Peran G20 Melegitimasi Sistem Kapitalisme Global yang Memperburuk Ketidakadilan bagi Perempuan

G20 dan Kepentingan Kapitalisme Global

G20 atau Group of 20 merupakan forum dari 19 negara dan 1 wilayah regional1  dengan nilai ekonomi tertinggi di dunia, salah satu anggotanya adalah Indonesia. Anggota G20 menguasai 80% PDB dunia, 75% perdagangan global, terdiri dari 60% penduduk dunia dan memproduksi 80% emisi gas rumah kaca. Pada tahun 1999, forum G20 untuk pertama kali diselenggarakan di Berlin, Jerman muncul akibat serangkaian krisis ekonomi yang dialami negara di Kawasan Asia dan Amerika Latin. Di awal pembentukannya, G20 terdiri dari Menteri Keuangan dan perwakilan Bank Sentral tiap negara anggota. Forum ini semakin menguat seiring dengan terjadinya krisis ekonomi di tahun 2008 dan beralih menjadi pertemuan kepala negara. Momentum tersebut menjadikan G20 sebagai pertemuan yang berfokus seputar tata kelola ekonomi global khususnya dalam merespon krisis.2  Proses yang dilakukan dalam G20 bersifat top down, di mana tiap representasi dan peserta forum ditentukan oleh pemerintah tiap negara anggota. Prinsip partisipatif tidak diterapkan dalam forum tersebut, di mana pihak-pihak yang terdampak oleh suatu kebijakan tidak memiliki ruang untuk berpartisipasi maupun berpendapat dalam forum-forum G20.3

Keberadaan G20 merupakan upaya untuk melegitimasi kapitalisme global. Negara-negara industri/Utara membentuk dan menggunakan forum internasional untuk memajukan dan menjustifikasi agenda, nilai dan kepentingan politik serta ekonominya. G20 berusaha mempertahankan bentuk neoliberal dalam sistem kapitalisme global dengan mengkoordinasikan kebijakan ekonomi berbasis pasar di antara anggotanya.4  Pendekatan ini tertuang dalam kerangka kerja G20 yang dirilis pada Pertemuan Pittsburgh di  tahun  2009.  Kerangka  kerja  tersebut  mengatur  beberapa  area kebijakan, yaitu pajak, keuangan, pertukaran mata uang, perdagangan internasional dan ketenagakerjaan. Implementasi dari kebijakan G20   diawasi   dan   dinilai   kepatuhannya   oleh   IMF   melalui   Mutual   Assessment  Process.5    Hal  ini menunjukkan bahwa G20 menjadi salah satu kaki tangan lembaga keuangan internasional (LKI) dalam mengintervensi kebijakan ekonomi negara anggotanya. Forum G20 dan sistem tata kelola ekonomi global

secara lebih luas beroperasi untuk mempertahankan pasar bebas meskipun berada pada situasi krisis, baik itu krisis ekonomi6 maupun pandemi.
Untuk   mempertahankan   legitimasinya,   G20   pun   berusaha   menyentuh   lebih   banyak   kelompok masyarakat seperti Labour 20 (kelompok buruh), Business 20 (kelompok bisnis), Civil 20 (masyarakat sipil),  Youth  20  (kelompok  muda)  termasuk  perempuan  dengan  dibentuknya  Women  20  (W20). Meskipun telah dibentuk berbagai forum kelompok masyarakat dari 20 negara dan wilayah anggota, agenda dalam G20 merupakan kepanjangan tangan dari sistem kapitalisme neoliberal sehingga menghasilkan  kebijakan yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi, serta liberalisasi ekonomi dan perdagangan. Perlu diketahui bahwa pada berbagai pertemuan G20, lembaga keuangan internasional seperti  IMF  dan  Bank  Dunia  selalu hadir. Selain itu, aktor privat atau bisnis merupakan konstituen penting bagi G20.7

