Perempuan Beraksi Tuntut Keadilan Iklim, Menolak Solusi Palsu

Siaran Pers Bersama

Jakarta, 29 Oktober 2017. Menjelang COP 23 di Bonn, tuntutan atas keadilan iklim masih terus diteriakan di Indonesia, kali ini lewat aksi perempuan di Bundaran HI Jakarta yang dilakukan oleh Jaringan Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim (Indonesia for Climate Justice) yang terdiri dari Solidaritas Perempuan, YouthFeminist Movement (YouthFeM), Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), GRAIN, Madani, Sawit Watch, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Pusaka, dan Debt Watch.

Aksi ini dilakukan untuk mengangkat permasalahan dan memperkuat desakan tuntutan untuk Keadilan Ikim. Nisaa Yura, dari SP menegaskan bahwa “Keadilan iklim hanya dapat dicapai dengan adanya aksi nyata dalam menghadapi laju perubahan iklim, terutama oleh Negara-negara industri sebagai penyumbang emisi terbesar, serta dengan menghentikan berbagai proyek solusi palsu perubahan iklim yang mengancam tanah, air dan pangan masyarakat terdampak dan justru menimbulkan masalah baru, khususnya bagi perempuan”.

Perubahan iklim telah berdampak signifikan terhadap kehidupan masyarakat, di mana perempuan mengalami dampak yang mendalam dan berlapis. Banjir, kekeringan, hama penyakit, gagal panen dan cuaca ekstrim yang mengancam sumber kehidupan keluarga, telah menimbulkan beban berlapis bagi perempuan. Perempuan harus bekerja lebih berat dalam memenuhi kebutuhan pangan, termasuk air, perekonomian keluarga, selain menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak. Dampak tersebut juga telah meningkatkan kerentanan perempuan, baik terhadap penyakit maupun kekerasan dalam rumah tangga. Di sisi lain, perempuan, khususnya di pedesaan, memiliki peran yang signifikan dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui pengelolaan sumber daya alam yang arif dan berkelanjutan demi pemenuhan kebutuhan pangan dan ekonomi keluarga. Namun, ironisnya perempuan kerap termarjinalisasi dalam proses perumusan kebijakan dan rencana aksi penanganan perubahan iklim, dari tingkat lokal hingga internasional.

Di tingkat global, berbagai kesepakatan yang dihasilkan justru mencermikan ketimpangan dan ketidakadilan antara negara maju dan negara berkembang. Kuatnya peran Negara industri, korporasi dan bank-bank internasional terus mengarahkan hasil-hasil perundingan yang menguntungkan bagi kepentingan mereka. Pengalihan tanggung jawab historis terus dilakukan. Negara-negara berkembang yang selama ini menjadi korban dari pemanasan global dan percepatan perubahan iklim akibat industri justru dipaksa bertanggung jawab dan memberikan komitmennya untuk menurunkan emisi. Sedangkan, Negara-negara industri dan korporasi terus diberikan ‘izin’ untuk mengeluarkan emisi dan mengembangkan industrinya.

Berbagai ‘solusi’ yang dilahirkan, tidak menyelesaikan akar persoalan penyebab laju perubahan iklim, tetapi justru mereplikasi permasalahan yang sudah dihadapi masyarakat akibat aktivitas industri dan dampak perubahan iklim. Proyek energi skala besar seperti pembangkit listrik tenaga batubara, mega bendungan untuk PLTA, geothermal, fracking, dan biofuel, khususnya dari perkebunan kelapa sawit, serta proyek-proyek di sektor kehutanan yang mengatasnamakan pengurangan emisi, seperti REDD+,  telah banyak menyebabkan masyarakat kehilangan sumber pangan, dan air dan akses mereka atas tanah mereka dan sumber kehidupannya serta merusak nilai-nilai sosial, budaya dan spiritual serta adat mereka. Selain itu, proyek skala besar ini juga merusak ekosistem yang nantinya justru menimbulkan bencana baru.

Melalui dokumen NDC Indonesia yang disampaikan ke UNFCCC, Pemerintah Indonesia menetapkan kontribusi dari 5 sektor untuk pencapaian target penurunan emisi hingga 29% pada periode 2020-2030, di mana sektor terbesar masih dipegang kehutanan sebesar 17,2%, diikuti sektor energi sebesar 11%, dan sisanya 0,8% dari sektor limbah, IPPU dan Pertanian (Laporan Madani, 2016). Padahal, proyek kehutanan seperti REDD+ di mana pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan semata-mata dilakukan melalui skema perdagangan atau pertukaran karbon dengan pembayaran insentif. Pengalaman REDD di Indonesia menunjukkan kegagalan dan berdampak pada pembatasan akses dan kontrol masyarakat atas tanah yang berada di dalam dan sekitar hutan dan memunculkan konflik akibat mekanisme yang tidak transparan dan akuntabel, sedangkan kebakaran hutan terus terjadi. Kegagalan proyek percontohan REDD di Indonesia, seperti halnya Kalimantan Forest and Climate Partnership (KFCP) di Kalimantan Tengah, justru mendorong negara industri untuk mengarahkan skema REDD+ menjadi result based payment atau pembayaran insentif dilakukan setelah tercapai hasil penurunan emisi. Hal ini akan semakin berdampak buruk terhadap masyarakat terutama perempuan, di mana tidak ada mekanisme yang jelas untuk memastikan hak-hak masyarakat apalagi perempuan di dalam proses perencanaan maupun implementasinya.

