Perempuan Buruh Tuntut Negara atas Pengakuan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak

Press Release “Hari Buruh Internasional 2018

Jakarta, 30 April 2018, Memperingati Hari Buruh Internasional, Solidaritas Perempuan sebagai salah satu organisasi yang memperjuangkan hak-hak dan keadilan bagi buruh khususnya perempuan buruh, bersama perempuan buruh   kembali menyampaikan pandangan dan tuntutannya untuk   keseriusan Negara dalam memberikan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak bagi perempuan buruh. Puspa Dewy, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan (SP) mengungkapkan “3 tahun pemerintah Jokowi-JK belum memperlihatkan keseriusannya dalam melindungi hak perempuan buruh, bahkan pengakuan negara terhadap perempuan buruh nelayan atau perempuan pekerja rumah tangga juga belum terjadi”.

Pengalaman Solidaritas Perempuan selama lebih dari 27 tahun bekerja bersama perempuan akar rumput menunjukkan fakta bahwa kerentanan perempuan buruh tidak terlepas dari   faktor pemiskinan  akibat  system  Negara  dan  non Negara  yang  mengakibatkan  hilangnya  sumber kehidupan perempuan. Masifnya pembangunan yang berorientasi pada agenda politik ekonomi global dan infrastruktur mengakibatkan banyak sumber-sumber kehidupan rakyat yang terampas oleh Negara. “Tanah dan sumber kehidupan perempuan dirampas, hingga mereka menjadi buruh di tanah sendiri, bahkan menjadi pekerja rumah tangga di luar negeri,” lanjut Puspa Dewy.

Mayoritas perempuan bahkan bekerja di sector yang sangat rentan terhadap kekerasan, seperti pekerja rumah tangga, buruh tani, buruh perkebunan, dan buruh nelayan. Pemiskinan struktural telah berdampak berlapis bagi perempuan buruh. Perempuan buruh masih   menghadapi diskriminasi dan ketidakadilan  akibat konstruksi sosial dan budaya patriarki yang terus menguat hingga saat ini. Perempuan buruh selama ini masih belum diakui sebagai pekerja oleh Negara, sehingga perlindungan dan pemenuhan haknya sebagai perempuan buruh juga masih lemah. Perempuan buruh nelayan maupun perempuan buruh tani   misalnya, dimana   belum ada pengakuan, bahkan masih mengalami diskriminasi, baik dalam pengambilan keputusan maupun menjadi subyek dari kebijakan maupun program pemerintah dalam perlindungan nelayan. Sementara, mereka juga kerap mengalami kekerasan hingga intimidasi dan kriminalisasi ketika mereka memperjuangkan haknya.

Perempuan Buruh Tani hari ini harus berhadapan dengan ancaman perampasan tanah dan alih fungsi lahan yang menghilangkan kedaulatannya atas produksi pertanian. Tidak hanya itu, berbagai perjanjian perdagangan bebas yang diikuti pemerintah, memaksa pertanian tradisional, bersaing dengan produk pangan milik perusahaan besar. Program-program pemerintah seperti Upsus Pajale di Poso, maupun program penyeragaman benih lainnya menciptakan ketergantungan terhadap input pertanian perusahaan, sehingga menghilangkan pengetahuan, pengalaman serta nilai-nilai dan budaya sosial perempuan di sektor pertanian.

Lain lagi situasi persoalan perempuan buruh nelayan di Jakarta. Perempuan buruh nelayan memiliki peran strategis di sektor perikanan. Sayangnya, pembangunan di wilayah pesisir telah mengakibatkan hancurnya ruang hidup dan sumber produksi perempuan buruh nelayan, sehingga berkurangnya  hasil  tangkapan  ikan  dan  pada akhirnya  berdampak  pada penurunan  jumlah penghasilan  perempuan buruh..  Mereka  dianggap bukan nelayan,  dan  pekerjaannya  hanya sekedar ‘membantu’ suami. Akibatnya, mereka tidak menjadi subyek dalam pengambilan keputusan maupun dalam mengakses berbagai program dan jaminan sosial yang disediakan karena tidak adanya pengakuan tersebut.

Sementara perempuan buruh perkebunan kelapa sawit juga masih mengalami berbagai pelanggaran hak. Kondisi kerja yang penuh dengan risiko akan keselamatan dan gangguan

kesehatan perempuan, tidak menjadi perhatian serius negara. Fakta yang ditemukan Solidaritas Perempuan Anging Mammiri, banyak perempuan buruh migran asal Makassar yang bekerja menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit di Sabah atau Sarawak, Malaysia, masih sangat minim jaminan keamanan dan keselamatan kerjanya. Terlebih, banyak dari perempuan buruh tersebut tanpa dokumen resmi, direkrut melalui jalur non-prosedural dan sebagian besar bekerja tanpa kontrak kerja sehingga membuat posisi mereka lemah dalam menuntut hak-haknya.

