Siaran Pers Solidaritas Perempuan
Untuk segera disiarkan
Palu, 17 April 2013. Program UN REDD di Sulteng yang ditetapkan sebagai propinsi percontohan program UN REDD di Indonesia, difokuskan pada persiapan peraturan dan pengembangan metodologi terkait REDD+ dan telah selesai pada Oktober 2012. “UNREDD adalah skema untuk mempersiapkan kita masuk pada skema REDD. Jadi bicara tentang kesiapan Sulteng, kita sudah menyusun infrastuktur dalam implementasi REDD+ nantinya.” Ucap Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah, Ir. H. Nahardi, MM pada Dialog Publik bertema Standar Aturan Perlindungan Perempuan dalam Proyek Iklim yang diselenggarakan Solidaritas Perempuan Palu di Hotel Citra Mulya, Palu (16/04). “Kita tidak akan mengemis uang baru menjalankan program karena 26% itu adalah komitmen kita. Perkembangan terakhir dari COP 18 di Doha, negara maju yang memberikan janji ternyata masih janji juga. Saya lihat memang tidak ada kepastian dari mereka maka pandangan saya di Sulteng, REDD merupakan skema perbaikan tata kelola hutan. Saya memikirkan pengelolaan hutan dengan mengindahkan hak-hak masyarakat adat di sekitar hutan. Karena saya tahu masyarakat adat itu cinta lingkungan dan tidak merusak lingkungan karena merupakan satu kesatuan dengan lingkungan.” Lanjutnya.
Namun, pernyataan Kadishut tetap mendapatkan tanggapan keras dari Jatam Sulteng, “Orang berbondong-bondong membicarakan REDD tapi tidak memiliki perspektif ekonomi politik tentang kepentingan kehutanan Sulteng. Dari data tadi ada 4,3 juta hektar luas hutan Sulteng, tidak diukur secara langsung luasan kerusakannya akibat maraknya pertambangan di Sulteng.” Tegas Syahrudin Ariestal Douw, Direktur Jatam Sulteng. “Kita mengapresiasi kerja-kerja yang sudah dilakukan itu satu langkah yang maju tapi itu tidak cukup menjawab Sulteng mau tunduk pada rezim yang pro REDD atau mendesak negara yang penghasil emisi. Artinya tidak boleh lagi ada investasi industri ekstraktif atau menolak proyek MP3EI.” Lanjutnya.
Dalam Dialog Publik tersebut juga banyak terangkat mengenai permasalahan yang dihadapi oleh perempuan dalam kaitannya pengelolaan sumber daya alam, khususnya hutan, dikaitkan dengan rencana implementasi REDD+ di Sulteng. “Bahwa perempuan di sekitar Taman Nasional Lore Lindu menganggap hutan merupakan sumber kehidupan. Masyarakat adat bergantung pada hutan secara spiritual dan perempuan sangat bergantung pada hutan, baik sebagai sumber ekonomi maupun kebutuhan lainnya, sehingga penting untuk memperhatikan bagaimana kehidupan perempuan jika proyek REDD masuk di Lore Lindu.” Hal ini disampaikan oleh Wiwin Matindas, Koordinator Program Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Palu, yang melakukan pendampingan perempuan di 3 desa di sekitar Taman Nasional Lore Lindu.
Lebih lanjut diuraikan “…dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam di sekitarnya, perempuan lah yang paling dekat dengan alam dan juga yang paling rentan untuk terlanggar hak-haknya, akibat konstruksi jender yang berlaku di masyarakat. Bicara tentang perubahan iklim dan dampaknya, kami melihat dampaknya tidak netral gender atau berbeda dampaknya antara perempuan dan laki-laki karena ada konstruksi budaya yang membagi peran laki-laki dengan perempuan. Permasalahan bisa saja sama, tapi pengalaman yang dialami perempuan dan laki-laki berbeda.” Ucap Aliza Yuliana dari Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan yang berkantor di Jakarta. “Tidak adanya standar perlindungan bagi perempuan yang menjamin hak atas informasi, keterlibatan dan partisipasi penuh perempuan dalam pengambilan keputusan, dapat berdampak pada terbatasnya akses dan kontrol perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam, khususnya dalam proyek iklim yang terfokus pada sumber daya hutan, seperti REDD+. Dalam hal ini, penting untuk adanya standar aturan perlindungan perempuan dalam proyek iklim” Lanjutnya.
Sejalan dengan hal tersebut Azmi Sirajudin, dari Yayasan Merah Putih yang mewakili Pokja Pantau memperkuat pernyataan Solidaritas Perempuan. “Kita di Sulteng apakah perlu dibangun kerangka pengamanan kita. Saya kira perlu dan sudah dimulai oleh SP. Memang kita mendorong safeguard, khususnya terkait sosial dan lingkungan, tidak spesifik pada perempuan, agar dapat menjadi menjadi instrumen dan bahwa partisipasi penuh dan efektif itu jelas diatur dalam safeguard. Namun, saya kira perempuan memang butuh pengaman khusus, peran perempuan di semua sektor harus dilindungi.” Tegasnya.
Pembahasan mengenai REDD+ tidak akan terlepas dari perspektif politik ekonomi global yang mendasari mekanisme internasional dalam kaitannya dengan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Sulawesi Tengah seharusnya tidak hanya menjadi ladang uji coba pengembangan peraturan dan metodologi untuk REDD+ tanpa memperhatikan perspektif yang mendasari REDD+ dan bagaimana potensi dampaknya terhadap hak-hak masyarakat ataupun menyikapi berbagai penyebab utama kerusakan hutan yang banyak terjadi akibat aktivitas investasi pertambangan dan sawit yang marak terjadi di Sulawesi Tengah. Menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk secepatnya melakukan penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang merusak hutan dan mengeluarkan kebijakan yang memberi pengakuan dan perlindungan terhadap inisiatif masyarakat lokal, khususnya dalam pengelolaan hutan, yang mengakui dan melindungi hak-hak perempuan.
Kontak Person: Ruwaida (085241345838, sppalu@solidaritasperempuan.org )