Perlu diingat bahwa G20 sebagai forum ekonomi internasional tidak berdiri sendiri dalam mempengaruhi kebijakan dan pola pembangunan dalam negeri anggotanya. Lebih lanjut, G20 merupakan pemekaran dari  G7 yang anggotanya didominasi oleh Negara-negara Utara, sehingga setiap kesepakatan terkait kebijakan yang dibuat dalam G7 akan didorong dalam forum G20. Maka, Presidensi Indonesia di forum G20 bukanlah momentum yang patut dibanggakan karena pada dasarnya Indonesia justru menjadi pion dari Negara-negara Anggota G7 saat ini. Negara berkembang yang merupakan anggota G20 dianggap sebagai representasi dari negara berkembang lainnya atas kebijakan dan resolusi yang dibuat oleh G7. Dengan ini, penting juga untuk melihat isu-isu yang akan disepakati dalam forum G7 dan dampaknya terhadap perempuan.

Hal ini dapat dilihat dari dorongan forum G20 kepada Lembaga Keuangan Internasional dan Negara Utara untuk terus mengalirkan uang untuk pendanaan proyek iklim di negara perkembang, tidak terkecuali Indonesia.8   Tidak hanya menyebabkan Indonesia bergantung pada utang, pendanaan proyek transisi energi bukanlah jawaban yang holistik atas persoalan krisis iklim. Selain bekerja sebagai kepanjangan tangan lembaga keuangan internasional, G20 juga bekerja untuk mendorong agenda rezim internasional lainnya  seperti  FAO  (Organisasi  Pangan  dan  Pertanian  Internasional).  Saat  mengangkat isu ketahan pangan, gizi, pertanian dan sistem pangan dalam Deklarasi Pemimpin G20 tahun 2021, forum G20 justru mendorong negara anggota untuk mengikuti Koalisi Pangan dan Food System Summit yang diinisiasi oleh FAO.9  Seperti yang kita ketahui, forum tersebut telah dikooptasi oleh korporasi pangan dunia, sehingga lebih  menjalankan  kepentingan  industri pangan ketimbang memastikan kebutuhan masyarakat akan kedaulatan pangannya.

Menyoal Isu Perempuan dalam Diskursus G20
Isu perempuan mendapat perhatian dalam forum G20 di Meksiko pada tahun 2012 yang menghasilkan Deklarasi Los Cabos sebagai pernyataan resmi dari para pemimpin anggota G20. Upaya ini kemudian ditindaklanjuti dengan dibentuknya kelompok Women 20 (W20) di tahun 2015. Meskipun demikian, kelompok W20 tidak berusaha menyasar pada akar masalah ketimpangan gender. Alih-alih merepresentasikan perempuan akar rumput, W20 terdiri dari segelintir perempuan elit pengusaha yang

dipilih oleh pemerintah. Agenda utama W20 hanya terbatas pada tujuan partisipasi di lapangan kerja, inklusi  keuangan  dan digital. Perspektif Eurosentris yang cenderung menyasar pada “pemberdayaan perempuan”. Hal ini tentunya tidak relevan dalam menjawab penyebab struktural dari kesenjangan, kemiskinan,  diskriminasi,  dan  persoalan  lingkungan  yang  dihadapi sebagian  besar  perempuan  di Negara-Negara dunia Selatan.10 Negara anggota G20 berkewajiban untuk mengatasi ketimpangan gender dan persoalan yang secara khusus berdampak pada perempuan akar rumput, namun seringkali tidak menjadi prioritas meskipun telah menjadi bahasan dalam Komunike11  W20. Contohnya di tahun 2018 saat forum G20 dilaksanakan di Argentina, pembahasan tentang perempuan pedesaan tidak dicakup dalam Deklarasi Pemimpin G20. Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin G20 mengesampingkan agenda perempuan Negara Selatan.

