Perempuan Menggugat Agenda Investasi Jokowi-JK yang Menghancurkan Bumi
Arah kebijakan ekonomi di tahun ketiga kepemimpinan Jokowi-JK masih pada upaya memberi peluang dan memfasilitasi sebesar-besarnya kepentingan investasi. Berbasis pada tujuan pertumbuhan ekonomi yang bias, peluang investasi diberikan secara luas dengan mempersiapkan skema kebijakan yang memudahkan. Bahkan Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang tidak lagi digunakan pasca demisionernya Susilo Bambang Yudhoyono, secara mutlak semangatnya diadopsi dalam berbagai skema kebijakan ekonomi Jokowi-JK. Tercatat sepanjang kepemimpinan Jokowi-JK, sebanyak 14 paket kebijakan ekonomi yang mencakup pembangunan infrastruktur, privatisasi sumber daya alam, hingga pada kebijakan pemangkasan jalur perijinan bagi investor. Salah satu misi yang telah dilakukan adalah dengan mencabut 3.143 Peraturan Daerah (Perda) yang dianggap menghambat laju investasi dan perkembangan ekonomi daerah. Di sisi lain, pemerintah malah mengesahkan dan merumuskan kebijakan yang mempermudah investor merampas ruang hidup perempuan, dan berpotensi melahirkan konflik pada di masyarakat. Seperti yang tertuang dalam UU no. 12 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang melegalkan perampasan tanah warga, atas nama pembangunan dan kepentingan publik. Definisi kepentingan umum dalam UU ini masih sarat dengan muatan investasi. Selain itu, situasi sosial-ekonomi pasca pengadaan tanah tidak dibahas dengan detail dalam UU tersebut. Pada proses pengambil alihan tanah secara paksa,, masyarakat kerap dihadapkan dengan aparat bersenjata dan ancaman kriminalisasi bagi rakyat yang berusaha mempertahankan haknya. Hal tersebut menyisakan trauma mendalam, khususnya bagi perempuan dan anak. Perempuan harus menghadapi intimidasi dan mengalami ketakutan untuk beraktivitas di luar rumah, karena khawatir akan ditangkap atau mengalami kekerasan. Ini terjadi pada perempuan dan anak-anak di desa Sukamulya, Kab. Majalengka, dimana wilayah kelola mereka akan dijadikan Bandara Internasional Jawa Barat. Saat terjadi penggukuran di desa Sukamulya oleh BPN dan didampingi oleh aparat, terjadi konflik yang mengakibatkan belasan orang terluka, termasuk perempuan, dan 6 orang dikriminalisasi. Pasca kejadian ini perempuan dan anak mengalami trauma, takut untuk beraktivitas di luar rumah, takut bila sendirian di rumah, dan cemas saat mendengar suara keras di jalan[1], dan para perempuanlah yang harus memulihkan trauma yang dialami anak-anak mereka akibat teror dan kekerasan yang terjadi sebagai akibat dari konflik agraria. [1] Data investigasi Konflik Tanah Sukamulya, 2016.
Selain itu, UU Pangan yang seharusnya menjadi upaya negara untuk memberikan perlindungan bagi akses dan kontrol rakyat atas pangan, pada realitanya justru mengakomodir kepentingan investasi dan pasar dengan mengatur kebijakan impor yang tidak mempertimbangkan aspek sumber pengelolaan pangan rakyat di dalam negeri. Sementara akses dan kontrol rakyat terhadap sumber-sumber pangannya justru dibatasi melalui berbagai kebijakan maupun program. Sebut saja pada program ketahanan pangan yang memaksa petani menanam komoditas tertentu seperti Padi, Jagung, Kedelai (Pajale) untuk memenuhi kebutuhan pasar. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah meminta bantuan TNI Angkatan Darat (AD) untuk menjadi bagian dalam program ketahanan pangan tersebut dengan ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MOU) antara Menteri Pertanian dan TNI AD dimana TNI AD berfungsi sebagai penyuluh pertanian dan memastikan petani menanam ketiga komoditas tersebut tanpa memperhatikan kearifan petani, terutama perempuan, dalam mengembangkan bibit yang telah dilakukan secara turun-temurun. Terkait hal tersebut, pemerintah juga bekerja sama dengan perusahaan pengembang bibit raksasa serta memfasilitasi perusahaan pupuk kimia untuk terlibat dalam program tersebut. Tidak hanya itu, pemerintah juga gencar melakukan pencetakan sawah baru dan ekspansi hutan sawit melalui skema food estate di beberapa wilayah seperti di Merauke dan Kalimantan. Hal bertentangan justru dilakukan pemerintah di Pulau Jawa dengan mengkonversi lahan-lahan pertanian menjadi pabrik-pabrik.
