Pengakuan dan Perlindungan Hak Perempuan Atas Pengelolaan SDA di Kalimantan Tengah belum Menjadi Agenda Prioritas Pemerintah

Siaran Pers Solidaritas Perempuan
Palangkaraya, 6 Desember 2018

Memperingati Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Hari Hak Asasi Manusia, Solidaritas Perempuan melakukan dialog publik dengan tema “Mendorong Agenda Politik Perempuan untuk Pengakuan dan Perlindungan Hak Perempuan Atas Pengelolaan Sumber Daya Alam di Kalimantan Tengah” pada 6 Desember 2018. Hadir sekitar 100 orang dari berbagai unsur yaitu perempuan komunitas, kelompok muda/mahasiswa, organisasi masyarakat sipil (organisasi perempuan, organisasi lingkungan, organisasi adat, dan sebagainya), dan pemerintah daerah. “Sayangnya, Dinas Lingkungan Hidup tidak hadir pada pertemuan ini, padahal berbicara lingkungan hidup sangat erat kaitannya pada kehidupan perempuan” Ungkap Puspa Dewy – Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan.

Dialog ini ditujukan untuk memperluas pemahaman terhadap pentingnya pengakuan dan perlindungan hak perempuan atas pengelolaan SDA. Hal ini tidak terlepas dengan situasi yang ada, khususnya di Kalimantan Tengah, dimana perempuan masih terpinggirkan dari ruang-ruang informasi bahkan tidak dilibatkan dalam rapat pengambilan keputusan terkait penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan SDA. Pengetahuan dan pengalaman perempuan kerap tidak dijadikan pertimbangan pemerintah dalam mengembangkan kebijakan maupun proyek/program pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam.  Padahal perempuan memiliki peran signifikan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Alam, termasuk sumber daya hutan, tidak hanya bernilai ekonomi, tetapi juga bernilai sosial, budaya, dan politik bagi perempuan, dimana alam memberikan segala kebutuhan perempuan, termasuk sumber pangan bagi dirinya, keluarganya, dan komunitasnya. “Faktanya, hadirnya kebijakan dan proyek-proyek yang berpengaruh pada lingkungan dan sumber daya alam, tidak didasari pada pertimbangan pengetahuan dan pengalaman perempuan dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam” Tegas Puspa Dewy.

Kalimantan Tengah merupakan Provinsi kedua terluas di indonesia dengan luas wilayah mencapai 15,3 juta hektar. Sebagian besar merupakan kawasan hutan dengan luas mencapai 10,7 hektar dengan berbagai keanekaragaman hayati, hasil hutan dan tentunya juga kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat  yang tinggal dikawasan hutan dan sepanjang aliran sungai. Sayangnya, kawasan hutan yang ada di Kalimantan tengah telah di kuasai perusahaan yakni 12,8 juta hektar atau 78% dari total luas  Kalimantan Tengan yang terbagi dalam beberapa sektor yakni perkebunan skala besar, perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan sektor kehutanan, baik hutan kayu maupun hutan tanaman industri. Sayangnya, penguasaan ini juga dilegitimasi negara melalui kebijakan, undang-undang, bahkan dukungan melalui aparat keamanan.

Masifnya proyek-proyek yang mengekploitasi SDA juga berdampak pada hidup dan kehidupan perempuan. Pencemaran air, perampasan tanah, pencemaran udara, penggusuran untuk proyek investasi berbasis SDA, serta ketimpangan penguasaan tanah, telah mengakibatkan perempuan semakin terpinggirkan, dibatasi akses dan kontrolnya atas SDA dan menambah beban hidup perempuan. Misalnya pencemaran air akibat limbah tambang maupun perkebunan kelapa sawit, menjadikan perempuan kesulitan mengakses air bersih, padahal peran gender perempuan dalam domestik maupun kebutuhan kesehatan reproduktif perempuan membutuhkan air bersih dalam jumlah besar.  Ini tidak terlepas dari peran gender yang melekatkan perempuan pada kerja-kerja domestik maupun merawat dan menjaga keluarga. Perampasan dan eksploitasi SDA mengakibatkan ruang hidup perempuan juga hancur, sehingga dalam memastikan keberlanjutan hidup keluarga, sering kali perempuan harus bekerja menjadi buruh, bahkan menjadi buruh migran yang hari ini juga masih jauh dari perlindungan negara.  “Kami harus menjadi buruh karena hutan kami tidak bisa kami akses lagi akibat proyek kehutanan. Padahal hutan memberikan sumber kehidupan, sumber pangan, obat-obatan, termasuk sumber ekonomi. Kami ingin bisa masuk lagi ke hutan” Ungkap perempuan dari Mantangai Hulu – Kab. Kapuas.

Sayangnya, agenda pemerintah belum melihat persoalan perempuan dalam pengelolaan SDA menjadi hal yang paling penting. Pengarusutamaan gender dalam pengelolaan SDA masih dilihat belum sungguh-sungguh dilakukan oleh pemerintah Kalimantan Tengah misalnya. Ketidakhadiran Dinas Lingkungan Hidup sangat disayangkan, karena kita tidak mengetahui apa yang telah dilakukan DLH dalam mendorong pengakuan dan perlindungan hak perempuan atas pengelolaan SDA.

Tahun 2019 merupakan tahun politik. Momentum ini, penting dijadikan ruang bagi perempuan untuk mendorong pengakuan dan perlindungan hak perempuan atas pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam. “Untuk itu, kami mengingatkan kepada pemerintah Kalimantan Tengah dan seluruh kandidat yang akan menjadi peserta Pemilu 2019 untuk memastikan dan menjadikan agenda pengakuan dan perlindungan hak perempuan atas pengelolaan SDA menjadi agenda politik utama, sehingga ke depan perempuan tidak mengalami kekerasan dan pelanggaran HAM dalam pengelolaan dan pemanfaatan SDA” Lanjut Puspa Dewy. 

 

Narahubung :
Margaretha Winda (winda.febiana@gmail.com).

Translate »