Mengenal Lebih Dekat Dede Elah: Sang Pemberani Dari Selatan

Foto 1: Teh Dedeh sedang berorasi tentang pentingnya ratifikasi konvensi PBB tahun 1990 tentang Buruh Migran saat beraksi di hari buruh internasional, 2 Mei2009 (Dokumentasi Solidaritas Perempuan tahun 2009)

Teh Dedeh sedang berorasi tentang pentingnya ratifikasi konvensi PBB tahun 1990 tentang Buruh Migran saat beraksi di hari buruh internasional, 2 Mei2009 (Dokumentasi Solidaritas Perempuan tahun 2009)

Akrab dipanggil Teh[1] Dedeh, lahir di Bandung sekitar 36 tahun yang lalu. Anak ke 2 dari 4 bersaudara. Usia 6 tahun, Ayah kandungnya meninggal dunia sehingga sejak saat itu Teh Dedeh harus ikut menanggung kewajiban mencukupi kebutuhan adik-adiknya yang masih sekolah. Teh Dedeh sendiri tidak sempat menjalani masa-masa sekolah. Kemampuan baca tulisnya didapat dari kemauan kerasnya untuk belajar sendiri sambil bekerja.

Saat usia 11 tahun, ia bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga di Jakarta dengan upah sebesar Rp. 15 ribu per bulan. Pekerjaan ini terpaksa ia lakoni semata-mata untuk memenuhi kebutuhan biaya sekolah adik-adiknya. Kemudian ia memutuskan menikah pada usia 19 tahun dengan harapan bahwa setelah menikah akan meringankan beban hidupnya, walaupun pada akhirnya kenyataan yang dijalaninya tidak sesuai dengan harapannya dulu. Sekarang ini ia tinggal di Cianjur bersama suami yang dinikahinya sejak 17 tahun lalu dan kedua anak laki-lakinya.

Tahun 1997, Teh Dedeh memilih pergi ke Arab Saudi untuk mencari penghasilan yang lebih baik yang dapat memenuhi mimpinya membangun rumah dan menyekolahkan anak-anaknya. Selama 3 tahun bekerja, Teh Dedeh mengalami kekerasan fisik dan verbal dari majikan dan keluarganya. Majikan sering mencaci-maki dan anak majikan bahkan pernah pula menamparnya. Namun semua itu terpaksa diterima sebab keinginannya yang kuat dan tekadnya yang bulat untuk pulang membawa uang. Gajinya selama 6 bulan dipotong karena Teh Dedeh harus membayar utang kepada sponsor dan perusahaan yang memberangkatkannya.

Kiprahnya dalam membela dan memperjuangkan hak-hak buruh migran dimulai ketika ia mengikuti acara diskusi publik tentang pemahaman hak-hak buruh migran yang diselenggarakan oleh Solidaritas Perempuan dan Solidaritas Buruh Migran Cianjur (SBMC) pada awal 2005. Sejak itu, dirinya pun terdorong untuk bergabung dengan SBMC agar dapat ikut menangani kasus-kasus buruh migran yang terjadi di desanya. Lalu di tahun yang sama, Teh Dedeh mendapat kesempatan magang secara sukarela di kantor SP Jakarta selama 6 bulan dan melibatkan diri sebagai staf penanganan kasus. Bersama SP, Teh Dedeh banyak turun langsung membantu BMP menuntut hak-haknya. Teh Dedeh mendampingi BMP melaporkan kasus kekerasan dan pelanggaran hak kepada instansi yang terkait seperti ke PPTKIS[2], Depnaker[3], Deplu[4], KBRI/KJRI[5], dan BNP2TKI[6], serta tidak jarang melakukan komunikasi langsung ke majikan BMP bersangkutan. Melalui ruang yang difasilitasi SP, Teh Dedeh mampu menggunakan komputer, paham internet, dan juga mengetahui cara memasukkan kasus sebagai data penanganan.

Dari pengalaman penanganan itulah, Teh Dedeh kemudian memahami bahwa ternyata kekerasan yang dialami oleh BMP sifatnya berlapis mulai dari lingkungan sosial terkecil yaitu keluarga, masyarakat, pemerintah daerah/pusat/negara asal hingga ke pemerintah negara penempatan. Kekerasan berlapis itu distrukturasi oleh sistem yang mendiskriminasi perempuan dan tidak akan terselesaikan jika kesadaran berjuang tidak dibangun dari BMP yang mengalami kekerasan itu sendiri.

Proses yang ia lalui bersama SP akhirnya meneguhkan niatnya untuk meneruskan perjuangannya bersama BMP melalui organisasi yang sampai saat ini ia pimpin, SBMC. Meskipun sudah menduduki posisi sebagai ketua, namun ia tetap harus meluangkan waktunya membantu BMP/keluarganya di desa sekitarnya yang memiliki masalah. Seringkali ia merasa tidak mudah meneruskan perjuangannya dan letih melakukan tugasnya seorang diri karena tantangan dan hambatan yang dihadapinya dirasa terlalu berat. Selain soal keterbatasan sumber daya manusia, organisasinya juga masih berkutat dalam masalah ketersediaan pendanaan.

Namun, komitmen awalnya untuk menjadi bagian dari perjuangan mewujudkan sistem perlindungan yang adil dan menyeluruh bagi BMP membuat ia kembali yakin menekuni kepeduliannya tanpa pamrih. Ia pun berhasil meyakinkan suaminya untuk turut mendukung kegiatan yang hingga sekarang ia lakukan di dalam organisasinya. Jika sedang tidak ada kegiatan penanganan kasus ke Jakarta, Teh Dedeh bersamanya suaminya bekerja sebagai buruh tani di sawah milik orang lain. “Kalo gak gitu, Teteh mau kasih makan anak darimana?” begitu katanya.

