Siaran Pers: Memperingati Hari Agraria Nasional 24 September
“Pemerintahan Baru: Laksanakan Reforma Agraria Berkeadilan Gender untuk Kedaulatan Pangan”
Setelah 54 tahun lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria, agenda Reforma Agraria yang menjadi mandatnya masih belum juga terwujud. Persoalan tanah bagi petani sebagai bagian dari reforma agraria pun masih menjadi masalah. Sampai saat ini, petani di Indonesia rata-rata hanya memiliki 0,3 ha tanah untuk digarap. Hal ini disebabkan pesatnya laju alih fungsi lahan pertanian, diantaranya menjadi perkebunan skala besar dan pertambangan. Hal ini diperkuat dengan hadirnya Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang mendorong investasi dan penguasaan lahan skala besar. Demi kebutuhan akan lahan yang besar, maka digunakan cara-cara yang sangat menindas, yaitu dengan merebut paksa lahan-lahan petani. Seperti yang dialami petani Toili, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah dalam konflik agrarian antara petani dengan PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) dan PT Berkat Hutan Pusaka (BHP). Perampasan tanah yang dilakukan oleh perusahaan dengan melibatkan militer berujung pada kriminalisasi 23 petani dan seorang perempuan pejuang agraria, Eva Bande, dalam aksi demonstrasi masyarakat terhadap perusahaan pada Mei 2010 lalu. Kasus ini hanya satu dari sekian kasus konflik agraria di negeri ini, dimana lahan petani dirampas perusahaan dan negara yang seharusnya melindungi hak-hak warga negaranya justru melindungi kepentingan perusahaan.
Tanah sebagai salah satu sumber produksi pangan yang vital harus dijamin akses dan kontrolnya bagi produsen pangan skala kecil. Meskipun saat ini Jokowi – JK telah berkomitmen untuk redistribusi tanah hingga mencapai 9 juta ha bagi petani, namun hal itu tidak serta merta menjadi solusi atas persoalan tersebut, utamanya bagi perempuan petani. Budaya masyarakat yang patriarkhi masih menghalangi akses dan kontrol perempuan atas tanah. Tanpa adanya tindakan khusus sementara (affirmative action) baik berupa kebijakan maupun program yang menjamin akses dan kontrol perempuan atas tanah, maka perempuan akan terus mengalami pemiskinan, ketidakadilan hingga terpinggirkan dari sistem pengelolaan pangan. Padahal selama ini, dalam sistem pertanian tradisional di Indonesia, perempuan memiliki peran yang sangat signifikan. Pengetahuan dan pengalaman perempuan menjadi kunci pertanian tradisional yang menjaga lingkungan, berkelanjutan dan sesuai dengan kearifan lokal.
Untuk itu, dalam memperingati Hari Tani Nasional, Solidaritas Perempuan menyerukan kepada Presiden dan Wakil Presiden yang baru terpilih untuk:
- Mewujudkan komitmennya menjalankan agenda reforma agraria sejati yang berkeadilan gender untuk mengembalikan kedaulatan pangan sebagai agenda prioritas pemerintahan yang akan dibentuk;
- Membentuk Badan Penyelesaian Konflik Agraria dan Menuntaskan kasus konflik agraria antara masyarakat dengan penguasa/pengusaha dengan mengedepankan kedaulatan dan kepentingan rakyat menjadi pertimbangan utama, dengan pendekatan yang inklusif, sensitif dan responsif gender;
- Menghentikan segala bentuk keterlibatan militer dan/atau pendekatan militerisme di wilayah konflik agraria.
- Menghentikan segala bentuk kriminalisasi dan memberikan perlindungan terhadap pembela HAM termasuk pejuang agraria yang mempertahankan tanah dan sumber kehidupan lainnya;
- Membebaskan tahanan maupun terpidana politik agraria yang telah dikriminalisasi akibat memperjuangkan hak-haknya dan hak-hak komunitasnya, termasuk Eva Bande.
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan
Wahidah Rustam
CP: arieska@solidaritasperempuan.org