Di sisi lain, sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia pun diharapkan dapat menjadi negara supply bagi biofuel untuk energi terbarukan. Padahal pengalaman menunjukkan praktik perkebunan kelapa sawit telah menghancurkan hutan, menciptakan konflik agraria dan melanggar HAM masyarakat terdampak dan secara khusus perempuan. Masih di sektor energi, “Proyek geothermal yang dianggap sebagai energi bersih ternyata merusak lingkungan, karena dikelola dan dikerjakan secara serampangan serta hanya mengejar capaian-capaian besar agar proyek cepat selasai. Sejumlah proyek Geothermal ditolak masyarakat dan mangkrak karena hal tersebut. Kasus terbaru, proyek Geothermal di Puwokerto yang dikelola PT SAE juga ditolak masyarakat, karena mencemarkan sumber air, dan berakibat pada kematian ikan, ternak, dan menurunnya kualitas pangan masyarakat”, ungkap Sigit Budiono dari KRuHA.

Sedangkan, penggunaan energi berbahan dasar fosil baik berupa batu bara, minyak, dan gas masih terus digunakan bahkan cenderung terus dimajukembangkan di Indonesia. Padahal, produksi energi berbahan bakar fosil tidak saja menciptakan emisi gas rumah kaca, tetapi juga meningkatkan rusaknya ruang hidup bagi sebagian masyarakat yang ironisnya selama ini telah lebih dulu termarjinalkan. Sebagai contoh, batubara telah menghancurkan ketahanan dan kedaulatan pangan rakyat. Data Jatam & Waterkeeper Alliance 2017, menunjukkan 19% dari  44 juta hektar lahan pertanian padi, telah dikapling untuk pertambangan. 1,7 juta ton beras di Indonesia juga hilang setiap tahunnya akibat pertambangan batu bara, bahkan ke depan jumlah tersebut akan bertambah hingga 7,7 juta ton.

Di sektor pertanian, Climate Smart Agriculture juga mulai dikembangkan di Indonesia, yang mana skemanya dikembangkan oleh Global Alliance on Climate Smart Agriculture yang dipimpin oleh Yara, salah satu produsen pupuk terbesar di dunia. Padahal kontribusi agroindustri merupakan salah satu penyumbang terbesar gas rumah kaca, dan laporan IPCC menunjukan bahwa setiap 100 kg pupuk nitrogen yang diaplikasikan, 1 kg nya akan berakhir di udara sebagai Nitrogen Dioksida (NO2), gas rumah kaca yang 300 kali lebih berbahaya dari CO2.

Sementara di sektor kelautan dan perikanan, mulai diperkenalkan Blue Carbon atau Karbon Biru dengan skema offset atau tukar guling antara daya emisi dan daya serap karbon melalui media laut dan ekosistem pesisir seperti mangrove dan padang lamun. “Di Indonesia, mulai dilakukan berbagai proyek konservasi kawasan pesisir seperti COREMAP dan Coral Triangle Initiative (CTI) dijadikan salah satu upaya mitigasi perubahan iklim namun dalam pelaksanaannya berdampak pada pengusiran warga dari kawasan konservasi dengan dalih melindungi kawasan tersebut dan melanjutkan mengalihkan sumber kehidupan mata pencaharian di dalam zona konservasi. Prinsip penyelamatan manusia ini tidak terdapat dalam Karbon Biru. Padahal negara mana pun tak akan bisa selamatkan warganya tanpa benar-benar memastikan terjaganya sumber daya alam dan terlindunginya hak-hak komunitas agar dapat terus mencari nafkah dan melanjutkan penghidupan.“, ungkap Susan Herawati, Sekjen KIARA.Selain itu, atas nama adaptasi sekaligus mitigasi perubahan iklim, berbagai proyek reklamasi dan tanggul laut dijalankan dan menuai banyak penolakan dari nelayan tradisional seperti yang terjadi di di sekitar Teluk Jakarta. Menurut Husni Mubarok dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, “Reklamasi dan tanggul laut di Jakarta adalah solusi palsu. Reklamasi tidak akan menyelamatkan Teluk Jakarta, tetapi justeru mengancam ruang hidup nelayan, hal ini juga mengancam kedaulatan pangan sektor kelautan dan perikanan. Perlindungan terhadap nelayan harus menjadi prioritas pemerintah dalam program kedaulatan pangan.”

Di tengah perubahan iklim yang telah nyata-nyata berdampak, berbagai proyek atas nama solusi perubahan iklim justru mereplikasi masalah dan menciptakan bencana baru bagi kehidupan masyarakat, terlebih perempuan. Untuk itu, Nisaa kembali menegaskan bahwa sudah saatnya melakukan aksi nyata untuk perubahan iklim. “Perempuan harus terlibat dalam setiap proses perundingan dan pengambilan keputusan dalam penanganan perubahan iklim, dan pengurangan emisi secara drastis harus segera dilakukan oleh Negara-negara penyumbang emisi terbesar secara domestik,” pungkasnya. Senada, Yuyun Harmono dari WALHI menyatakan “Solusi-solusi palsu ini harus segera dihentikan karena berpotensi menimbulkan bencana ekologi yang lebih besar, dan berdampak buruk pada situasi perempuan. Tuntutan keadilan iklim harus terus disuarakan, dan kami sepakat bahwa keadilan iklim tidak akan terjadi tanpa keadilan gender.

 
Kontak Person:

Solidaritas Perempuan: Nisaa Yura (081380709637)
KRuha: Sigit (081318835393)
WALHI: Yuyun (081385072648)
KNTI: Husni (081227287287)

 

Translate »