Pandangan dan Rekomendasi Terhadap Dokumen Forest Investment Plan (FIP) Versi 26 September 2012

Pandangan dan Rekomendasi
Terhadap Dokumen Forest Investment Plan (FIP) Versi 26 September 2012
Solidaritas Perempuan, AKSI – action for gender, social dan ecological Justice, dan ‘Ulu Foundation 10 Oktober 2012

Tanggapan ini merupakan tanggapan kritis terhadap substansi maupun proses yang dilakukan oleh tim FIP untuk merumuskan dokumen. Kami melihat bahwa dokumen yang dipublikasikan pada 26 September 2012 tidak mengakomodir dan mencerminkan pandangan yang telah disampaikan masyarakat sipil  baik secara tertulis ataupun melalui presentasi dalam pertemuan 14 September 2012 bersama DKN. Tanggapan ini terdiri dari dua bagian, yaitu komentar yang bersifat umum dan komentar khusus.
1. Komentar Umum

  • Dokumen FIP 26 September 2012 pada prinsipnya tidak memberikan gambaran mengenai arah dan bentuk penyelesaian konflik tenurial dan ketidakadilan gender yang selama ini terjadi di berbagai kawasan hutan. Penanganan masalah konflik seperti ini justru diarahkan pada penyelesaian ekonomi atas kemanfaatan hutan, sebagaimana halnya kalangan industri menyederhanakan fungsi hutan dari sudut pandang ekonomi. Tidak ada pertimbangan bahwa hutan bagi masyarakat adat atau masyarakat di kawasan hutan memliki fungsi yang tidak hanya bersifat ekonomi tetapi juga fungsi kultural, sosiologis, bahkan fungsi magis, disamping fungsi ekologis. Jika konsep ini dipertahankan, maka lambat tapi pasti ekspansi bisnis sektor industri kehutanan didalam proyek REDD+ menyingkirkan masyarakat dari kawasan hutan melalui mekanisme yang bersifat ekonomi. Sama halnya dengan aspek keadilan gender, masih dipandang sebagai pelibatan perempuan saja dan belum mempertimbangkan berbagai bentuk atau lapisan ketidakadilan gender dalam pengelolaan kehutanan selama ini. Jika demikian, maka proyek investasi ini hanya akan berujung pada pengerahan jumlah perempuan yang terlibat didalam pertemuan atau proyek dan bukan menjawab ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan maupun laki-laki dalam pengelolaan hutan.
  • Proses Penyusunan dokumen FIP tidak menerapkan prinsip meaningful consultation dan tidak inklusif. Proses penyusunan FIP ini didanai oleh ADB. Oeh karena itu, ada kewajiban bahwa Aturan Pelindung (Safeguards) ADB harus ditaati, termasuk syahrat bahwa semua kegiatan yang dilakukan ADB harus taat pada Safeguards ADB, termasuk syarat untuk “meaningful consulation”. [1] Proses konsultasi publik yang dilakukan tim FIP secara online, jelas makin meminggirkan masyarakat Indonesia yang tidak memiliki atau terbatas aksesnya terhadap internet, khususnya masyarakat terkena dampak (mayarakat lokal, mesyarakat adat, khususnya perempuan terkena dampak). Hal ini mempertegas bahwa FIP sama sekali tidak melihat masyarakat terkena dampak, laki-laki dan perempuan, atau berpotensi terkena dampak sebagai pemangku kepentingan utama.
  • Pertemuan-pertemuan yang dilakukan dalam membahas dokumen FIP, tidak dapat dikatakan sebagai proses konsultasi, karena tidak sesuai dengan prinsip meaningful consultation, baik aspek keterwakilan pemangku kepentingan maupun proses (Hal.112-115).
  • Dokument versi 26 September sulit untuk dikomentari secara “meaningful” dalam waktu se-singkat ini (dari 26 September s/d 10 Oktober). Tim FIP gagal memberi kepada publik versi “TrackChanges” sebagai upaya untuk mempermudah masyarakat umum untuk melihat secara cepat dan tepat perubahan dokumen FIP versi 2 Maret dan 10 Oktober. Kami melihat, jika hal ini tidak dilakukan, maka “meaningful consultation” sulit terjadi.
  • Perempuan tidak dilihat sebagai pemangku kepentingan utama, karena perempuan tidak ditempatkan dalam setiap posisi pemangku kepentingan pada penyusunan FIP (hal 114,20)
  • Walaupun FIP banyak menyebut-nyebut masyarakat yang potensial terkena dampak, namun dalam proses pembahasan FIP, tidak menggunakan pendekatan yang secara jelas dan terencana meyakinkan bahwa kelompok masyarakat yang terkena dampak proyek dalam sektor hutan bisa dengan gampang memberi masukkan. Proses pembahasan misalnya (halaman 112-115), hanya di wilayah-wilayah yang tidak merepresentasikan masyarakat potensial yang terkena proyek, yaitu Semarang dan Jakarta, terkecuali Jambi dan Pontianak. Pesertanya pun lebih banyak kalangan masyarakat sipil, akademisi, pemerintah, swasta. Hal ini tentu saja bertentangan dengan Safeguard ADB selaku pemberi dana untuk technical Assistance pelaksanaan konsultasi public yang “berarti” (meaningful consultation).
  • Substansi maupun proses pembahasan dokumen FIP makin memberikan kesan FIP merupakan upaya yang menempatkan masyarakat adat atau masyarakat di kawasan hutan, termasuk perempuan, hanya sebagai obyek. Masyarakat hanya menjadi pihak yang ditingkatkan kapasitasnya untuk kepentingan memperbesar kemampuan penyerapan carbon, sekaligus sebagai pihak yang diberi beban untuk merehabilitasi kawasan hutan yang rusak parah akibat kebijakan kehutanan yang salah atau perusakan hutan oleh kalangan pengusaha.

