Dinda Nuurannisaa Yura
Berita ini dimuat di Vivanews.com rubrik nasional Kamis 4 Agustus 2011. Sampai saat analisis ini ditulis, baru satu orang yang memberikan komentar terhadap berita tersebut. Berita ini memuat pernyataan Jumhur Hidayat selaku kepala Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), terkait moratorium yang diberlakukan ke Arab Saudi, Kuwait, dan Jordania sejak 1 Agustus 2011.
Jumhur menyatakan moratorium berpotensi menambah kemiskinan. Analisisnya didasarkan pada hitung-hitungan ekonomi terkait pendapatan yang selama dihasilkan oleh Buruh Migran. Jumhur menyebutkan, umumnya pendapatan satu orang TKI dapat menafkahi lima orang, yakni dirinya sendiri dan rata-rata empat angota keluarganya. Sebelum moratorium TKI ke Arab Saudi, penempatan TKI ke negeri itu mencapai 20 ribu orang per bulan. Saat ini, terdapat sekitar 6 juta TKI di Saudi.
Meski demikian, Jumhur menyatakan moratorium tetap dilakukan dengan alasan perbaikan pelayanan buruh migran di masa datang, serta harga diri bangsa. Sangat disayangkan karena keinginan atau persiapan untuk sistem perlindungan buruh migran yang lebih baik tidak menjadi dasar dari diberlakukannya moratorium.
Artikel dilanjutkan dengan upaya-upaya pemerintah dalam mengatasi kemiskinan tersebut. Jumhur menyatakan, untuk mengatasi penambahan jumlah penduduk miskin akibat moratorium TKI, pemerintah melaksanakan program pemberdayaan ekonomi rakyat seperti program nasional pemberdayaan mandiri, kredit usaha rakyat, atau menggalakkan tanggung jawab sosial perusahaaan.
Sangat disayangkan bahwa solusi yang disebutkan oleh Jumhur merupakan solusi yang sifatnya parsial. Padahal permasalahan buruh migran tidak bisa dilihat secara parsial. Solusi yang seharusnya ditawarkan adalah memberikan sistem perlindungan yang menyeluruh di segala tahapan migrasi.
Selain itu, pendapat Jumhur jelas memperlihatkan cara pandang Negara terhadap buruh migran dengan menempatkan Buruh Migran sebagai komoditas. Analisis yang dilakukan Jumhur, adalah analisis dari aspek ekonomi. Apalagi, di bagian selanjutnya, Jumhur menyatakan peluang kerja di luar negeri masih terbuka luas. Ia mencontohkan negara-negara anggota Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang yang masih membutuhkan tenaga kerja asing.
Sehingga, yang dilakukan BNP2TKI mencari peluang kerja dan melakukan promosi gencar-gencaran untuk melakukan penempatan Buruh Migran Indonesia ke luar negeri. Jelas bahwa titik berat upaya yang dilakukan BNP2TKI lebih kepada penempatan yang melihat Buruh Migran sebagai Komoditas, bukan memikirkan perlindungan yang menjadi hak asasi bagi Buruh Migran Indonesia sebagai manusia dan warga Negara.
Hal ini menunjukan, pemerintah hanya melihat bagaimana caranya menempatkan sebanyak-banyak buruh migran ke luar negeri, dan mendapatkan keuntungan ekonomi dari proses migrasi.
Bagian akhir berita memuat pernyataan Jumhur yang membandingkan Buruh Migran asal Indonesia dan Buruh Migran asal Filipina. Sayangnya, Jumhur hanya membandingkan jumlah Buruh Migran Filipina, yang totalnya mencapai 10% dari keseluruhan penduduk Filipina, sementara Buruh Migran Indonesia jumlahnya mencapai 2% dari total penduduk Indonesia.
Padahal apabila mau dibandingkan dengan Filipina, seharusnya pemerintah belajar dari bagaimana sistem perlindungan Buruh Migran Filipina, termasuk dalam sistem perekrutan, penempatan, dan kepulangan Buruh Migran. Terlebih, Filipina sudah meratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Seluruh Buruh Migran dan keluarganya. Sekali lagi pandangan Jumhur jelas menunjukan betapa pemerintah melihat Buruh Migran sebagai komoditas.
Sumber berita:
http://nasional.vivanews.com/