Dalam Presidensi G20 Indonesia, W20 mencakup empat isu prioritas, yaitu mendorong partisipasi perempuan dalam perekonomian; mendukung UMKM yang dimiliki dan dikelola oleh perempuan; peningkatan akses bagi perempuan disabilitas dan perempuan pedesaan; dan layanan kesehatan yang setara gender.12  Alih-alih mengakui peran perempuan sebagai produsen pangan skala kecil di pedesaan, solusi  yang  ditawarkan  W20  justru  sangat  bercorak  urban  dengan diusungnya program pendanaan UMKM, Sispreneur. Program ini tidak berangkat dari kebutuhan perempuan pemilik UMKM, melainkan merupakan  program  yang  didorong  oleh  aktor  privat  yaitu  XL  Axiata  sebagai  bagian dari program inkubasi UMKM Sisternet.13 Dengan ini, dapat dilihat bahwa solusi yang ditawarkan tidak datang dari akar rumput    melainkan    bersifat    top-down    dan    cenderung    memanfaatkan   kemitraan   publik-privat (public-private partnership). Hal ini terjadi akibat dari proses perumusan isu prioritas dan solusi yang tertutup dari publik, hanya segelintir perempuan dalam W20 yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan tanpa partisipasi dari kelompok yang terdampak. Solusi yang ditawarkan kemudian mereduksi kebutuhan perempuan dan masyarakat, seakan-akan pendanaan dan modal adalah satu-satunya yang perlu dipenuhi. Selain dalam W20, isu perempuan dicakup dalam kelompok kerja kesetaraan gender dalam  C20  (Civil 20) yang mengusung tiga isu besar yaitu kerja layak dan upah yang setara antara perempuan dan laki-laki, mekanisme pencegahan dan perlindungan kekerasan berbasis gender, dan hak atas layanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas.14 Pada Presidensi G20 Argentina di tahun 2018, kelompok T20 memiliki Gender Economic Equity Task Force untuk secara khusus mengarusutamakan isu kesetaraan gender dalam ekonomi global. Namun hal ini tidak berkesinambungan dalam Presidensi G20 di tahun-tahun selanjutnya. Terkait dengan proses, Konferensi W20 dan C20 yang diselenggarakan pada Juli  dan  Oktober  sementara  forum  lainnya  dalam  G20 masih berlangsung hingga akhir tahun akan menyulitkan proses intervensi terhadap kebijakan dan agenda yang disepakati.

Meskipun dari tahun ke tahun terdapat perkembangan terkait dengan isu perempuan atau kesetaraan gender dalam G20, masih terdapat isu-isu khusus yang terabaikan misalnya isu kerja-kerja perawatan yang membebankan perempuan. Masih terdapat isu-isu struktural yang dihadapi perempuan dan belum dicakup  dalam  forum  G20.  Dari  situasi  tersebut  dapat  dilihat  bahwa adanya  segregasi  antara  isu perempuan dan isu lainnya dalam G20. Padahal isu perempuan perlu dilihat sebagai isu cross-cuttingyang seharusnya dicakup dalam tiap Kelompok Kerja maupun Engagement Group dalam G20.

