Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan“Negara Tutup Teliga akan Penolakan Perempuan atas Pengesahan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan”
Pada hari Jum’at, 16 Desember 2011, Sidang Paripurna DPR-RI telah mengesahkan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan (RUU-PTuP) menjadi Undang-undang.RUU ini telah mendapatkan banyak kritik dan penolakan dari masyarakat sipil karena substansi RUU ini dinilai sarat dengan kepentingan asing dan lebih berpihak pada kepentingan investasi skala besar, dengan mengesampingkan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia yang rentan terhadap konflik agraria.
Berbagai penolakan dari masyarakat dan kelompok masyarakat sipil telah dilakukan melalui pengiriman surat protes, surat keprihatinan perempuan,audiensi dengan anggota Pansus, aksi penolakan besar-besaran, hingga penyerahan petisi penolakan yang ditandatangani hampir 500 organisasi dan individu dari tingkat lokal, nasional, hingga internasional, yang dikoordinir melalui Koalisi Rakyat anti Perampasan Tanah (KARAM Tanah). Namun Negara tetap tutup telinga dari kepentingan rakyat yang disampaikan melalui penolakan tersebut, dan justru memperlihatkan keberpihakan Negara pada investor dan pihak swasta.
Solidaritas Perempuan, sebagai bagian dari masyarakat sipil yang memperjuangkan hak-hak perempuan atas tanah sebagai sumber kehidupannya, menyatakan KEKECEWAAN yang sebesar-besarnya atas pengesahan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan ini menjadi UU. Kami memandang bahwa keberadaan Undang-undang ini akan semakin meningkatkan situasi ketidakadilan dan pemiskinan perempuan, serta memperbesar potensi pelanggaran HAM dan Hak asasi perempuan. Pengesahan RUU ini menunjukkan bahwa Negara telah melakukan PENGABAIAN terhadap hak dan kepentingan masyarakat Indonesia atas tanah dan sumber kehidupannya, dengan mengesampingkan:
1. Situasi dan kondisi masyarakat Indonesia yang mayoritasnya masih rentan terhadap perampasan dan pengambilalihan tanah, karena tidak memiliki dokumen hukum yang lengkap, termasuk atas tanah yang dimiliki secara turun temurun. Terlebih lagi terhadap situasi perempuan, yang di dalam konstruksi hukum dan masyarakat yang berlaku, selalu ditempatkan sebagai warga kelas dua akibat peran gendernya dan memiliki keterbatasan akses dan kontrol atas tanah dan sumber kehidupannya.
2. Berbagai permasalahan yang masih tersisa dan belum terselesaikan akibat konflik agraria dan perampasan tanah yang selama ini terus dialami oleh masyarakat Indonesia. Setiap tahunnya, ratusan konflik lahan dan penggusuran terjadi di Indonesia, menempatkan rakyat menjadi korban pelanggaran hak, intimidasi, kekerasan, penangkapan, kriminalisasi, hingga pembunuhan. Seperti kasus konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang menewaskan 30 orang di kabupaten Mesuji, Lampung yang baru-baru ini terjadi. Hal ini hanya berujung pada penindasan dan pemiskinan rakyat Indonesia, khususnya bagi perempuan yang lebih rentan terhadap segala bentuk kekerasan, pelanggaran hak dan mengalami multibeban demi menanggung perekonomian keluarga. Seperti yang dialami oleh perempuan dalam kasus konflik di Alas Tlogo yang memakan korban perempuan. Kasus Kekerasan dan Kriminalisasi Mama Aleta Baun dalam konflik lahan antara aparat kehutanan dengan masyarakat adat di Timor Tengah Selatan, NTT. Sampai kekerasan seksual yang dialami oleh petani perempuan Forum Tani Sejahtera di Pematang Siantar, Sumut.
3. Kepentingan dan kebutuhan masyarakat Indonesia, dengan lebih mengutamakan kepentingan investasi asing dan swasta.Kebijakan ini hanya sebagai legalitas pemerintah untuk terus melakukan perampasan lahan perempuan atas nama pembangunan. Berulang kali dinyatakan oleh pemerintah bahwa RUU ini adalah prasyarat pendukung bagi pelaksanaan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025, yang sarat dengan kepentingan investasi asing. Keterlibatan Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam penyusunan RUU ini melalui pemberian bantuan teknis, dimana jelas ADB memang secara konsisten mendorong pemerintah melakukan berbagai reformasi kebijakan untuk menguatkan peran swasta melalui skema Public Private Partnership (PPP) dan kebijakan liberalisasi, yang berdampak pada peminggiran peran masyarakat dalam pembangunan. Hal ini semakin menguatkan kenyataan bahwa kebijakan ini hanya untuk mempermudah masuknya investor asing.
4. Tuntutan masyarakat dari berbagai lapisan, yang melakukan penolakan terhadap pengesahan UU ini. Hal ini, berbanding terbalik dengan yang disampaikan oleh Bappenas bahwa banyak pihak yang menantikan pengesahan UU ini.
Solidaritas Perempuan menilai, disahkanya UU Pengadaan Tanah akan menambah daftar panjang ketidakadilan yang dialami perempuan. Pengesahan terhadap RUU ini akan semakin menunjukkan kegagalan Negara untuk mengakui, melindungi dan memenuhi hak-hak ekonomi. sosial, politik dan budaya perempuan, yang dapat memarjinalkan perempuandalam kepemilikan akses dan kontrol terhadap sumber-sumber produksi dan semakin memperpanjang mata rantai pemiskinan perempuan. Oleh karena itu, Solidaritas Perempuan mendesak:
1. Pemerintah dan DPR RI untuk mencabut UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan karena bertentangan dengan semangat konstitusi Republik Indonesia.
2. Pemerintah dan DPR RI untuk mendorong lahirnya kebijakan yang menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak perempuan, serta menyediakan akses dan kontrol perempuan atas tanah, melalui reforma agraria yang berkeadilan gender.
3. Pemerintah menghentikan dan menolak segala bentuk intervensi atau keterlibatan ADB dan lembaga keuangan internasional lainnya, di dalam penyusunan kebijakan agraria dan pembangunan di Indonesia.
Jakarta, 16 Desember 2011
Risma Umar
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan (SP)