Oleh : Winda Febiana
Memperingati Hari Air Sedunia, pada 22 Maret 2016, perempuan Mantangai berharap Pemerintah segera menyediakan akses air bersih bagi masyarakat dengan membangun sumur bor atau menyediakan layanan air bersih, serta tidak lagi memberikan izin kepada perusahaan sawit, agar tidak bertambahnya pencemaran terhadap air dan lingkungan. Masyarakat Mantangai telah bertahun-tahun tidak lagi memiliki akses terhadap air bersih, sejak masuknya berbagai proyek di wilayah kehidupannya. Kecamatan Mantangai yang terletak di Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah adalah wilayah yang berada di daerah aliran sungai kapuas, di mana masyarakatnya hidup dan tinggal di sepanjang aliran sungai, dengan mayoritas pekerjaan masyarakatnya adalah petani karet, padi , nelayan sungai dan pengrajin anyaman rotan khusus perempuan.
Dari tahun ketahun air sungai yang menjadi sumber air utama masyarakat, mengalami perubahan warna dan rasa. Hal ini disebabkan karena makin banyaknya pekebunan kelapa sawit yang masuk dan beraktivitas di Kecamantan Mantangai dan ditambah lagi dengan hadirnya berbagai pertambangan emas liar maupun pertambangan batu bara yang terletak dihulu sungai. Meski demikian perempuan dan masyarakat pada umumnya, tidak memiliki pilihan lain, selain menggunakan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari. Masyarakat di Kecamatan Mantangai hingga kini masih bergantung terhadap air sungai untuk kebutuhan sanitasi mereka, bahkan untuk kebutuhan air minum dan memasak pun mereka mengunakan air sungai kapuas tersebut. Tidak adanya akses air bersih membuat masyarakat terpaksa mengkonsumsi air yang tidak layak dikonsumsi karena telah tercemar.
Air adalah hak asasi manusia. Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya melalui Komentar Umum No. 15 Tahun 2002, telah menyatakan bahwa Hak asasi manusia atas air memberikan hak kepada setiap orang atas air yang memadai, aman, bisa diterima, bisa diakses secara fisik dan mudah didapatkan untuk penggunaan personal dan kebutuhan rumah tangga. Adalah kewajiban Negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas air bagi warga negaranya. Namun, faktanya masyarakat Mantangai, tidak dapat menikmati haknya atas air, utamanya air bersih. Negara telah melakukan pembiaran terhadap situasi yang dialami masyarakat Mantangai dan tidak melakukan tindakan apapun untuk memastikan hak mereka atas air terpenuhi. Tidak ada langkah yang dilakukan Pemerintah untuk mengurangi pencemaran ataupun memulihkan kondisi air sungai Kapuas sebagai sumber air utama masyarakat. Bahkan Pemerintah tidak menyediakan alternatif air bersih untuk masyarakat, seperti sumur bor ataupun fasilitas pengolahan air untuk layanan air bersih.
Situasi ini menimbulkan dampak yang berlapis pada perempuan, di mana karena peran gendernya menempatkan perempuan untuk bertanggung jawab pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari keluarga dan rumah tangga, seperti memasak, mencuci, menyediakan air minum dan memandikan anak-anak. Air yang tercemar dan tidak adanya akses terhadap air bersih membuat perempuan lebih rentan terkena penyakit, karena peran gendernya tersebut membuat perempuan lebih banyak bersentuhan dengan air.
Air sungai yang dikonsumsi masyarakat sekitar pun bukan hanya berubah warna menjadi pekat air tersebut pun berubah rasa menjadi asam seperti yang diutarakan oleh Neri, salah satu perempuan Desa Mantangai Hulu,“Air sungai pun kini rasanya sudah tidak enak, setelah ada perusahaan sawit rasanya menjadi asam”. Berbagai penyakit pun kini mulai dirasakan oleh masyarakat, seperti gatal-gatal dan diare. Anak-anak balita kerap terkena diare dan masyarakat pada umunya juga merasakan gatal-gatal seperti yang diutarakan oleh Nemi, Perempuan Desa Sei Ahas, “Air yang kami gunakan sekarang sudah tercemar, sehingga menyebakan gatal–gatal dan diare”. Hal ini juga berdampak pada bertambahnya beban perempuan untuk mengurus dan merawat keluarga yang sakit, terutama anak-anak.
Dari segi kesehatan reproduksi pun, perempuan lebih beresiko tinggi karena alat reproduksi yang lebih terbuka dari pada laki-laki , namun tidak ada pilihan lain bagi mereka. Kondisi ekonomi yang sulit membuat masyarakat tidak bisa membeli air bersih untuk dikonsumsi dan digunakan sehari-hari. Kalaupun mereka mengupayakan untuk membeli air isi ulang untuk keperluan minum dan memasak, maka mahalnya biaya yang harus dikeluarkan juga membuat perempuan harus berpikir lebih keras dalam mengatur atau mengelola pengeluaran keluarga. Apalagi sejak semakin sulitnya masyarakat untuk mencari penghidupan dari hutan dan kebun mereka akibat banyaknya proyek yang menggusur wilayah kehidupan mesyarakat, membatasi akses masyarakat ke hutan, ditambah lagi dengan semakin maraknya kebakaran hutan.
Melihat situasi dan kondisi tersebut, pihak perusahaan sawit yang ada di kecamatan mantangai pun tidak menyediakan akses air bersih bagi masyarakat setempat, padahal sumber mata air masyarakat telah tercemar limbah dari perkebunan sawit. Begitu pula dengan pemerintah setempat seakan tidak peduli dan menutup mata melihat situasi yang dialami oleh warganya. Perempuan Mantangai berharap Pemerintah lebih tanggap terhadap situasi yang dihadapi perempuan di Mantangai dan masyarakat pada umumnya, dengan segera menyediakan akses air bersih bagi masyarakat dengan membangun sumur bor dan/atau menyediakan layanan air bersih yang memadai, aman, mudah diakses dan murah, serta tidak lagi memberikan izin kepada perusahaan sawit, agar tidak bertambahnya pencemaran terhadap air dan lingkungan. Selain itu pemerintah dan perusahaan sawit harus bertanggung jawab atas pencemaran air dan konflik-konflik yang telah terjadi di Mantangai.