Di sektor kehutanan, terdapat kebijakan-kebijakan yang yang telah membatasi akses dan kontrol perempuan atas hutan. Seperti yang tertuang dalam UU no. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) yang malah berpotensi untuk mengkriminalisasi masyarakat yang melakukan aktivitas di hutan, padahal perempuan sangat dekat hutan, dimana perempuan melakukan berbagai aktivitas untuk perekomian, sosial, dan budaya di hutan. Para perempuan mudah mengalami kriminalisasi, karena memunggut ranting, mengambil rotan, pandan yang menyokong perekonomian keluarga. Para perempuan juga berkelompok untuk melakukan aktivitas bersama di hutan. Sedangkan sedangkan di sisi lain, berbagai investasi dengan mudah masuk ke hutan, dengan dalih untuk konservasi, perlindungan kawasan hutan, mengurangi degradasi dan deforestasi. Seperti yang dilakukan oleh investor oleh Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), dan International Financial Coorporation (IFC).
Tak hanya di sektor hutan, investasi juga mengancam pesisir Indonesia melalui proyek reklamasi di 43 wilayah pesisir, penambangan pasir di 18 wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, privatisasi pulau-pulau kecil untuk kepentingan pariwisata korporasi besar, serta konservasi berbasis utang yang menargetkan luasan hingga 20 juta hektar. Semua proyek investasi tersebut telah meminggirkan perempuan dari pesisir sebagai wilayah kelolanya. Dan mengakibatkan pemiskinan serta memperkuat ketidakadilan gender yang harus dialami oleh perempuan.
Undangan Jokowi-JK terhadap investor agar mau menanamkan modalnya tentu harus diimbangi dengan pembangunan fasilitas-fasilitas infrastruktur untuk memastikan distribusi barang/jasa berjalan baik tanpa terkendala. Semakin cepat hasil produksi sampai ke tangan konsumen maka perputaran modal akan semakin cepat pula. Oleh karena itu, konsekuensi logis dari dibukanya peluang investasi adalah semakin masifnya pembangunan infrastruktur yang berdampak pada semakin jauhnya akses dan kontrol rakyat pada sumber daya alam.
Misalnya pada proyek pembangunan jalan sepanjang 47,3 Km2 yang menghubungkan Teluk Saleh-Pulau Moyo-Gn. Tambora (SAMOTA) di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Solidaritas Perempuan mencatat, setidaknya 506 KK menjadi korban dari agenda pembebasan lahan untuk pembangunan jalan sebagai awal pengembangan bisnis pariwisata di Pulau Sumbawa. Proyek bernilai Rp. 408 Milyar ini hanya memberikan ganti rugi Rp. 8.500 sampai Rp. 34.000 per meter tanpa ada proses musyawarah yang partisipatif dengan masyarakat pemilik lahan. Akhirnya negara hanya peduli pada pengembangan bisnis bukan pada rakyat yang kehidupannya menjadi tidak jelas pasca pembebasan lahan.
Hal serupa juga dirasakan oleh masyarakat yang lahannya dirampas untuk kebutuhan ekspansi perkebunan kelapa sawit. Dalam catatan Solidaritas Perempuan, Konflik Sawit banyak melahirkan kesengsaraan bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Tidak hanya sawit, pola pengembangan pertanian yang sifatnya monokultur lain juga mengancam akses dan kontrol masyarakat atas lahan. Seperti perkebunan Tebu PTPN XIV di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, dimana masyarakat tidak bisa lagi mengelola lahan akibat 4.500 hektar lahan masyarakat dirampas sejak tahun 1982. Tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Kabupaten Ogan Ilir dimana PTPN VII Cinta Manis juga merampas 21 hektar lahan dan membuat masyarakat di 22 Desa menjadi tidak mampu mengakses tanahnya.
akibatnya, Perubahan sosio-kultural masyarakat tidak bisa dihindari. Masyarakat pemilik lahan tidak bisa lagi mengelola lahannya dan beralih profesi menjadi buruh-buruh murah perkebunan. Tidak hanya itu, perempuan yang tercerabut hak pengelolaanya atas tanah juga terpaksa menjadi pekerja migran. Dengan keahlian yang minim serta perlindungan yang tidak maksimal dari pemerintah, perempuan rentan mengalami kekerasan. Hal ini menjadi bukti bahwa pembangunan model patriarki yang dilakukan negara hanya mengkalkulasi keuntungan ekonomi tanpa melihat dampak sosial dan kerusakan ekologi yang akan menjadi beban setiap generasi.