Salah satu pemimpin perempuan adalah kesanggupan. Kesanggupan ini lahir dari pengalaman Teh Dedeh yang sejak kecil telah mempelajari apa arti tanggung jawab. Tanggung jawabnya sebagai pencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan adik-adiknya menjadikan Teh Dedeh telah matang dan mengenal dunia sebelum waktunya dengan menjadi pekerja rumah tangga dan menikah di usia muda adalah realitas pahit sebagai konsekuensi pilihan yang diambil untuk tidak pernah menjadi beban bagi keluarganya. Kesanggupan ini juga yang membulatkan tekadnya untuk membaca tulis meskipun tidak mencicipi sekolah formal.

Kesanggupan dan keberanian merupakan dua mata koin yang tidak dapat dipisahkan. Pilihan Teh Dedeh sebagai buruh migran perempuan dengan harapan dapat memenuhi impian keluarganya selalu menjadi tekadnya meski lagi-lagi ia harus mengalami kekerasan dari majikan. Pengalamannya sebagai korban kekerasan kemudian menjadi cikal bakal tekadnya untuk merubah situasi perempuan yang mengalami hal yang sama. Ia semakin berani dan lantang bersuara tentang penindasan yang dialami oleh Buruh Migran Perempuan yang lain.

Ciri yang lain dari pemimpin adalah tidak lelah belajar. Seorang pemimpin selalu tertantang untuk mempelajari hal baru meskipun itu dalam keadaan terdesak. Segala fasilitas yang dimilikinya digunakan untuk memaksimalkan potensi diri dengan peningkatan kapasitas. Kini, Teh Dedeh memahami teknologi dan mengetahui cara menangani kasus termasuk memasukkan data tersebut dalam sistem komputerisasi. Pengetahuannya ini kemudian ia kelola sebagai praktik karena tidak pernah lekang dari pengalamannya sebagai mantan buruh migran yang mengalami kekerasan. Ia pernah mengalami dan ia tidak ingin perempuan lain turut mengalami hal yang sama. Struktur kekerasan berlapis yang diketahuinya kemudian menjadi pisau analisanya yang kemudian selalu hidup dalam praktik karena selalu dilatih melalui pengalamannya menangani kasus meskipun ia telah usai magang. Ia kemudian bergabung bersama SBMC merupakan pilihan sadar bahwa pengetahuannya harus berguna bagi perempuan secara umum dan buruh migran perempuan lainnya.

Kesadaran individu ini kemudian menjalar sebagai kesadaran kolektif menjadi cikal bakal perubahan yang lebih besar, dikarenakan figur Teh Dedeh yang dikenal sebagai perempuan dengan empati yang tinggi. Ia bahkan pernah menghidupi dan merawat mantan buruh migran perempuan yang depresi karena mengalami pemerkosaan oleh majikannya dan kehamilan akibatnya tidak diterima oleh siapapun termasuk keluarganya di Indonesia. Teh Dedeh setia menemani perempuan ini hingga melahirkan. Figur ini yang kemudian menjadi teladan bagi perempuan lain. Empati dan solidaritas merupakan karakter pemimpin perempuan yang menjadi dasar persuasi perempuan-perempuan lain untuk bergerak sesuai dengan visi yang kemudian diamini secara kolektif.

Pemimpin perempuan adalah perempuan yang mampu bernegosiasi dengan relasi kuasa meskipun terdapat di dalam ranah rumah tangga. Teh Dedeh memperlihatkan bahwa keinginannya yang kuat mampu dipahami oleh keluarga dengan konsekuensi-konsekuensi tertentu dari pilihan negosiasi dengan suaminya, seperti tetap membantu mencari nafkah bagi keluarganya sebagai petani.

Peran Teh Dedeh dalam ranah kolektivitas adalah memfasilitasi strategi aksi yang dilakukan oleh perempuan. Strategi coping[7] yang dilakukan oleh buruh migrant perempuan di desa Girijaya kabupaten Cianjur terlihat saat mereka menolak pungutan liar yang dibebankan kepada mereka oleh aparat pemerintahan desa saat mereka ingin membuat identitas diri (kartu tanda penduduk), kartu peserta asuransi ‘Jaminan Kesehatan Untuk Rakyat Miskin’ (Jamkeskin) untuk berobat secara gratis di Puskesmas/ Rumah Sakit Pemerintah. Coping strategy dilakukan oleh perempuan akar rumput yang merasa hak-nya diinjak- injak. Mereka kemudian secara bersama menggunakan strategi untuk menolak pungutan liar yang pernah dilakukan oleh Dede Elah, bergabung dalam suatu gerakan kolektifitas, melakukan demonstrasi dan aksi massa di depan kantor pemerintahan desa dan melakukan penyampaian aspirasi — penekanan kepentingan mereka agar pungutan liar segera dihilangkan.

[1] Dari kata Teteh dalam bahasa Sunda berarti Kakak Perempuan
[2] perusahaan pengerah tenaga kerja Indonesia swasta
[3] Departemen Tenaga Kerja (kala itu belum disebut sebagai Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi)
[4] Departemen Luar Negeri
[5] Kedutaan Besar Republik Indonesia/ Konsulat Jenderal Republik Indonesia
[6] Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
[7] Menurut MacArthur & MacArthur (1999) mendefinisikan strategi coping sebagai upaya-upaya khusus, baik secara perilaku maupun psikologis, yang digunakan orang untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalkan dampak kejadian yang menimbulkan stres.

Translate »