Menggugat Diskriminasi Negara terhadap Perempuan Buruh Migran

Siaran Pers Solidaritas Perempuan
Hari Buruh Migran Internasional 2020
untuk disiarkan segera

Jakarta, 18 Desember 2020. Hari Buruh Migran Sedunia, temuan Solidaritas Perempuan sepanjang tahun 2020, menunjukkan  meningkatnya kasus unprosedural pasca pemberlakukan Kepmenaker No. 260 Tahun 2015[1] yang sekaligus meningkatkan kerentanan terhadap terjadinya perdagangan orang. Solidaritas Perempuan mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi dan mencabut Kepmenaker 260/2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Pada Pengguna Perseorangan Di Negara-Negara Kawasan Timur Tengah yang mendiskriminasi perempuan buruh migran (PBM). Evaluasi yang dilakukan menjadi penting untuk merumuskan kebijakan yang tepat dengan menjamin Hak-hak Perempuan Buruh Migran sebagaimana yang diatur di dalam Konvensi Migran 90,[2] UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, dan Rekomendasi Umum CEDAW No. 26.[3]

Solidaritas sepanjang tahun 2020 menangani 63 kasus kekerasan, pelanggaran hak, eksploitasi hingga trafficking yang dialami oleh Perempuan Buruh Migran. Dari 63 kasus tersebut, sebesar 14 kasus (14%) diantaranya merupakan kasus pemberangkatan pasca Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 260 Tahun 2015, yang seluruh korbannya merupakan perempuan. Salah satunya MT, seorang perempuan buruh migran yang diberangkatkan secara unprosedural dan menjadi korban trafficking. MT ditawari oleh YL untuk bekerja sebagai pelayan restoran di Turki. Tapi, YL memberangkatkan MT ke Libya pada akhir tahun 2018, dengan rute Jakarta-Batam-Malaysia-Turki-Libya untuk dipekerjakan sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT). Padahal Libya merupakan salah satu dari 19 Negara yang telah dilarang oleh Indonesia untuk PRT berdasarkan Kepmenaker No. 260 Tahun 2015. MT berhasil pulang dan meneruskan perjuangannya untuk mendapatkan keadilan, hingga hakim memutus bersalah dan menjatuhkan pidana penjara terhadap YL. Kepada Solidaritas Perempuan, MT menyampaikan harapannya agar pemerintah melakukan perbaikan untuk perlindungan buruh migran, termasuk dengan mencabut Kepmenaker 260/2015. “Buat apa dilarang larang kalau kami tetap diberangkatkan dan menjadi korban perdagangan orang, cabut Kepmen 260,” ungkapnya.

Salah satu modus trafficking yang digunakan adalah iming-iming atau menjanjikan sesuatu pada calon buruh migran. Iming-iming tersebut tidak jarang disertai dengan informasi palsu yang menyesatkan calon buruh migran. Pada 50% kasus pemberangkatan pasca Kepmenaker No. 260 tahun 2015 yang ditangani SP, calo meyakinkan korban bahwa penempatan ke Timur Tengah merupakan legal, tanpa adanya informasi apapun mengenai aturan dalam Kepmenaker No. 260 Tahun 2015. Selain itu sebesar 19% calo memberikan uang fee kepada PBM sebagai iming-iming, yang biasanya diberikan kepada keluarga, digunakan untuk membayar hutang maupun keperluan lain. Negara-negara Timur Tengah kerap dipilih sebagai negara tujuan bekerja karena anggapan kedekatan budaya dan agama. Selain itu, banyak masyarakat, bahkan pemerintah desa yang tidak mengetahui perihal Kepmenaker No. 260 Tahun 2015, sehingga penempatan PBM ke Timur Tengah terus terjadi dengan modus seperti menggunakan visa kunjungan dan visa umroh.

Pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa Kepmenaker No. 260 Tahun 2015 dengan alasan kompleksnya permasalahan yang menimpa PBM-PRT khususnya di kawasan Timur Tengah. Terlebih kebijakan ini muncul di tengah situasi pemiskinan struktural, di mana masifnya investasi telah mengakibatkan alih fungsi dan perampasan lahan yang merupakan sumber-sumber kehidupan masyarakat, sehingga menyebabkan perempuan mencari alternatif sumber kehidupan, salah satunya dengan menjadi buruh migran.

Hal ini menunjukkan kebijakan tersebut diambil dengan paradigma berpikir yang tidak menyentuh pada akar persoalan. Kerangka berpikir pemerintah mewajarkan perilaku sewenang-wenang terhadap pekerja rumah tangga sehingga yang diatur bukanlah sistem pelindungan agar proses migrasi berjalan dengan aman dan adil, melainkan menghentikan penempatan buruh migran. Dalam mengelurakan kebijakan ini pemerintah tidak memperhatikan dan mempertimbangkan pengalaman buruh migran sebagai dasar acuan penyusunannya. Alih-alih menyelesaikan masalah, Solidaritas Perempuan justru menemukan bahwa kebijakan ini telah menambah kompleksitas persoalan perempuan buruh migran, termasuk di dalamnya peningkatan kasus unprosedural dan kerentanan terjadinya perdagangan orang.

Kepmenaker 260/2015 juga merupakan kebiajakan patriarkis yang mendiskriminasi perempuan dan bertentangan dengan Konvensi Migran 90,[4] maupun Rekomendasi Umum CEDAW No. 26. Kebijakan ini hanya berlaku bagi Pekerja Migran dengan Pengguna Perseorangan yang mayoritas merupakan perempuan pekerja rumah tangga migran, dan berakibat pembatasan terhadap perempuan untuk dapat bekerja, mengakses sumber-sumber ekonomi, serta meningkatkan kesejahteraannya. Melalui kebijakan ini, Pemerintah telah mengabaikan pengalaman perempuan yang telah terhimpit, baik dari segi ekonomi maupun sistem sosial yang membatasi ruang gerak dan masih menempatkan perempuan di sektor domestik.

Pada Hari Buruh Migran Internasional 2020 ini, Solidaritas Perempuan mendesak negara untuk memprioritaskan perlindungan dan menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap Perempuan Buruh Migran. Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Dinda Nuur Annisa Yura menegaskan, “sudah saatnya negara mengubah paradigma dengan tidak lagi melihat Perempuan Buruh Migran sebagai komoditas. Kebijakan, maupun langkah penanganan buruh migran harus berorientasi pada Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan. Karenanya, sudah seharusnya pemerintah mencabut larangan penempatan pekerja rumah tangga migran dengan mencabut Kepmenaker 260/2015. Hal ini mutlak dilakukan dalam rangka mengimplementasikan Konvensi Migran 90 yang dan Rekomendasi Umum CEDAW No. 26 tentang Hak-Hak Perempuan Buruh Migran.” Selain itu, Pemerintah harus mengadopsi dan menerapkan langkah-langkah alternatif yang non-diskriminatif untuk secara efektif melindungi hak-hak buruh migran pekerja rumah tangga. Termasuk meningkatkan pelatihan pra-keberangkatan dengan cara yang sensitif gender dan memberikan informasi tentang hak-hak buruh migran sendiri seperti rekruitmen yang adil, standar kerja yang layak dan perlindungan sosial.[5]

 

Jakarta, 18 Desember 2020

 

Dinda Nuur Annisaa Yura
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan

 

Narahubung: Dian Prawitasari (+62 878-1708-3572)
[1] Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara-negara Kawasan Timur Tengah
[2] Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya diratifikasi melalui UU No. 6 Tahun 2012
[3] Rekomendasi Umum No 26 Konvensi Penghilangan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1984
[4] Pasal 8 Konvensi Migran 90 menyatakan bahwa Buruh migran dan anggota keluarganya bebas meninggalkan Negara manapun, termasuk Negara asalnya.
[5] Lihat Concluding observations on the initial reports of Indonesia, MCW/C/IDN/CO/11

Translate »