Presidensi Indonesia di G20, Manfaat atau Petaka?
Tahun 2022 menjadi momentum dalam politik luar negeri Indonesia karena terpilih untuk memimpin forum G20. Dengan ini, Indonesia membawa tiga agenda utama yang terdiri dari agenda pemulihan akibat pandemi, transformasi digital, dan transisi energi.   Ketiga agenda ini berkelindan erat dengan situasi yang dihadapi perempuan saat ini. Untuk itu, Solidaritas Perempuan mencatat kaitan agenda Presidensi Indonesia di G20 dengan empat isu mandat SP. Pertama, Pemerintah Indonesia harus merumuskan  upaya  pemulihan pandemi yang komprehensif–lebih dari sekadar pemulihan ekonomi. Paradigma ekonomi kapitalis yang kental dalam kebijakan pemulihan justru memperparah situasi perempuan, contohnya diimplementasikannya Food Estate sebagai Proyek Strategis Nasional sebagai jawaban atas ancaman krisis pangan akibat pandemi. Proyek Food Estate yang secara tidak langsung juga menjadi salah satu resolusi yang didorong dalam Deklarasi Pemimpin G20 sebelumnya telah merusak lingkungan,   merampas   ruang   hidup   perempuan   dan   membunuh   bibit   pangan   lokal.   Proyek pembangunan seperti ini mengancam pengetahuan perempuan dan keberadaan perempuan produsen pangan skala kecil yang selama ini telah berperan penting dalam mengelola sumber daya di wilayahnya. Berbagai proyek pembangunan, termasuk Proyek Strategis Nasional sekalipun, perlu memenuhi kewajiban partisipasi dan persetujuan dari perempuan dan masyarakat terdampak sesuai dengan prinsip Free, Prior Informed Consent (FPIC).15

Kedua, agenda transformasi digital berkelindan erat dengan hegemoni korporasi khususnya korporasi teknologi (big tech) yang hanya akan memperkuat kerjasama Pemerintah dengan sektor Privat. Apabila dikaitkan dengan isu perempuan buruh migran, digitalisasi remitansi16 sangat bias kelas di tengah maraknya pelanggaran hak yang dialami oleh perempuan buruh migran. Alih-alih berfokus pada digitalisasi, Pemerintah seharusnya dapat memastikan perlindungan dan pemenuhan hak buruh migran. Agenda transformasi digital juga menyasar pada sektor pangan dan agraria.17  Digitalisasi pertanian yang salah satunya dilakukan untuk memetakan lahan, seperti yang dilakukan Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia di tahun 2018, justru dimanfaatkan oleh sektor privat dan semakin memperparah konflik agraria yang dihadapi masyarakat.18  Apabila digitalisasi diimplementasikan dalam konteks ketimpangan akses, hanya  akan  mereproduksi  dan  memperdalam  diskriminasi  itu  sendiri.19   Di  samping  itu, petani dan produsen pangan skala kecil pun memiliki pengetahuan agroekologi, inovasi, dan teknologi yang berasal dari   inisiatif  komunitas  yang  perlu  diakui.20    Digitalisasi  hanya  dapat  diimplementasikan  apabila:

memenuhi prinsip dasar hak asasi manusia dan hak asasi perempuan, termasuk memprioritaskan kelompok marjinal, kesetaraan, pengakuan, perlindungan, partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas.21

Ketiga,  pendanaan  proyek iklim akan semakin deras mengalir seiring dengan gencarnya pemerintah dalam mengejar tujuan transisi energi tanpa melihat dampak sosial dan lingkungan yang dirasakan oleh masyarakat setempat. Hal ini justru akan menimbulkan banyak persoalan seperti hilangnya ruang hidup perempuan, konflik yang meningkat dan perubahan bentang alam contohnya yang terjadi akibat pembangunan PLTA Poso oleh PT Poso Energi. Selain kekerasan dan intimidasi yang seringkali dihadapi oleh perempuan yang enggan melepaskan tanahnya kepada PT Poso Energi, warisan budaya yang dimiliki masyarakat Poso juga terancam dirusak akibat proyek seperti situs kuburan pra-sejarah Toyali.22 Transisi energi   bukan   hanya   mengganti   sumber   energi   untuk  mengatasi  krisis  iklim,  Pemerintah  harus menerapkan transisi berkeadilan yang berperspektif feminis untuk menyasar akar permasalahan dari perubahan iklim. Tidak hanya mengubah pemahaman sistemik dan pola produksi-konsumsi, tetapi juga perlu adanya transformasi pembagian kerja yang tidak menempatkan perempuan dalam beban kerja rawat yang tidak setara.23

