“Pelanggaran Hak Asasi Yang Terus Berulang: Cermin Negara Belum Serius Melindungi Buruh Migran Perempuan (Bmp)”

Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan  (Sp)
Atas Kasus Perkosaan Buruh Migran Perempuan di Malaysia

Pada 9 Nopember 2012, sekali lagi rakyat Indonesia dikejutkan  oleh berita kasus perkosaan terhadap  buruh migran perempuan. Kali ini menimpa SM, Buruh Migran Perempuan asal Batang,  Jawa Tengah, yang mengalami perkosaan oleh 3 (tiga) oknum polisi Malaysia. Kekerasan dan pelanggaran hak asasi BMP-PRT tentunya bukan hanya dialami SM. Sebelumnya kasus serupa menimpa banyak BMP-PRT  Indonesia dan saat ini jutaan BMP-PRT Indonesia berada dalam situasi rentan terhadap berbagai pelanggaran hak asasi mereka.  Sayangnya perhatian media dan publik luas terhadap kasus kekerasan terhadap buruh migran belum  cukup menyadarkan pemerintah untuk segera membangun sistem perlindungan yang komprehensif di semua fase migrasi (sebelum keberangkatan, di tempat kerja, dan saat kepulangan). Bahkan seringkali kasus-kasus pelanggaran hak BMP-PRT malah berujung pada langkah reaktif yang tidak menyentuh akar persoalan (Misalnya, melakukan penghentian penempatan BMP-PRT tanpa diiringi pembenahan-pembenahan). Lebih parah lagi, kasus-kasus pelanggaran terhadap BMP-PRT justru sering disikapi dengan pernyataan-pernyataan gegabah dari pejabat publik yang melemahkan dan justru menstigma BMP-PRT sehingga menambah lapisan penderitaan korban dan keluarganya.

Sepanjang Oktober 2011 hingga Oktober  2012, Solidaritas Perempuan (SP) menangani 37 kasus pelanggaran Hak-hak  BMP-PRT, 2  (dua) kasus diantaranya adalah kasus perkosaan. Jumlah kasus tersebut belum termasuk angka kasus keseluruhan yang ditangani oleh berbagai pihak termasuk  LSM  yang belum terangkat oleh media.  Ironisnya, tingginya  jumlah kasus kekerasan dan pelanggaran hak BMP-PRT tidak diiringi  dengan kecakapan pemerintah dalam merespon kasus-kasus tersebut.

Ratifikasi Konvensi Migran 1990 perlu Diiringi Perubahan Paradigma Pemerintah
Kejadian yang menimpa SM terjadi setelah lebih dari 6 (enam) bulan pemerintah RI meratifikasi Konvensi Migran 1990 (Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak semua Pekerja Migran dan anggota Keluarganya). Pada 12 April 2012, DPR RI menyetujui ratifikasi Konvensi tersebut dan kemudian proses  ratifikasi Konvensi tersebut dituangkan dalam UU No. 6 tahun 2012. Ada banyak langkah lanjutan yang seharusnya dilakukan pemerintah setelah proses ratifikasi Konvensi Migran 1990. Hal yang mendasar adalah perubahan paradigma yang awalnya melihat buruh migran hanya sebagai entitas bisnis (tata niaga) ke arah bagaimana melihat buruh migran sebagai manusia yang hak-haknya harus dihargai, dilindungi dan dipenuhi.  Konvensi Migran 1990 sebagai payung hukum perlindungan Buruh Migran yang komprehensif penting untuk segera diimplementasikan. Kebijakan Nasional dan daerah terkait buruh migran perlu segera diharmonisasikan dengan Konvensi tersebut, sehingga buruh migran terjamin perlindungannya dan dapat merasakan manfaat dari diratifikasinya konvensi tersebut.

Butuh keseriusan dan tindakan nyata dari pemerintah RI dalam menyediakan sistem perlindungan yang komprehensif untuk menjamin pemenuhan dan perlindungan hak asasi BMP-PRT di semua proses penempatan/migrasi.  SP berpandangan bahwa kasus yang dialami SM dan BMP-PRT  lainnya, tidak bisa hanya ditanggapi secara reaktif ala pemadam kebakaran semata. Pemerintah perlu bercermin bahwa mereka belum serius membangun sistem perlindungan buruh migran.  Salah satunya tercermin dalam UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri (PPTKILN), dimana  tidak adanya ketentuan mengenai mekanisme penanganan kasus buruh migran Indonesia menjadi bukti kelemahan kerangka kebijakan yang diatur dalam UU tersebut. Pemerintah telah gagal  dalam menyediakan mekanisme perlindungan dan bantuan hukum  bagi  buruh migran.  Pemerintah juga belum maksimal dalam hal diplomasi dengan Negara-negara penempatan. Padahal pasca ratifikasi Konvensi Migran 1990, pemerintah RI sudah sepantasnya tampil lebih percaya diri dan berwibawa untuk berdiplomasi dengan pemerintah Negara tujuan buruh migran agar lebih melindungi, menghormati dan memenuhi hak-hak buruh migran Indonesia.

Setelah SM, kita tidak ingin mendengar lagi ada kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran hak asasi terhadap  BMP-PRT di luar negeri. Sudah saatnya pemerintah Indonesia  berupaya lebih maksimal mengupayakan perlindungan buruh migran dan  keluarganya.  Dengan demikian BMP-PRT merasakan adanya peran Negara dalam melindungi hak-hak mereka, bukan lagi ‘bergantung pada nasib’.

Tuntutan Solidaritas Perempuan
Atas terjadinya kasus perkosaan BMP-PRT di Malaysia dan situasi rentan BMP-PRT  terhadap kekerasan dan pelanggaran hak-hak mereka, maka Solidaritas Perempuan  (SP) dengan tegas menuntut:

  1. Pemerintah RI dan DPR RI mempercepat pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN) dengan mengacu pada prinsip-prinsip perlindungan dan pendekatan hak asasi manusia dan berperspektifgender, sebagaimana yang terkandung dalam Konvensi PBB 1990 Tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (Konvensi Migran 1990) dan Rekomendasi Umum CEDAW mengenai Buruh Migran Perempuan.
  2. Pemerintah segera melakukan harmonisasi seluruh kebijakan migrasi, baik nasional maupun daerah denganmengacu pada prinsipdan pasal-pasal  dalam Konvensi Migran 1990.
  3. Pemerintah RI segera meratifikasi Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak PRT Migran 1990 sebagai acuandalammenyediakan standar perlindungan hak BMP-PRT yang komperhensif dan meningkatkan posisi tawar RI dengan negara tujuan buruh migran.
  4. Pemerintah menyelesaikan dan terus mengawal kasus-kasus pelanggaran hak asasi BMP-PRT melalui upaya hukum yang seadil-adilnya dan memastikan semua hak-hak korban terpenuhi termasuk jaminan  perlindungan saksi dan korban,  pemulihan dan perawatan kesehatan yang diperlukan.
  5. Pemerintah segera mereview Memorandum of Understanding (MoU) antara RI dan Malaysia dan membangun kesepakatan yang lebih mengikat (Bilateral Agreement) dengan memastikan jaminan perlindungan hak-hak buruh migran perempuan, diantaranya persamaan hak di depan hukum dan hak untuk mendapatkan bantuan hukum secaramemadai dan maksimal.

Jakarta, 18 Nopember 2012

(Wahida Rustam)
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan

Kontak person:
Thaufiek Zulbahary (08121934205), Nisaa Yura (085921191707)

Translate »