Cara berfikir negara yang hanya berburu nilai ekonomi termanifestasi juga dalam Rancangan UU perkelapasawitan yang saat ini telah masuk ke dalam Prolegnas 2017. Dalam agenda tersebut hal yang terlebih dahulu akan dilakukan adalah penyediaan lahan untuk kebutuhan ekspansi kelapa sawit. Hal tersebut akan berdampak pada semakin rentannya konflik tanah yang terjadi antara negara, perusahaan, dan masyarakat. Di tengah carut marut persoalan perkelapasawitan di Indonesia, kehadiran RUU Perkelapasawitan sama sekali tidak dibutuhkan. Negara harus terlebih dahulu membenahi tata kelolanya dengan mengedapankan aspek pertimbangan yang lebih adil bagi masyarakat khususnya perempuan sebagai entitas yang mendapatkan dampak berlapis. Negara tidak boleh menutup mata dari dampak buruk perkebunan kelapa sawit dan menganggap bahwa dampak buruk dari sawit hanya stigma semata dengan mengkampanyekan sawit yang ramah lingkungan sementara negara tidak pernah belajar dari pengalaman konflik yang berkepanjangan antara masyarakat dengan pihak perkebunan sawit.
Selain memproduksi peraturan/kebijakan yang memuluskan agenda investasi, Pemerintah juga giat mencari sumber pendanaan yang mampu mendukung agenda pembangunan infrastruktur. Sejak tahun 2015, Pemerintah Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk menanamkan sahamnya sebesar USD 672,1 Juta di Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Dari modal tersebut, pemerintah menargetkan gelontoran dana sebesar USD 100 milyar dari AIIB. Saat ini, AIIB telah mengucurkan dana sekitar USD 125 juta untuk proyek bendungan dan USD 100 juta untuk pembangunan infrastruktur daerah. Kedua proyek tersebut didanai AIIB dengan berkolaborasi bersama Bank Dunia. Dari kedua proyek tersebut ancaman yang dihadapi masyarakat, baik perempuan dan laki-laki, semakin nyata. Masyarakat tidak hanya akan kehilangan tanahnya tetapi juga akan kehilangan sumber air yang sangat vital bagi kehidupan.
Dalam semua kondisi tersebut perempuan adalah pihak yang akan mendapatkan dampak lebih besar. Tercerabutnya masyarakat dari sumber-sumber kehidupannya, perempuan dipaksa menjadi pekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan seluruh konstruksi patriarki pada perempuan, kondisi ini semakin buruk. Perempuan yang dilekatkan sebagai pengurus rumah tangga dengan akses pendidikan yang terbatas, tidak punya pilihan selain menjadi pekerja migran untuk menjaga kelangsungan hidup keluarga. Dengan keahlian yang minim serta perlindungan yang tidak maksimal dari pemerintah, perempuan buruh migran rentan mengalami kekerasan dari proses pendaftaran, keberangkatan, penempatan sampai pemulangannya. Hal ini menjadi bukti bahwa pembangunan model patriarki yang dilakukan negara hanya mengkalkulasi keuntungan ekonomi tanpa melihat dampak sosial dan kerusakan ekologi yang akan menjadi beban setiap generasi, terlebih perempuan.
Kerusakan bumi tentu akan berdampak pada situasi yang dialami seluruh entitas yang hidup di dalamnya. Relasi simbiosis-mutualisme yang terbangun antara perempuan dengan bumi tidak dapat dipungkiri berkontribusi pada kelestarian dan keberlanjutan bumi sehingga kualitas hidup seluruh entitas bisa tetap terjaga. Namun, patriarki sengaja dilanggengkan untuk mendomestifikasi dan meminggirkan perempuan demi kepentingan ekonomi global. Patriarki dalam negara tidak pernah mengakui kearifan dan pengalaman perempuan sebagai subjek, sehingga kepentingan perempuan tidak bisa masuk ke dalam perspektif pembangunan yang dilakukan negara. Dampaknya relasi mutualisme yang terbangun sejak lama terputus. Akhirnya perempuan hanya menjadi obyek pembangunan tanpa pernah terlibat dalam berbagai proses pengambilan keputusan.
Di sisi lain, Peran gender sebagai mahkluk domestik yang dilekatkan pada perempuan juga membawa perempuan pada situasi dengan beban yang berlapis. Perempuan terdomestifikasi, dan pada saat yang bersamaan perempuan juga dipaksa keluar untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan komunitasnya meski upah yang diterima di bawah standar pekerja laki-laki, karena kuasa patriarki tetap mendominasi. Hal tersebut diperparah dengan beban nilai etika moral yang dikonstruksi masyarakat patriarki kepada perempuan. Sehingga kontrol atas perempuan dengan segala identitasnya terus terjadi di semua sektor kehidupan. Oleh karena itu, tidak ada cara lain bagi negara kecuali dengan menghentikan pola pembangunan yang patriarki yang merusak bumi dan mencerabut kedaulatan perempuan. Bahwa perempuan juga bagian dari warga negara yang berhak menentukan arah pembangunan dan berhak terlibat dalam seluruh proses pengambilan keputusan.