Pemerintahan SBY – Boediono Gagal Lindungi Hak Buruh Migran Perempuan

Pernyataan sikap Solidaritas Perempuan : Pemerintahan SBY – Boediono Gagal Lindungi Hak Buruh Migran Perempuan

Mengkritisi Setahun Pemerintahan SBY-Boediono:

Jakarta, 20 Oktober 2010

SBY-Boediono telah mengabaikan pemajuan dan perlindungan HAM buruh migran dan keluarganya. Solidaritas Perempuan (SP) prihatin terhadap kinerja pemerintahan SBY – Budiono karena belum menunjukan adanya kemauan politik melindungi hak buruh migran perempuan Indonesia. SP menggugat tanggungjawab pemerintahan SBY-Budiono untuk memperlakukan buruh migrant perempuan sebagai manusia dan tidak menjadikannya sebagai komoditas pasar.

Pemerintahan SBY-Boediono seharusnya berefleksi bahwa kasus- kasus pelanggaran hak buruh migran yang dialami oleh Warga Negara Indonesia, disebabkan karena kegagalan pemerintah meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 mengenai Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya (Konvensi Migran 1990). Padahal pada pemerintahan Megawati Soekarnoputri, konvensi ini telah ditandatangani pada tahun 2004. Jika SBY-Boediono mempunyai komitmen politk terhadap kondisi warga negaranya yang bekerja sebagai buruh migrant, maka seharusnya SBY-Boediono meratifikasi agar standar perlindungan hak buruh migrant yang terdapat dalam konvensi tersebut menjadi instrumen hukum Indonesia sehingga buruh migrant dan keluarganya dijamin haknya oleh Negara.

SP berpandangan bahwa tidak ada alasan bagi pemerintah saat ini untuk tidak melindungi Hak buruh migrant dan keluarganya. Karena selain setiap warga Negara mempunya hak untuk mendapatkan perlindungan, pemerintah Indonesia pun sebelumnya telah menyatakan komitmennya dalam berbagai forum dan program kerja Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM). Ratifikasi Konvensi Migran 1990 telah menjadi agenda RAN HAM 2004-2009, bahkan telah diagendakan sejak RAN HAM 1998-2003. Sebagai negara yang telah meratifikasi CEDAW, pada Sidang Komite CEDAW 2007, Pemerintah Indonesia telah menyatakan komitmen untuk meratifikasi Konvensi Migran 1990 pada tahun 2009. Selain itu, berbagai mekanisme HAM PBB telah merekomendasikan Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi Migran 1990. Rekomendasi tersebut disampaikan oleh Pelapor Khusus PBB untuk Hak Migran, Komite CEDAW dalam Concluding Comment atas laporan ke-4 dan ke-5 Indonesia (2007) dan Rekomendasi Umum No. 26 mengenai Buruh Migran Perempuan (2008), Komite Menentang Penyiksaan (CAT) dalam Concluding Observations atas laporan ke-2 Indonesia (2008), serta Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD) dalam Concluding Observations atas laporan awal Indonesia (2007).

Program 100 hari Menakertrans Muhaimin Iskandar yang mengkaji ‘Ratifikasi Konvensi Migran 1990’ tidak melibatkan pemangku kepentingan utama yaitu buruh migran dan keluarganya serta masyarakat sipil, pakar dan akademisi. SP prihatin karena pandangan para pemangku kepentingan utama tersebut tidak terakomodir sehingga hasil kajian Kemenakertrans mengenai pentingnya ratifikasi Konvensi Migran 1990 justru menganggap bahwa ratifikasi belum perlu dilakukan. Artinya proses dan hasil kajian Kemenakertrans tersebut sama sekali tidak berperspektif perlindungan buruh migran dan keluarganya. Ini menunjukan bahwa kepentingan warga Negara tidak menjadi prioritas dalam pengkajian kebijakan perlindungan hak buruh migran.

Hal lain yang menunjukan tidak berpihaknya SBY-Boediono kepada buruh migran perempuan adalah ketidakseriusannya dalam pembahasan MoU RI dan Malaysia mengenai Perekrutan dan Penempatan Buruh Migran Pekerja Rumah Tangga (BM PRT) Indonesia di Malaysia. Proses pembahasan revisi MoU tersebut berlangsung berlarut-larut dan tertutup, bahkan disertai dengan keluarnya kebijakan moratorium (penghentian sementara) penempatan BMP PRT ke Malaysia. Ini menunjukan bahwa lagi-lagi pemerintah mengeluarkan kebijakan yang sama sekali tidak menyelesaikan akar masalah, bahkan menimbulkan masalah baru. Moratorium pengiriman BM PRT migran ke Malaysia justru membatasi hak perempuan untuk bekerja ke luar negeri. Selain menimbulkan diskriminasi atas jender, pemerintah juga telah melanggar hak atas kerja warga Negara.

Mengingat kedaulatan buruh migran perempuan atas haknya sebagai warga Negara, sebagai buruh, maupun sebagai perempuan, serta mengingat mandat pengelolaan negara ini yang dipegang oleh pemerintahan SBY-Boediono melalui pemilu 2009 untuk melindungi dan mensejahterakan rakyatnya, maka, Solidaritas Perempuan mendesak SBY-Boediono untuk:

  1. Meratifikasi Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (Konvensi Migran 1990) untuk menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menyediakan sistem perlindungan Buruh Migran Indonesia dan Anggota Keluarganya.
  2. Mempercepat pembahasan MoU RI-Malaysia mengenai Buruh Migran PRT Indonesia dengan tetap memperjuangkan standar hak-hak BMP PRT Indonesia termasuk standar gaji yang jelas dan tidak dilepaskan pada mekanisme pasar.
  3. Mencabut moratorium pengiriman BMP PRT ke Malaysia, karena kebijakan tersebut sangat diskriminatif dan membatasi hak kebebasan bergerak dan hak buruh migran perempuan untuk mendapatkan pekerjaan.Melibatkan buruh migran dan organisasi masyarakat sipil dalam berbagai perumusan kebijakan terkait Buruh Migran dan keluarganya.

(Risma Umar)
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan

Kontak Person:
Thaufiek Zulbahary (08121934205)
Aliza Yuliana (0818129770)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Translate »