Jakarta, 12 Desember 2017. Solidaritas Perempuan mendesak Pemerintah untuk tidak mengadopsi Deklarasi Bersama tentang Perdagangan dan Pemberdayaan Ekonomi Perempuan. Meskipun deklarasi ini mengafirmasi gender sebagai komponen yang esensial dalam pertumbuhan ekonomi yang inklusif, namun sesungguhnya tidak menyelesaikan permasalahan yang muncul dan dialami oleh perempuan akibat kebijakan perdagangan WTO itu sendiri. Deklarasi ini dibuat untuk menjadi kerangka bagi negara-negara anggota WTO dan rencananya akan diadopsi dalam Konferensi Tinggi Menteri WTO ke-11 di Buenos Aires pada Desember 2017 ini.
Pada faktanya, upaya pengakuan terhadap isu gender dan situasi spesifik perempuan dalam deklarasi ini bukanlah solusi terhadap menguatnya kekerasan terhadap perempuan dan berbagai dampak buruk yang telah ditimbulkan oleh WTO selama ini. Berbagai sistem dalam perjanjian perdagangan dan kebijakan WTO itu sendiri justru merupakan persoalan mendasar, antara lain:
Pertama, pemaksaan penghilangan pembatasan impor telah memudahkan produk impor dengan harga yang lebih murah masuk ke pasar domestik. Sementara penghilangan subsidi bagi petani dan nelayan mengakibatkan biaya produksi yang tinggi sehingga sulit bersaing dengan produk impor dan penyerapan produk petani dan nelayan tradisional semakin berkurang. Perempuan merupakan produsen pangan yang paling banyak terlibat dalam sistem produksi pangan tradisional dan subsisten. Sehingga dampak dari aturan WTO tersebut lebih banyak dirasakan oleh perempuan sebagai produsen pangan. Dampak lebih berat lainnya adalah yang terkait dengan aturan mengenai perlindungan terhadap hak paten di dalam Perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) telah menghilangkan kedaulatan perempuan atas benih lokal mereka. Selain itu mekanisme ini juga mengancam terjadinya kriminalisasi terhadap perempuan pemulia benih.
Kedua, aturan pengurangan tarif telah mereduksi pendapatan pemerintah yang sangat esensial untuk pelbagai layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, energi, air, transportasi dan perlindungan sosial. Pemerintah kemudian menggantikan hilangnya pendapatan tersebut melalui pajak-pajak regresif, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang memiliki efek diskriminatif terhadap perempuan. Selain itu, hal tersebut juga mendorong pemerintah untuk mengalihkan tanggungjawabnya kepada pihak swasta dengan skema privatisasi. Dampak buruk privatisasi telah secara nyata terlihat, salah satunya privatisasi air di Jakarta yang secara tegas dinyatakan oleh Mahkamah Agung sebagai pelanggaran terhadap hak atas air.
Ketiga, bentuk dari deklarasi bersama ini tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum bagi negara-negara anggota. Tidak ada sanksi yang akan diberikan apabila tidak menerapkan deklarasi. Hal ini sangat berbeda dengan aturan-aturan di dalam WTO yang apabila dilanggar akan menimbulkan konsekuensi hukum. Salah satu contohnya adalah digugatnya Pemerintah Indonesia atas kebijakan pembatasan impor oleh Selandia Baru dan Amerika Serikat. Dengan dikalahkanya Pemerintah Indonesia di dalam Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body) WTO, Pemerintah Indonesia harus menaati putusan tersebut dan melakukan perubahan terhadap kebijakan impor. Hal ini tentunya akan sangat berdampak terhadap produsen pangan skala kecil terutama perempuan.
Jika pemerintah bersungguh-sungguh ingin melindungi hak perempuan, maka seharusnya yang dilakukan adalah mengevaluasi keterlibatan Indonesia dalam WTO dengan melihat dampak-dampak buruk tersebut. Selain itu, pemerintah perlu menahan diri untuk ikut serta dalam perjanjian perdagangan baik bilateral maupun multilateral yang akan membatasi kapasitas pemerintah untuk membuat kebijakan nasional yang mempertimbangkan dan melindungi kepentingan masyarakat, terutama perempuan.
Narahubung : arieska@solidaritasperempuan.org