pemimpin opini merupakan bagian dari sasaran khalayak eksternal ADB yang perlu dipertimbangkan adalah keseriusan ADB untuk juga mengecek atau memonitoring bagaimana negara donor, media, atau persepsi pemimpin opini sudah jelas dalam soal perspektif seksualitas perempuan[5]. Banyak kasus ditemui bagaimana negara donor, media, atau persepsi pemimpin opini justru menjadi moral enterpreuner dalam sebuah proyek-proyek politik pemerintah yang mendiskriminasi perempuan. Kita dapat menemukan contoh kasus ini di Madrasah Education Development Project (MEDP) ketika ternyata para pemimpin opini, media, dan negara donor menjadi moral entrepreneur dalam membentuk kurikulum madrasah yang justru melabelkan tubuh perempuan dalam bahasa pendidikan. Bahkan, ADB tidak mampu mempengaruhi membagi perspektifnya terhadap kalangan yang menyebut dirinya sebagai moral enterpreuneur.
Jika dalam banyak projek ADB terbukti pelabelan negatif terhadap seksualitas dan tubuh perempuan masih terjadi, maka, ADB terbukti tidak berhasil melakukan strategi kegiatan pembangunannya. Padahal seharusnya, pemahaman dan kesadaran bagi negara donor, pemimpin opini, dan masyarakat umum merupakan bagian dari tanggung jawab ADB juga mengeliminasi bentuk-bentuk kekerasan seksualitas terhadap perempuan. Perempuan sebagai bagian dari kelompok yang terpinggirkan, sudah seharusnya dihargai hak seksualnya dalam soal ekspresi, akses informasi, dan lain-lain. Saluran komunikasi seharusnya membuka akses terhadap perempuan. Persoalan seksualitas yang seringkali menghalangi perempuan untuk memperoleh akses seharusnya dipertimbangkan.
Agen penyebar dan promosi produk pengetahuan ADB dengan menggunakan berbagi saluran informasi dan komunikasi, termasuk media massa, media online, situs web, publikasi, multimedia, acara khusus dan ceramah oleh manajemen serta program penjangkauan merupakan hal penting bagi perempuan karena seringkali negara melakukan sensor dan manipulasi informasi terhadap perempuan, hanya karena tubuhnya dan seksualitas perempuan. Logika phallus di kepala pemerintah bahwa perempuan tidak berhak memperoleh informasi dan tidak cakap di ruang publik merupakan tindak diskriminasi terhadap perempuan.
Strategi penyampaian pesan sesuai dengan kondisi kultural yang khusus di tingkat nasional juga perlu memikirkan hirarki seksualitas[6] dan dimensi-dimensi tindak diskriminasi seksualitas itu terjadi. Menurut Vance, keluarga, kekerabatan dan organisasi ekonomi, nilai-nilai kebudayaan, intervensi politik, dan budaya resistensi merupakan dimensi yang dapat dilihat. Konteks budaya yang perlu disesuaikan adalah nilai anti patriarkat yang mampu menempatkan seksualitas perempuan setara dengan seksualitas laki-laki. ADB dalam pengaruhnya ke khayalak eksternal seharusnya mempertimbangkan hal ini ketika menggunakan strategi yang merasuk ke nilai-nilai budaya konteks lokal.
Referensi Seksualitas Perempuan, silahkan baca lebih lanjut:
Vance, Carole. ed., 1984. Pleasure and Danger. Routledge.
Rubin, Gayle. “Thinking Sex: Notes for a Radical Theory of the Politics of Sexuality, in Carole Vance, ed., Pleasure and Danger, (Routledge & Kegan, Paul, 1984. Also reprinted in many other collections, including Abelove, H.; Barale, M. A.; Halperin, D. M.(eds), The Lesbian and Gay Studies Reader(New York: Routledge, 1994).
de Beauvoir, Simone. 1973. The Second Sex. UK: Vintage Books.
[1] Tulisan ini pernah disajikan sebagai poin-poin analisa kebijakan komunikasi publik (PCP) ADB. [2]http://www.brainyquote.com/quotes/authors/s/simone_de_beauvoir.html#ixzz1M0x9l2pc [3] Silahkan dibuka di link ini: www.adb.org/documents/Translations/…/pcp-consultation-draft-km.pdf [4] Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Departemen Pendidikan Nasional, Hamid Muhammad menyatakan jumlah perempuan Indonesia yang sudah melek huruf masih rendah, hal itu terbukti dari masih tinggi jumlah perempuan yang buta aksara di kalangan perempuan, yakni 64 persen (http://www.pendidikan-diy.go.id/?view=baca_berita&id_sub=1678) [5] Pengalaman Solidaritas Perempuan dalam uji materi UU Pornografi mendapatkan berbagai pendapat pemerintah yang menstigmatisasi seksualitas perempuan, dapat dilihat Pendapat ahli dari pemerintah, Prof. Tjipta Lesmana pada tanggal 27 Agustus 2009 yakni: “Pornografi itu apa? Pornografi itu gambar buah dadanya kelihatan, ya. Ya, sedikit celana dalam begitu, ya. Paha, porno.” [6] standar legitimasi seksual, membentuk prinsip-prinsip yang mana anggota sebuah kebudayaan menggunakannya untuk merangking dan memvariasikan (Rubin)