Forum G20 yang pada dasarnya adalah forum ekonomi harus dilihat melalui pisau analisis globalisasi. Proses yang tertutup dari masyarakat sipil telah melanggar hak atas akses informasi yang seharusnya dipenuhi oleh pemerintah negara anggota G20. Keterlibatan aktor privat dan Lembaga Keuangan Internasional dalam forum G20 telah menghasilkan kesepakatan dan agenda yang justru memperkuat hegemoni kapitalis global dan jauh solusi yang menyasar akar permasalahan. Meskipun terdapat perkembangan  pengarusutamaan  gender,  isu  kesetaraan  gender  masih  diletakkan  terpisah  dari  isu lainnya alih-alih menjadi isu cross-cutting. Maka, Presidensi G20 Indonesia perlu dilihat secara kritis baik dalam praktik maupun substansi agenda di dalamnya.

1 Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brazil, China, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Korea Selatan, Rusia, Perancis, Turki, dan Uni Eropa.
2 Heintz, J. (2013). Missing Women: The G20, Gender Equality and Global Economic Governance, Heinrich BöllStifung, https://peri.umass.edu/component/k2/item/521-missing-women-the-g20-gender-equality-and-global-economic-g overnance
3 Hilbrich, S. (2021). The democratic deficit of the G20, Journal of Global Ethics, DOI: 10.1080/17449626.2021.1969982
4 Steven Slaughter, “The G20’s role in legitimating global capitalism: beyond crisis diplomacy?” Contemporary Politics, 21:4, 384-398, DOI: 10.1080/13569775.2015.1013292.
5 Ibid.
6 Drezner, D. (2012). The irony of global economic governance. The system worked (IIGG Working Paper). Council on Foreign Relations Press.
7 Slaughter, 389.
8 G20 Rome Leaders Declaration, Para 25.
9 G20 Rome Leaders Declaration, Para 15.
10 Priti Darooka & Kripa Basnyat, “WOMEN AND G20: INCLUSION OR EXCLUSION,” South Feminist Analysis (2021).
11 Communiqué atau Komunike adalah serangkaian pernyataan resmi yang dikeluarkan kepada publik.
12 https://money.kompas.com/read/2022/02/10/223752326/4-isu-prioritas-w20-presidensi-indonesia
13 https://money.kompas.com/read/2022/05/11/070000426/umkm-bisa-dapat-modal-rp-300-juta-lewat-w20-sispren eur-ini-cara-daftarnya
14 https://civil-20.org/index.php/gender-equality/
15https://www.fao.org/indigenous-peoples/our-pillars/fpic/en/#:~:text=
F
ree%2C%20Prior%20and%20Informed%20Consent%20(FPIC)%20is%20a%20specific,affect%20them%20or%20their%20territories.
16 https://keuangan.kontan.co.id/news/digitalisasi-layanan-bank-mandiri-akan-rilis-fitur-outbound-remittance-di-livin/?utm_source=line&utm_medium=text
17 https://economy.okezone.com/read/2022/01/27/320/2538986/presidensi-g20-sektor-pertanian-ini-fokusnya
18 FIAN International, “Disruption or Déjà Vu?: Digitalization, Land and Human Rights” FIAN Research Paper, 2020. https://www.fian.org/en/publication/article/disruption-or-deja-vu-2726
19 “The digitalization of the food system,” Nyéléni Newsletter no. 37 (2019).
20 “agroecology: real innovation from and for the people,” Nyéléni Newsletter no. 36 (2019).
21 FIAN International, “Disruption or Déjà Vu?: Digitalization, Land and Human Rights” FIAN Research Paper, 2020. https://www.fian.org/en/publication/article/disruption-or-deja-vu-2726
22 Catatan Tahunan Advokasi Kasus Solidaritas Perempuan 2021.
23   Verónica Montúfar, “A feminist just transition must be anti-patriarchal and decolonial,” Public Service International. https://publicservices.international/resources/news/a-feminist-just-transition-must-be-anti-patriarchal-and-decolo nial?id=13045&lang=en

Translate »