Jakarta, 24 Juni 2021. Solidaritas Perempuan (SP) dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menilai, dalam proses peradilan pidana, perempuan yang menjadi korban perdagangan orang tidak mendapatkan keadilan yang utuh.
Salah satunya kasus yang ditangani bersama SP dan SBMI dan dialami perempuan buruh migran asal Sukabumi, Jawa Barat bernama Martini. Awalnya, Martini melamar pekerjaan sebagai pelayan restoran di Turki demi mencukupi kebutuhan keluarganya. Namun, agen menjerumuskan dan menipu Martini dengan menempatkannya di Libya sebagai Pekerja Rumah Tangga. Selama sekitar dua bulan bekerja, Martini tidak mendapatkan upah. Bahkan, permintaannya untuk pulang justru disambut dengan pukulan.
Setelah melalui perjuangan panjang, Martini telah berhasil lepas dari jerat rantai perdagangan orang. Kasus ini telah diputus Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 19 Desember 2019. Pelaku sudah menjalani hukuman penjara, tetapi tidak memenuhi kewajibannya membayar restitusi sebagai sebuah hak dan perlindungan hukum bagi korban.
Berbagai upaya telah dilakukan SBMI dan SP bersama korban, termasuk melakukan audiensi dengan Pengadilan Negeri (PN) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Timur, Rabu (23/6/2021). Dalam audiensi tersebut, pihak PN dan Kejari berdalih telah melaksanakan tahapan-tahapan proses hukum sebagaimana diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan TPPO.
PN dan Kejari juga menjelaskan bahwa kasus ini dianggap sudah selesai karena kewajiban pelaku membayar restitusi kepada korban telah diganti dengan hukuman kurungan sebagaimana ketentuan Pasal 50 ayat (4) UU PTPPO. Hal ini menyebabkan upaya advokasi mendukung Martini sebagai korban TPPO untuk memperoleh keadilan utuh menemui jalan buntu. Padahal, hak restitusi yang tidak dipenuhi hingga saat ini adalah jalan untuk Martini bertahan hidup.
Ketua Umum SBMI, Hariyanto mengatakan “Lahirnya UU Nomor 21 tahun 2007 menjadi salah satu harapan memberantas perdagangan orang sekaligus memberikan keadilan kepada korban. Namun pada praktiknya, banyak korban berdasarkan analisa dan pendalaman yang dilakukan SBMI merupakan korban perdagangan orang tetapi tidak mudah mendapatkan Laporan Polisi (LP) dari pihak kepolisian. Begitu juga korban yang sudah mendapatkan LP, juga tidak mudah melanjutkan proses hukum hingga persidangan di pengadilan. Ketika berhasil ke persidangan di pengadilan, proses hukum yang berjalan pun tidak berhasil memenuhi rasa keadilan bagi korban terkait pemenuhan hak restitusi-nya. SBMI telah berhasil memenangkan sembilan kasus perdagangan orang yang telah diputus pengadilan, tetapi tidak ada satu pun korban yang mendapatkan restitusi sebagaimana telah dituangkan dalam amar putusan”
“Sebagai contoh, kasus yang dialami buruh migran Martini yang sampai hari ini tidak mendapatkan hak restitusi. Ternyata, implementasi UU nomor 21 tahun 2007 belum bisa memenuhi rasa kedilan bagi korban perdagangan orang. Salah satunya sebabnya adalah aparat penegak hukum yang kurang maksimal melaksanakan kewenangan dalam hal penelusuran dan penyitaan aset pelaku sebagai jaminan untuk membayar restitusi kepada korban sebagaimana ketentuan Pasal 31 dan Pasal 51 UU PTPPO. Hal ini yang menyebabkan keadilan bagi korban tidak bisa terpenuhi secara utuh. Sebenarnya, yang diinginkan korban tidak hanya pelaku mendapat hukuman pidana penjara, namun akan mendapat keadilan utuh apabila berhasil mendapatkan ganti rugi karena hak-haknya telah dirampas oleh pelaku,” pungkas Hariyanto.
Berdasarkan catatan SP dan SBMI, banyaknya kasus perdagangan orang, khususnya yang dialami perempuan buruh migran erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah soal penghentian dan pelarangan penempatan tenaga kerja Indonesia pada pengguna perseorangan di negara-negara Timur Tengah melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmenaker) Nomor 260 Tahun 2015. Setidaknya 1003 perempuan buruh migran telah menjadi korban perdagangan orang karena kebijakan ini.
Koordinator Program Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Arieska Kurniawaty mengatakan, kebijakan yang melarang pekerja domestik di 19 negara di Timur Tengah ini, mengingkari Konvensi Migran 1990 dan rekomendasi umum CEDAW Nomor 26. “Kepmenaker 260 dibuat tanpa memperhitungkan pengalaman dan situasi perempuan dalam penyusunannya termasuk minimnya lapangan kerja di dalam negeri karena perampasan ruang hidup. Alhasil, kebijakan ini tidak menyentuh akar permasalahan dan justru menambah kerentanan perempuan buruh migran terhadap trafficking, maupun kekerasan lainnya,” kata Arieska Kurniawaty.
Salah satu upaya yang dilakukan SP dan SBMI adalah menggalang petisi melalui situs change.org yang mendapat dukungan lebih dari 800 orang. Untuk itu, hari ini, Kamis (24/6/2021) SP dan SBMI mendatangi Kejaksaan Negeri Jakarta Timur dalam rangka menyerahkan petisi dukungan agar Martini mendapatkan hak restitusi. Petisi ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih mengharapkan keadilan bagi Martini. Petisi ini juga merupakan pembelajaran akan pentingnya proses peradilan pidana yang secara substantif memberikan keadilan utuh bagi korban.
***
Narahubung:
SBMI : 081357606899,
SP : 085263165019