PEREMPUAN MELAWAN PENGHILANGAN HAK POLITIKNYA

Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan dalam Aksi Serentak Nasional
Untuk Disiarkan Segera

PEREMPUAN MELAWAN PENGHILANGAN HAK POLITIKNYA

IMG_7137Solidaritas Perempuan mencatat bahwa Jum’at (26/9) dini hari telah menjadi momentum dihilangkannya hak politik rakyat, perempuan dan laki-laki. Pengesahan RUU Pilkada saat ini merupakan ancaman serius bagi proses demokrasi di Indonesia, pasalnya UU Pilkada mengatur pemilihan kepala daerah diserahkan kepada  DPRD sesuai dengan tingkatan masing-masing.

UU Pilkada 2014 ini menjadi bukti nyata atas kemunduran proses demokrasi di Indonesia. Pemilihan tidak langsung merupakan bentuk pembatasan terhadap hak politik rakyat Indonesia, perempuan dan laki-laki. Rakyat semakin dibatasi untuk mengenal dan menentukan pimpinan yang diyakini dapat membawa kepentingan rakyat.

Dengan pengesahan UU Pilkada tersebut, DPR telah menghilangkan ruang dan hak politik perempuan untuk akses langsung terhadap pengambilan keputusan. Hak yang seharusnya dipenuhi, dilindungi dan diperkuat justru dikurangi. Akses perempuan untuk terlibat di dalam pengambilan keputusan, yang selama ini sangat terbatas, justru dihilangkan. Hal ini merupakan langkah konspiratif yang diambil oleh segelintir elit politik untuk kepentingan partainya dan mengesampingkan kepentingan rakyat.

Sebelumnya sekelompok elit politik berhasil mengubah UU tentang MPR, DPD dan DPRD yang mengarah pada penguasaan di parlemen. Perubahan UU tersebut juga telah menghilangkan hak politik perempuan dengan menghapus seluruh ketentuan yang menyangkut keterwakilan perempuan, salah satunya adalah penghapusan kuota 30% keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Meski MK telah membatalkan hal tersebut, namun upaya tersebut memperlihatkan perspektif anggota DPR yang tidak sensitif dan responsif gender.

Upaya anggota dewan atas penghilangan hak politik perempuan sangat terlihat dalam 2 (dua) kebijakan yang baru disahkan. Hak perempuan dalam memilih dan menentukan langsung pemimpin daerahnya telah hilang. Perempuan semakin dibatasi dan tidak dapat mengekspresikan dirinya dalam menentukan proses demokrasi. Dorongan atas pelibatan perempuan dalam proses demokrasi akan terancam dengan kebijakan ini. Perempuan semakin tidak punya ruang untuk menyampaikan pandangan dan menentukan pemimpin daerah atas keputusan politiknya.

Padahal sejak pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung,  pendidikan politik dan pemberdayaan perempuan semakin menguat. Perempuan berproses dalam memahami hak-haknya sebagai warga Negara, menyuarakan kepentingannya dan mulai mengkritisi visi, misi, hingga program-program yang dikampanyekan oleh calon-calon pemimpinnya.  Upaya mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD, adalah langkah meminggirkan perempuan dalam hak politiknya. Persoalan politik kembali menjadi monopoli partai politik dan anggota DPRD saja yang tak jauh-jauh dari politik transaksional. Ditambah lagi dengan masih minimnya perwakilan rakyat yang memiliki perspektif, memahami dan memperjuangkan kepentingan perempuan.

Tak hanya itu, sejak pemilihan kepala daerah secara langsung tak kurang dari 19 perempuan yang menjadi pemimpin di daerahnya. Walikota Surabaya Tri Risma Harini.  Bupati Kebumen Rustriningsih yang kemudian menjadi Wakil Gubernur Jawa Tengah adalah diantara pemimpin perempuan yang berhasil memimpin daerahnya. Walaupun faktanya, perempuan harus berjuang lebih keras dari laki-laki dalam meraih posisi eksekutif. Tak hanya soal latar belakang pendidikan, lingkar/pengaruh keluarga, tapi juga harus berjuang melawan segala prasangka bahwa perempuan tidak mempunyai kemampuan untuk memimpin. Pemilihan kepala daerah secara langsung tentu akan membuka peluang bagi perempuan untuk memperlihatkan kapasitas kepemimpinannya langsung kepada rakyat dengan membongkar paradigma patriarkhi yang masih terus berlaku.

Sikap-sikap dan langkah yang dilakukan oleh Anggota Dewan adalah cermin demokrasi yang buruk. Pemerintahan yang otoriter mulai kembali terlihat dengan sikap tersebut, yang menjadikan posisi dan hak politik perempuan semakin terpinggirkan bahkan hilang. Atas situasi dan fakta-fakta tersebut, maka Solidaritas Perempuan bersama ratusan pemilih perempuan di 13 wilayah di Indonesia, yaitu Aceh, Palembang, Lampung, Jakarta, Bogor, Yogyakarta, Surabaya, Mataram, Sumbawa, Makassar, Kendari, Palu dan Poso secara serentak  menyuarakan dan menyatakan:

  1. Menolak Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tidak Langsung  yang telah menghilangkan hak politik perempuan;
  2. Mendesak Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan pembatalan UU Pilkada yang telah merebut hak konsitusional perempuan;
  3. Menyerukan kepada DPR agar berhenti melakukan praktik-praktik politik transaksional dan mulai memikirkan kepentingan rakyat;
  4. Mengajak seluruh elemen rakyat, khususnya perempuan, untuk bersatu dan menyuarakan perlawanan atas  penghilangan hak politik rakyat.

Jakarta, 13 Oktober 2014

 

Wahidah Rustam
Ketua Solidaritas Perempuan

Solidaritas Perempuan Bungoeng Jeumpa Aceh
Solidaritas Perempuan Palembang
Solidaritas Perempuan Jabotabek
Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta
Solidaritas Perempuan Mataram
Solidaritas Perempuan Sumbawa
Solidaritas Perempuan Kendari
Solidaritas Perempuan Anging Mammiri Makassar
Solidaritas Perempuan Sintuwu Raya Poso
Solidaritas Perempuan Palu
Perempuan Komunitas Jawa Timur
Anggota Solidaritas Perempuan di Padang
Anggota Solidaritas Perempuan di Lampung

Translate »