2. Komentar Khusus

  • Didalam Deskripsi Rencana Investasi (angka 7), butir “Dukungan untuk pengembangan kebijakan pengamanan (safeguards) nasional”, disebutkan:

“Meskipun proyek-proyek FIP akan menerapkan kebijakan pengamanan dari masingmasing MDB, kami mengakui bahwa kebijakan pengamanan nasional untuk kegiatankegiatan yang berkaitan dengan REDD+ sedang dikembangkan sebagai bagian dari upaya kesiapan REDD+ nasional (PRISAI). FIP akan bekerja erat dengan lembaga Pemerintah yang relevan, CSO, program FCPF (Analisis Lingkungan dan Sosial Strategis), dan inisiatif-inisiatif lain yang dibiayai oleh donor, untuk mendukung setiap upaya yang dapat memperkuat pengamanan nasional serta pedoman dan kebijakan praktis untuk pelaksanaan proyek, misalnya FPIC. Hal ini dapat mencakup ujicoba pendekatan dan instrumen pengamanan di tingkat proyek maupun dokumentasi dan diseminasi pelajaran dari pelaksanaan proyek”.

Tanggapan: Seperti yang sudah kami usulkan didalam pertemuan dengan DKN, seharusnya rumusan seperti ini diperkuat dengan formulasi yang memasukkan kalimat yang menyatakan akan menggunakan safeguard dengan standar tertinggi yang sudah ditentukan didalam ketentuan HAM yang mengikat secara internasional maupun nasional, termasuk tentunya standar WB dan ADB. Hal ini penting dicantumkan untuk menjaga agar Safeguard Nasional yang sedang dalam pengembangan tersebut tidak berkembang menjadi safeguard yang lebih rendah standarnya. Jika tidak, maka pelaksanaan FIP bisa mengarah pada pelemahan standar perlindungan sosial, lingkungan dan perempuan.

  • Berkaitan dengan formulasi mengenai “Kerangka Capaian untuk Rencana Investasi FIP Indonesia” (angka 8):

(a)   Kegiatan-kegiatan yang direncanakan dalam FIP yang difokuskan pada tema pengembangan kelembagaan untuk pengelolaan hutan dan sumber daya alam secara berkelanjutan dan tema investasi pada usaha kehutanan dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat, tidak mengidentifikasi atau berdasarkan analisis gender bahkan tidak bertolak dari apa yang diinginkan masyarakat melalui sebuah proses “meaningful consultation.”

(b)  Program yang melibatkan perempuan hanya diarahkan pada pengembangan kapasitas dan dukungan mata pencaharian. Tidak dikaitkan dengan apa yang dikehendaki perempuan untuk menjawab kemiskinan dan ketidakadilan yang mereka hadapi. Bahkan pelibatan perempuan tidak dilakukan pada semua tahapan proses, mulai dari perencanaan, persiapan, penetapan proyek, beserta tahapan pengambilan keputusan lainnya. Termasuk pelibatan dalam menentukan FIP kedepan.

  •     Mengenai konsultasi dengan Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal (angka 14) disebutkan:

Keterlibatan para pemangku kepentingan akan terus berlanjut selama tahap mendesain proyek-proyek tertentu, sesuai dengan kebijakan perlindungan dan prosedur yang sudah dianut oleh masing-masing Bank Pembangunan Multilateral (MDB) untuk persiapan proyek. Para pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat dan masyarakat lokal akan terlibat selama fase awal setiap proyek.

