Pelanggaran Hak Deportan Terkonfirmasi pada Temuan Fakta dalam Assesment oleh Solidaritas Perempuan di Nunukan

“Mati saya, Mbak, mati saya”
Perempuan deportan berinisial S, 39 Tahun

Demikian ujaran yang disampaikan oleh seorang perempuan deportan saat mengingat peristiwa yang mendatangkan trauma mendalam karena ditendang oleh petugas Depot Tahanan Imigrasi (DTI) Tawau di hadapan anaknya. Pengakuan seorang perempuan deportan lainnya adalah tidak adanya pembalut yang disediakan di DTI Tawau sehingga banyak yang menggunakan kain seadanya sebagai pembalut. Kondisi kesehatan para deportan juga dipertaruhkan karena makanan yang disediakan masih mentah atau sudah basi. Tentu hal ini merupakan nyata-nyata pelanggaran hak atas pangan sebagai hak dasar manusia.

Fakta-fakta tersebut merupakan temuan yang didapatkan saat Solidaritas Perempuan bersama KBMB terlibat dalam asesmen bersama Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia/Bantuan Hukum Indonesia (PWNI BHI) Kementerian Luar Negeri RI, KRI Tawau, dan BP2MI Nunukan pada tanggal 19 – 22 Juli 2022. Hal ini membenarkan temuan Tim Pencari Fakta KBMB bahwa kondisi buruk yang dialami deportan dan tingginya angka kematian disebabkan oleh tidak adanya fasilitas kesehatan di Pusat Tahanan Imigrasi (PTI), sanitasi yang terbatas dan tidak sehat, makanan tidak layak, kekerasan fisik, dan tidak adanya pemisahan antara tahanan anak dan dewasa. Tentu hal ini merupakan nyata-nyata pelanggaran hak atas pangan sebagai hak dasar manusia.

Fakta-fakta tersebut merupakan temuan yang didapatkan saat Solidaritas Perempuan bersama KBMB terlibat dalam asesmen bersama Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia/Bantuan Hukum Indonesia (PWNI BHI) Kementerian Luar Negeri RI, KRI Tawau, dan BP2MI Nunukan. Hal ini membenarkan temuan Tim Pencari Fakta KBMB bahwa kondisi buruk yang dialami deportan dan tingginya angka kematian disebabkan oleh tidak adanya fasilitas kesehatan di Pusat Tahanan Imigrasi (PTI), sanitasi yang terbatas dan tidak sehat, makanan tidak layak, kekerasan fisik, dan tidak adanya pemisahan antara tahanan anak dan dewasa.

Pada kesempatan tersebut, Solidaritas Perempuan juga melakukan wawancara terhadap sejumlah deportan. Diketahui bahwa beberapa deportan menyatakan mereka akan kembali ke Sabah karena tuntutan ekonomi dan terdapat anggota keluarganya yang masih tertinggal di Sabah. Sedangkan deportan yang lain mengungkap bahwa mereka enggan kembali karena trauma. Artinya, kembalinya deportan ke Sabah menunjukkan bahwa pemerintah perlu melihat akar permasalahan struktural yang melatarbelakangi munculnya jalur migrasi ilegal dan buruh migran tak berdokumen. Hilangnya ruang kelola dan sumber kehidupan masyarakat, ketiadaan lapangan pekerjaan, dan keterbatasan akses menjadi penyebab permasalahan buruh migran yang berkepanjangan.

NS, Staf Advokasi Kasus Solidaritas Perempuan, yang terlibat dalam investigasi menegaskan bahwa “Situasi buruk di DTI adalah akibat dari tidak hadirnya negara (Kementerian Luar Negeri, PWNI-BHI, BP2MI, Pemda terkait, KRI Tawau, dan KJRI Sabbah) dalam melindungi buruh migran karena permasalahan buruh migran sudah lama terjadi.” Misalnya, pemerintah tidak pernah mencari solusi sistem kuota yang berlaku di Sabah sehingga berakibat pada banyaknya buruh migran tak berdokumen terutama perempuan dan anak. Selain itu, PWNI-BHI juga melihat kasus penyiksaan sebagai kasus individu dan bukan permasalahan struktural. Oleh sebab itu, SP bersama dengan KBMB mendesak dibentuknya Komite Penyelidik Independen yang melibatkan kedua negara dan LSM untuk melakukan investigasi di DTI dan mendesak perbaikan fasilitas DTI. SP bersama KBMB mendesak pemerintah Indonesia agar merespon persoalan ini secara struktural dengan perubahan sistem yang melindungi hak warga negara khususnya perempuan deportan.

Translate »