Siaran Pers Solidaritas Perempuan
Untuk Disiarkan Segera
“Jangan biarkan waga negara kita mati sia-sia, kasihan dengan keluarga mereka yang mengira mereka bekerja dengan baik dan mendapat gaji. Itu cuma mimpi orang tua dan keluarga mereka. Mana tau kalian di sana disiksa, dipukul, tidak dikasih makan, hanya dicaci maki.”
(RR, Perempuan mantan Buruh Migran di Malaysia)
18 Desember merupakan hari Buruh Migran Internasional sekaligus lahirnya Konvensi PBB tentang hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Keluarganya, di tahun 1990. Hari Buruh Migran Internasional seharusnya menjadi pengingat untuk segera memberikan perlindungan hak-hak Buruh Migran sebagaimana amanat Konvensi yang telah diratifikasi Indonesia sejak tahun 2012 tersebut.
Ratifikasi Konvensi Migran 90 nyatanya tidak dijadikan landasan negara dalam membangun kebijakan perlindungan buruh migran. Sistem migrasi Indonesia di bawah UU No.39 Tahun 2004 telah menempatkan buruh migran perempuan sebagai komoditas, sehingga rentan terhadap kekerasan, eksploitasi dan pelanggaran hak. Lemahnya political will negara dalam perlindungan buruh migran terlihat dengan lambatnya pembahasan revisi UU No. 39/2004. Proses pembahasan tidak hanya terkesan lamban, tetapi juga tidak secara substantif membahas mengenai perombakan sistem dan paradigma yang menyeluruh untuk menghasilkan perlindungan komprehensif bagi perempuan buruh migran dan keluarganya berdasarkan Konvensi Migran 90 dan CEDAW.
“Lebih dari 12 tahun, negara gagal dan membirkan perempuan buruh migran mengalami kekerasan dan pelanggaran hak akibat lambannya pembahasan Revisi Udang-undang Buruh Migran,” ungkap Koordinator Program Solidaritas Perempuan Nisaa Yura. Solidaritas Perempuan mencatat bahwa perempuan buruh migran dan kekerasan kerap mengalami kekerasan dan ketidakadilan berlapis. Sejak Februari 2012 hingga Februari 2015, SP menangani 106 Kasus kekerasan dan pelanggaran hak perempuan buruh migran, di mana mayoritas Perempuan Buruh Migran mengalami berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran hak, seperti eksploitasi jam kerja, pemotongan/tidak dibayar gaji, dipindah-pindah majikan, kekerasan fisik, psikis, dan seksual, kriminalisasi, hingga trafficking dan penghilangan nyawa.[1]
“Berbagai kasus terus terjadi dan dialami Perempuan Buruh Migran, dan sayangnya pemerintah tidak mampu membangun mekanisme yang sistematis, termasuk posisi tawar di dalam perlindungan hak Perempuan Buruh Migran,” pungkas Nisaa.
Kebijakan Diskriminatif
Lambannya pembahasan revisi UU No.39 Tahun 2004 juga mengakibatkan langkah-langkah yang dilakukan pemerintah tidak strategis dan menjawab akar persoalan. Roadmap Zero Domestic Worker 2017 yang diikuti dengan KEPMEN No. 260/2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Pada Pengguna Perseorangan Di Negara-negara Kawasan Timur Tengah (Moratorium) bukan hanya tidak menjawab akar persoalan, justru mendiskriminasi perempuan dan semakin melemahkan posisi perempuan.
“Kebijakan ini jelas melanggar Konvensi Migran 90 dan CEDAW yang menjamin hak mobilitas setiap orang termasuk untuk bekerja di luar negeri,” ujar Nisaa. Dalam situasi pemiskinan dan perampasan sumber-sumber kehidupan masyarakat, kebijakan yang melarang dan membatasi perempuan untuk bekerja justru semakin memperkuat ketidakadilan dan penindasan yang berujung pada pemiskinan perempuan.
Hasil pendataan dan identifikasi kasus baik yang dilakukan SP memperlihatkan indikasi praktik-praktik trafficking melalui perekrutan unprosedural, yang mencakup iming-iming, penipuan, pemalsuan identitas, penyekapan di penampungan atau tempat kerja, pemotongan gaji, hingga eksploitasi perempuan buruh migran. “2 tahun pemerintahan Jokowi masih menunjukkan Negara telah menjadi pelaku kekerasan dan pelanggaran hak Perempuan Buruh Migran,” tegas Nisaa.
Negara tidak hanya abai melalui pembahasan revisi UU No.39 Tahun 2004 yang lamban, tetapi juga melakukan kekerasan secara aktif melalui kebijakan yang mendiskriminasi dan memiskinkan perempuan buruh migran. “Pada momen Hari Buruh Migran Internasional ini, Solidaritas Perempuan kembali mengingatkan negara untuk mewujudkan perlindungan bagi perempuan buruh migran melalui Undang-undang yang berlandaskan Konvensi Migran dan CEDAW,” lanjut Nisaa.
Jakarta, 18 Desember 2016
Solidaritas Perempuan
CP: Risca Dwi: 0812-1943-6262
[1] Solidaritas Perempuan, Menggugat Tanggung Jawab Negara dalam Perlindungan Buruh Migran Perempuan dan Keluarganya, 2015. Dokumen dapat diunduh melalui tautan http://www.solidaritasperempuan.org/sub/wp-content/uploads/2013/04/Catahu-Migrasi-Trafficking-Solidaritas-Perempuan-2014.pdf