Situasi yang dialami perempuan buruh Perkebunan Kelapa Sawit di Malaysia juga dialami di Indonesia. Perusahaan tidak menyediakan alat-alat pelindung kerja seperti masker, sarung tangan, dan helm pada perempuan buruh, khususnya mereka yang bersentuhan dengan pestisida, sehingga perempuan buruh perkebunan sangat rentan mengalami gangguan kesehatan, terutama kesehatan reproduksi. Tidak itu saja, perempuan buruh yang bekerja di perkebunan kelapa sawit juga kerap menerima perlakuan yang tidak manusiawi baik dari pemilik perkebunan maupun mandor. Pengaduan yang sering muncul adalah intimidasi dan kekerasan fisik, psikis serta seksual.

Penindasan dan ketidakadilan berlapis juga dialami perempuan buruh migran Indonesia yang mayoritas bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga. Perempuan buruh migran memiliki kerentanan yang tinggi terhadap tindak kekerasan, pelanggaran hak, termasuk menjadi korban perdagangan manusia. Kasus-kasus pelanggaran hak terkait ketenagakerjaan seringkali disertai dengan tindakan kekerasan dan kriminalisasi hingga berujung hukuman penjara bertahun-tahun, bahkan hukuman mati. Beban kerja berlebih, jam kerja yang panjang, upah tidak dibayar, penganiayaan, kekerasan seksual, dipindah-pindah majikan, menjadi jenis kasus yang paling sering ditangani setiap tahunnya. Dampak lain dari pengabaian Negara terhadap perlindungan dan pemenuhan hak perempuan buruh migran juga terbukti dari sulitnya untuk mengakses keadilan.Dari 66 kasus yang ditangani sepanjang tahun 2017, terdapat 3 kasus yang masih dalam proses penanganan sejak tahun 2011.

“Sistem pembangunan yang berorientasi pada kepentingan ekonomi global telah mengkomodifikasi  perempuan buruh” Puspa  menjelaskan  lebih  jauh.  Alih-alih meningkatkan kualitas perlindungan bagi perempuan buruh, pemerintah justru menghasilkan berbagai kebijakan dan tindakan yang semakin mengancam hak-hak perempuan buruh. Keikutsertaan Indonesia di dalam berbagai perundingan dagang bilateral dan multilateral, RUU Perkelapasawitan1, hingga kebijakan yang mendiskriminasi Perempuan Buruh Migran Pekerja Rumah Tangga2 merupakan bukti nyata keberpihakan negara pada agenda-agenda yang menindas perempuan buruh”. “Hak perempuan buruh masih belum diakui, dilindungi dan dipenuhi oleh Negara, baik hak sebagai perempuan,  hak sebagai  warga  negara,  maupun  hak  sebagai  pekerja.  Penindasan  dan ketidakadilan terhadap perempuan buruh harus dihentikan.

Pemerintah Jokowi-JK harus segera

  1. Dalam RUU Perkelapasawitan yang hanya memfasilitasi pengusaha untuk berinvestasi di Indonesia ini, tapi tidak ada satu pasalpun yang memberikan jaminan perlindungan kesehatan dan kelamatan kerja bagi buruh, yang seharusnya menjadi hak mereka. Sedangkan hak-hak meraka ini juga, tidak cukup terlindungi dalam UU Ketenagakerjaan, karena perempuan buruh perkebunan sawit, mayoritas adalah Buruh Harian Lepas, yang tidak memiliki kotrak yang jelas.
  2. Kepmenaker No. 260/2015. Kebijakan pelarangan bekerja ke Negara-negara timur tengah ini berlaku untuk pekerja domestik, dimana mayoritas dilakoni oleh perempuan. Kebijakan ini tidak hanya mendiskriminasi perempuan buruh migran pekerja domestik tetapi juga turut mendorong pada meningkatnya kasus-kasus perdagangan perempuan buruh migran melalui pengiriman unprosedural. Terbukti selama hampir 3 tahun kebijakan tersebut berlaku, yaitu 2015-2017, terjadi peningkatan yang cukup signifikan pada angka kasus trafficking perempuan buruh migran yang ditangani SP yaitu sebesar 80%. Sebelumnya, selama 2012-2015, kasus trafficking berada pada angka 25% sehingga mengalami peningkatan sebesar 5,5%. Ini membuktikan bahwa Kepmenaker No. 260/2015 bukan merupakan kebijakan yang solutif dalam menyelesaikan kompleksitas persoalan yang ada namun justru menguatkan kerentanan perempuan buruh migran terhadap praktik-praktik perbudakan dan perdagangan manusia.

mengambil langkah-langkah nyata untuk mengakui, melindungi dan memenuhi hak perempuan buruh, dengan menghapus kebijakan dan program/proyek yang diskriminatif dan  memperparah situasi perempuan buruh,” tegas Puspa Dewy.

 

Narahubung

 

Risca Dwi (0812-1943-6262)

Translate »