  1. Proses seperti ini sesungguhnya merupakan gambaran dari adanya sikap yang meremehkan dan hanya menjadikan masyarakat adat dan masyarakat di sekitar hutan termasuk perempuan (masyarakat yang terkena dampak) hanya sebagai obyek investasi dan bukan sebagai para perencana kegiatan. Padahal mereka seharusnya dilibatkan tidak hanya pada tahapan implementasi proyek, tetapi juga pada tahapan perencanaan investasi kehutanan dan/atau penetapan wilayah investasi kehutanan, termasuk pembahasan FIP.
  2. Dokumen FIP tetap tidak menyediakan analisis dengan pemilahan gender, sebagaimana yang sudah disampaikan dalam pertemuan maupun masukan tertulis. Proses identifikasi dan analisis tetap hanya diarahkan pada tahapan pengembangan/pelaksanaan proyek/per-proyek tanpa ada pertimbangan terhadap situasi ketidakadilan gender.
  3. Proses konsultasi publik yang dilakukan FIP secara online jelas makin meminggirkan masyarakat Indonesia yang tidak memiliki atau terbatas aksesnya terhadap internet, khususnya masyarakat terkena dampak (mayarakat lokal, mesyarakat adat, khususnya perempuan terkena dampak). Hal ini mengkonfirmasikan bahwa FIP  tidak melihat masyarakat terkena dampak atau berpotensi terkena dampak sebagai pemangku kepentingan utama, bahkan cenderung memanipulasi makna meaningfull consultation
  • Patut diperhatikan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Pernyataan Kebijakan Pengaman ADB (termasuk konsultasi yang signifikan) berlaku bagi semua proyek/program sovereign dan nonsovereign yang dibiayai oleh ADB dan/atau komponen-komponennya, termasuk hibah. Semua MDB termasuk ADB mesti mematuhi kebijakan pengaman masing-masing (termasuk konsultasi bermakna) selama desain, persiapan dan pelaksanaan proyek-proyek individu setelah rencana investasi ini disetujui.
  • Mengenai pencantuman “Komentar dan Tanggapan Pemangku Kepentingan pada Lampiran 6 dokumen FIP, kami perlu menyampaikan respon sebagai berikut:
  1. Lampiran seperti ini menjadi sangat membingungkan dan terkesan menyesatkan. Seolah-olah komentar pemangku kepentingan diakomodir di dalam dokumen, tetapi pada kenyatannya lampiran ini hanya berisi upaya tim penyusun FIP untuk berkelit dari keharusan untuk mengakomodir masukan-masukan pemangku kepentingan dan untuk menundakan jawabannya kepada tahap implementasi proyek. Kommetar kami memang adalah untuk tahap perencanaan. Tanggapan Tim FIP tidak menunjukkan upaya sungguh-sungguh untuk mengakomodir masukan yang bersumber dari masalah yang terjadi di lapangan.
  2. Untuk mempertegas pernyataan ini,kami lampirkan kembali tanggapan/usulan yang pernah kami sampaikan beberapa waktu lalu ke Tim FIP.

Berdasarkan keprihatinan yang kami sampaikan diatas, maka kami merekomendasikan kepada Tim FIP untuk :

  1. Menerapkan prinsip meaningful consultation dalam proses penyusunan dokumen FIP, sesuai dengan Aturan Pelindung dari ADB yang mesti di-implementasikan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, terutama masyarakat terkena dampak, laki-laki dan perempuan.
  2. Memastikan dan menempatkan perempuan sebagai pemangku kepentingan utama khususnya dalam setiap proses pengambilan keputusan, dengan menggunakan pendekatan yang inklusif, sensitif dan responsif gender.
  3. Memuat analisa kajian gender dalam dokumen FIP dan memenuhi persyaratan konsideran gender sesuai safeguard MDB’s .
  4. Tim FIP  memastikan komentar publik dipublikasi di internet, sebelum keputusan diambil, versi lengkap dengan memakai “track changes”, sehingga terlihat perubahan kalimat dari dokumen awal dan dokumen terbaru.

Kontak :
Puspa Dewy – Solidaritas Perempuan ( pdewy@solidaritasperempuan.org )
Rio Ismail – AKSI-action for Gender, Social and Ecological Justice ( rio.ismail@gmail.com )
Stephanie Fried – ‘Ulu Foundation ( stephf99@gmail.com )

[1] ADB Safeguard Policy Statement, 2009. Pg 15, para 48. “This safeguard policy statement applies to all ADB-financed and/or ADB-administered sovereign and non-sovereign projects, and their components regardless of the source of financing including investment projects funded by a loan; and/or a grant; and/or other means such as equity and/or guarantees (hereafter broadly referred to as projects).

Translate »