Menggugat Reforma Agraria Palsu Jokowi, Menuntut Reforma Agraria Adil Gender

Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan
Hari Tani Nasional 2016
Untuk disiarkan segera
 
Komitmen Jokowi untuk melaksanakan agenda Reforma Agraria, belum nyata dijalankan setelah hampir 2 tahun pemerintahannya. Agenda pemerintah yang mengatasnamakan reforma agraria nyatanya terjebak dalam program legalisasi asset dan redistribusi tanah yang tidak berorientasi pada kesejahteraan masyarakat dan mengatasi ketimpangan penguasaan lahan, tetapi justru ditujukan untuk mendukung liberalisasi dan penguasaan sumber-sumber agraria oleh perusahaan yang diperkuat oleh paket kebijakan ekonomi Jokowi. Melalui program tersebut, pemerintah tetap meneruskan skema yang diintervensi oleh Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia antara lain melalui kebijakan-kebijakan yang diperuntukan untuk melegitimasi perampasan tanah rakyat, laki-laki dan perempuan, salah satuya UU No.2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Terlebih lagi, agenda reforma agraria pemerintahan Jokowi tidak menempatkan perempuan sebagai satu entitas pemangku kepentingan dalam pembahasan reforma agraria ataupun sebagai subyek reforma agraria. Ini terlihat jelas dari berbagai kebijakan maupun dokumen perencanaan reforma agraria yang belum memasukkan keadilan gender sebagai salah satu prinsip dalam pelaksanaan reforma agraria. Hal ini menjadikan Reforma agraria yang dijalan pemerintah Indonesia sangat jauh dari semangat UU No.5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria, yang juga berlandaskan pada keadilan gender.

Tidak hanya menghadapi ketimpangan antara negara dan perusahaan dengan masyarakat, perempuan juga menghadapi ketimpangan gender dalam pemilikan dan penguasaan tanah akibat sistem hukum, adat dan budaya yang berlaku di Indonesia. Sistem patriarki masih menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga, dan dikuatkan oleh UU Perkawinan[1], akibatnya entitas perempuan tidak dilihat sebagai satu individu yang memiliki hak atas kepemilikan dan penguasaan tanah. Pada tingkat keluarga, kepemilikan dan penguasaan tanah masih didominasi oleh laki-laki.[2] Situasi ini berimplikasi pada tidak dilihat dan diakuinya perempuan sebagai pemangku kepentingan dalam ruang-ruang pengambilan keputusan. Sehingga, perempuan tidak dilibatkan dalam memutuskan kepemilikan, penggunaan, peruntukan atau pemanfaatan tanah, terutama ketika proyek investasi, seperti perkebunan skala besar, kehutanan, pertambangan, maupun pembangunan infrastruktur masuk ke wilayah hidup mereka.

Diskriminasi dalam akses kepemilikan dan penguasaan lahan tidak hanya terjadi pada keluarga dan strukktur sosial, tetapi juga dilakukan oleh Negara. Perempuan, termasuk perempuan kepala keluarga, masih kesulitan mendapatkan haknya atas tanah, karena tidak diakui sebagai subyek maupun penerima manfaat program. Selain itu peran produktif perempuan belum diakui dan masih dilekatkan pada laki-laki di sekitarnya. Sensus Pertanian 2013 menyebutkan perbandingan jumlah perempuan petani dan laki-laki petani, adalah 23,16% banding 76,84% dari total 31,70 juta petani di Indonesia, sedangkan dari jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTP) yang berjumlah 26,14 juta, 23,14 juta RTP memiliki petani utama laki-laki dan 3,00 juta RTP memiliki petani utama perempuan. Padahal faktanya, perempuan memiliki peran signifikan dalam pengelolaan sumber-sumber agraria, antara lain dalam pengelolaan lahan pertanian.

Dalam konteks, konflik agrarian, perempuan juga mengalami dampak berlapis. Hilangnya sumber-sumber kehidupan berdampak pada meningkatnya beban perempuan dalam memastikan tersedianya pangan keluarga dan komunitasnya. Perempuan harus mengeluarkan pengeluaran lebih ketika tidak lagi bisa menanam atau mengambil sayur-sayuran untuk dimasak. Perempuan terpaksa berutang atau bekerja serabutan dengan berdagang ataupun menjadi buruh murah (buruh cuci, buruh tani, ataupun buruh harian lepas dari perusahaan) di dalam maupun di luar negeri, bahkan beberapa terpaksa menjadi pekerja seks, demi memenuhi ekonomi keluarga. Peran tersebut tetap tidak mengurangi peran dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga serta mengurus anak, terutama ketika suaminya terpaksa keluar kampung untuk mencari nafkah. Kriminalisasi, intimidasi dan kekerasan di dalam konflik agrarian juga menimbulkan dampak dan trauma tersendiri bagi perempuan. Perempuan menghadapi intimidasi dan mengalami ketakutan untuk beraktivitas di luar rumah, karena khawatir akan ditangkap atau mengalami kekerasan. Ditambah lagi mereka harus memulihkan trauma yang dialami anak-anak mereka akibat teror/intimidasi dan kekerasan yang terjadi sebagai akibat dari konflik agraria.

Reforma agraria sejatinya berorientasi pada pemenuhan hak-hak dan keadilan bagi semua masyarakat, perempuan dan laki-laki. Sehingga reforma agraria yang berkeadilan gender merupakan prasyarat untuk mewujudkan Reforma Agraria itu sendiri. Karena itu, reforma agraria yang dilakukan harus menempatkan perempuan sebagai pemangku kepentingan, sebagai subyek dari reforma agraria termasuk sebagai penerima tanah obyek reforma agraria, serta menjadi subyek pemangku kepentingan dalam penyelesaian konflik agraria. Perempuan petani, perempuan nelayan, perempuan adat, perempuan buruh, perempuan miskin kota dan perempuan miskin desa harus diakui sebagai subyek pemangku kepentingan yang diakui peran dan posisinya serta diakomodir kepentingannya. Selain itu, dalam upaya penyelesaian konflik agraria, perempuan juga harus dilibatkan dan dipenuhi kepentingannya termasuk dalam hal mendapatkan pemulihan dan rasa amannya kembali.

Berdasarkan berbagai situasi tersebut, Solidaritas Perempuan menegaskan sikapnya pada Hari Tani Nasional 2016 ini dan menuntut Pemerintah Jokowi untuk:

  1. Melaksanakan Reforma Agraria Sejati yang Adil Gender dengan menempatkan perempuan sebagai pemangku kepentingan
  2. Menyelesaikan konflik agraria secara inklusif, sensitif dan responsif gender
  3. Menghentikan segala bentuk kriminalisasi, kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap rakyat yang memperjuangkan hak-haknya, baik perempuan maupun laki-laki.

Jakarta, 25 September 2016

Puspa Dewy
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan

Narahubung:
Aliza: 081294189573

 


[1] Undang-undang No. 1 Tahun 1974
[2] Catatan Solidaritas Perempuan di Poso, memperlihatkan bahwa 90% kepemilikan tanah atas nama laki-laki, hanya 10% atas nama perempuan, itu pun didapatkan dari warisan keluarga.
Translate »