Pembebasan Eva Bande: Babak Baru Penghentian Kriminalisasi Pejuang Agraria

Siaran Pers : Pembebasan Eva Bande

pembebasan eva bandeJakarta, 22 Desember 2014. Jokowi akhirnya memenuhi janjinya untuk membebaskan Eva Bande, yang pernah ia utarakan pada saat Pertemuan Nasional II Pena 98 di Bali pada September 2014 dan dalam pidato politiknya menjelang hari HAM Internasional di Jogja.  Hal ini kemudian direalisasikan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 24/G Tahun 2014, Jokowi memberikan Grasi kepada Eva Bande. Pada Hari Perempuan Indonesia 22 Desember ini, Jokowi secara simbolik memberikan grasi kepada Eva di GOR Ciracas, dengan menegaskan alasan pemberian grasinya, “..hari ini saya memberikan grasi kepada aktivis perempuan yang memperjuangkan hak-hak agraria masyarakat di Sulawesi Tengah. Beliau adalah Ibu Eva Susanti Bande. Grasi ini saya beri karena saya tahu yang diperjuangkan Eva Bande adalah hak-hak yang berkaitan dengan lahan dan tanah. Saya kira hal-hal seperti inilah yang harus terus kita perjuangkan, jangan sampai ada lagi aktivis-aktivis perempuan yang memperjuangkan hak-haknya, yang memperjuangkan hak-hak rakyat justru malah akhirnya masuk ke tahanan. Jangan ada lagi hal seperti itu lagi,” Ujar Jokowi (Liputan6.com, 22/12/14). Hal ini sejalan dengan Visi Misi dan Program kerja Jokowi-Kalla “Menentang Kriminalisasi Penuntutan Kembali Hak Tanah Masyarakat”.

Eva Bande adalah seorang perempuan pembela HAM pejuang agrarian yang dalam perjalanan hidupnya konsisten memperjuangkan hak-hak petani dan hak-hak perempuan. Ia dikriminalisasi pada masa Pemerintahan sebelumnya dan dipenjara karena membela hak-hak petani dalam konflik agrarian antara petani Toili dengan PT Kurnia Luwuk Sejati dan PT Berkat Hutan Pusaka di Kabupaten Banggai. Bersama Eva, juga masih ada 2 petani yang saat ini dipidana dengan hukuman 4 tahun penjara, dengan tuduhan yang sama, yaitu penghasutan. Terhadap kriminalisasi yang dialaminya, Eva telah melakukan berbagai upaya hukum, yang didukung oleh berbagai organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan keadilan agrarian, mulai dari banding, kasasi hingga Peninjauan Kembali. Tapi sistem terus berpihak pada pemilik modal. Hingga akhirnya dikeluarkan grasi oleh Presiden Jokowi, walaupun pemberian grasi kepada Eva menimbulkan banyak pro kontra.

“Solidaritas Perempuan memandang grasi eva ini bukan sebagai bentuk pengakuan kesalahan, namun sebagai upaya negara, dalam hal ini pemerintahan baru, yang bertanggung jawab atas kesalahan pemerintahan sebelumnya karena telah mengkriminalisasi dan menghukum Eva. Buat kami, Eva tetap seorang perempuan pejuang yang konsisten membela dan memperjuangkan hak-hak perempuan dan masyarakat marjinal, karena kami mengenal Eva dan mengetahui perjuangannya, terutama karena dia adalah salah seorang anggota Solidaritas Perempuan Palu.”, Ungkap Wahidah Rustam, Ketua Solidaritas Perempuan.

“Grasi Eva ini sebenarnya  babak baru dari perjuangan menentang kriminalisasi petani dan aktivis pembela HAM pejuang agraria, serta penyelesaian konflik-konflik agraria. Masih ada daftar panjang petani dan aktivis yang saat ini dikriminalisasi dan dipenjara oleh Pemerintahan sebelumnya.
Pembebasan Eva harus menjadi pintu masuk bagi pembebasan para petani dan aktivis yang dipenjara akibat memperjuangkan hak atas tanah dan sumber kehidupannya, serta penghentian kriminalisasi terhadap setiap upaya memperjuangkan hak dalam perlawanan terhadap pemilik modal.” Lanjutnya lagi.

“Kasus Eva juga harus bisa menjadi pembelajaran semua pihak melihat persoalan yang dihadapi perempuan dalam konflik dan perjuangan untuk keadilan agraria. Bahwa persoalan perempuan itu tersembunyi, tidak bisa dilihat sama dalam komunitas masyarakat. Dampak yang dialami perempuan akibat konflik agraria itu berlapis. Begitu juga dampak dari kriminalisasi terhadap perempuan pejuang agraria. Bahwa negara juga harus sensitif dan responsif gender dalam menangani persoalan agraria. Begitu juga dalam melihat situasi dan dampak yang dialami perempuan yang berada di tengah konflik agraria, di mana perempuan selama ini ditempatkan posisinya sebagai orang yang tidak mempunyai kontrol atas sumber-sumber agrarian, padahal mereka memiliki fungsi dan peran produktif hingga dalam hal mempertahankan tanah dan sumber-sumber kehidupannya. Hal ini diharapkan tercermin dalam pelaksanaan reforma agraria yang dicanangkan Jokowi berkeadilan gender.” Tegas Wahidah.

CP: Aliza (aliza@solidaritasperempuan.org

Translate »